"Wali kelas kami, Ibu Rao," teriak teman Andre yang duduk di belakang sebelah kiri.
Pak Samsul menggeleng kepala. Baru kali ini dia melihat murid yang sudah duduk di kelas tiga tidak bisa menjawab perkalian dasar.
Andre tertawa kecil. Sedikitpun dia tidak merasa memiliki beban psikologis dengan keadaan yang sedang membuatnya jatuh sampai di titik nol.
Pak Samsul yang melihat kenyataan tersebut kemudian berdiskusi dengan wali kelas Andre. Wali kelasnya, Ibu Rao, menjawab dengan penuh pesimis. Dia lebih keras mendidik Andre. Pendekatan-pendekatan kepada orangtua dan guru Andre untuk diberikan perlakuan khusus kepadanya sudah dia lakukan, namun semuanya mentah di tengah jalan.
"Anaknya memang sudah kayak gitu dari dulu. Di kelas dua sebenarnya nggak naik kelas, tapi karena sudah besar badannya dan dua tahun duduk di kelas dua, dengan terpaksa dia dinaikkan ke kelas tiga, padahal dia belum siap naik kelas dua apalagi ke kelas tiga," jelas Ibu Rao dengan raut wajah sedih.
"Itu namanya tidak profesional! Kenaikan kelas bukan atas dasar umur dan besarnya badan, tapi atas dasar kemampuan personal murid," Pak Samsul membantah pernyataan Ibu Rao.
Rasa idealismenya mendidik murid-muridnya muncul. Masalah ini membuat Pak Samsul berpikir keras, baru kali ini dia menemukan anak yang sudah duduk di kelas tiga namun belum bisa perkalian dasar.
Ibu Rao mencoba membela diri. Selama ini dia merasa sudah bekerja keras mendidik Andre.
"Saya tidak bisa menerima cara-cara tidak masuk akal dalam penentuan kenaikan kelas, ini sama saja melanggar aturan yang sudah kita buat bersama," Pak Samsul meluruskan cara pandang Ibu Rao.
Ibu Rao mengangguk. Dia paham, saat ini dia berada pada posisi yang disalahkan, itu dia sadari betul.
Dalam karirnya di bidang pendidikan yang sudah berlangsung bertahun-tahun, baru kali ini Ibu Rao merasa gagal mendidik anak didiknya. Dia sebenarnya tidak tinggal diam.