Mohon tunggu...
Ufqil mubin
Ufqil mubin Mohon Tunggu... Jurnalis - Rumah Aspirasi

Setiap orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Gurita Penyakit Jiwa

5 Februari 2019   11:34 Diperbarui: 5 Februari 2019   12:17 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: nasional.tempo.co

Di saat teman-teman mengisi liburan sepuluh hari di rumah, berjumpa dengan sanak family dan teman-teman, aku memilih melihat kondisi sosial yang dialami masyarakat Jawa. Setiap tahun, Pondok Madani1 memberikan kesempatan berlibur setelah ujian semester pertama. Liburan ini dimaksudkan untuk kembali menyegarkan suasana batin dan membangkitkan semangat belajar santri setelah menghadapi ujian selama satu bulan di pondok yang didirikan trimurti itu.

Dalam sebuah kunjungan di desa terpencil di pulau Jawa, aku mengisi liburan pondok untuk menggali sebab-sebab kemiskinan yang melanda warga di desa tersebut. Tentunya kunjungan ini menguras energi pikiran dan tenaga.

Dalam kunjungan tersebut aku berdiskusi dengan dua orang buruh tani yang memiliki penghasilan setiap bulan Rp 300.000 (tiga ratus ribu rupiah). Setelah selesai berbincang hangat dengan mereka, salah seorang buruh tani yang berumur kira-kira 45 tahun mengajakku berkunjung ke rumahnya. Istilahnya melihat bagaimana kehidupan buruh tani di desa itu. Belakangan, setelah berkenalan, nama petani tersebut ternyata Pak Amiruddin.

Dia menjadi buruh tani untuk mencari peruntungan hidup karena tidak memiliki sawah. Laki-laki yang bertubuh kurus itu tidak lulus Sekolah Dasar (SD). Yang lebih memukul akal sehat, di tengah gencarnya pemerintah mengampanyekan pemberantasan buta huruf, dia malah tidak bisa membaca dan menulis.

"Siapa nama Adik?" tanyanya seraya bergegas menuju rumahnya. Perbincangan yang sudah berlangsung beberapa jam itu ternyata sampai lupa berkenalan terlebih dahulu, kami sibuk membicarakan masalah-masalah yang dihadapi petani di desa yang berdekatan dengan gunung tersebut.

Aku berjalan di sampingnya. Sesekali dia menunjuk jalan yang akan kami lewati menuju rumahnya. Dari jauh aku melihat rumahnya yang berdiri tegap di dekat sawah yang diapit oleh gunung.

"Nama saya Mahbub, Pak," jawabku singkat.

Dia tersenyum.

"Oh. Mahbub. Nama yang bagus, Dik," pujinya.

"Ah. Bapak bisa saja," ujarku sambil memotret anak-anak yang sedang bermain di pelataran rumah warga.

Laki-laki yang berkulit sawo matang itu nampak sederhana dan santun. Aku terkesan dengan cara bicaranya. Sepanjang jalan menuju rumahnya, dia selalu bertanya tentang diriku: dari pekerjaan, pengalaman di kampus dan pondok pesantren, sampai cita-citaku yang ingin belajar ke luar negeri.

"Enak ya bisa belajar sampai perguruan tinggi kemudian menimba ilmu agama di pesantren Madani. Pasti pengalamanmu banyak," katanya seraya menunjuk rumahnya yang tidak jauh dari tempat kami berjalan.

"Meski belajar di perguruan tinggi dan lulus di sana tepat waktu, kemudian bisa menggali ilmu agama di Pondok Madani, saya tetap perlu belajar banyak dari pengalaman Bapak," ujarku.

Laki-laki yang santun itu kembali menatapku. Aku membalas pandangannya. Kami sama-sama mengangsurkan senyum terbaik.

"Bisa saja. Nanti kita berbagi pengalaman, itupun jika kamu mau," kata laki-laki yang mengenakan kaos biru yang berlambang salah satu partai ini.

"Dengan senang hati, Pak. Saya akan sangat senang jika bisa belajar dari pengalaman Bapak."

Tak lama kemudian, kami sampai di rumah Pak Amiruddin.

Di rumah yang hanya beralaskan tanah dan berdindingkan bambu itu, Pak Amiruddin hidup bersama lima orang anak dan istrinya. Anak-anaknya juga tidak sekolah. Apa alasannya? Bukankah pemerintah sudah mewajibkan belajar sembilan tahun dan tidak ada tunjangan apapun? Pak Amiruddin menerangkan, pemerintah sudah memberikan kemudahan kepada anak-anaknya untuk sekolah sampai tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), tapi belum sempat menyelesaikan SD, anak-anaknya memilih ikut bekerja demi meringankan beban kedua orangtuanya.

Di dekat kamar tamu yang luasnya 2 x 3 m2 ini, dari balik pembatas antara kamar tamu dan kamar tidur, aku melihat seorang perempuan duduk sambil menunduk, kedua kakinya dilekatkan pada kayu besar. Di kayu tersebut ada rantai yang diikatkan di tiang rumah. Perempuan malang itu dipasung.

"Itu siapa Pak? Kok diikat seperti itu?" tanyaku dengan penuh hati-hati.

Dengan berat hati dia menjelaskan cerita pahit yang mungkin telah merenggut seluruh kebahagiaan hidup laki-laki yang dikenal pekerja keras ini.

"Itu istri saya," dia terdiam sejenak, kemudian melanjutkan, "sudah sepuluh tahun terakhir terjangkit penyakit jiwa. Karena sering mengganggu orang di kampung, saya dituntut warga untuk memasungnya. Berat rasanya melaksanakan tuntutan warga itu, tapi bagaimana lagi, saya tidak bisa menjaganya setiap waktu karena harus mencari nafkah buat anak-anak."

Ada kesedihan di raut wajahnya yang sudah mulai dipenuhi garis-garis keriput. Pak Amiruddin nampak lebih tua dari umurnya, mungkin karena dari kecil dia sudah bekerja di bawah terik matahari.

"Kapan istri Bapak mulai dipasung?"

Ketika melontarkan pertanyaan itu, seorang gadis yang kira-kira berumur 17 tahun datang menghampiri kami dan menuangkan segelas teh hangat. Perempuan yang tidak sempat lulus SD itu didampingi dua orang adiknya. Sedangkan dua orang anak lainnya sedang memberikan makan ibunya.

"Terima kasih," ujarku.

"Sama-sama," jawabnya seraya berlalu.

"Silahkan diminum tehnya, Dik Mahbub," Pak Amiruddin menawarkan dengan lembut.

"Iya Pak. Maaf sudah merepotkan."

"Ah, tidak apa-apa. Malah saya yang harus minta maaf karena hanya menyuguhkan teh buat tamu."

"Ini suguhan yang luar biasa, Pak."

Dia melemparkan senyum kecil.

"Tadi apa yang Dik Mahbub tanyakan? Bisa diulangi? Biasa sudah tua begini cepat lupa."

Dia kembali mengangsurkan senyum.

Aku tersenyum mendengar pertanyaan dan sikap rendah hati Pak Amiruddin.

"Tidak apa-apa, Pak. Tadi saya menanyakan kapan istri Bapak mulai dipasung?"

"Baru lima tahun terakhir," kata Pak Amiruddin seraya memandangku dengan lamat-lamat, "semenjak dipasung, tubuhnya kurus kering. Saya tidak sepenuhnya mampu membiayai kehidupan anak-anak dan istri saya, karena setiap bulan saya menerima gaji yang hanya cukup untuk makan dan minum. Untuk biaya berobat istri saya, rasa-rasanya saya tidak mampu memenuhinya."

"Apakah istri Bapak pernah dibawa ke rumah sakit?"

"Iya, pernah," dia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, "tapi itu hanya berlangsung selama dua tahun di awal-awal ketika istri saya sakit jiwa. Biaya berobatnya sangat mahal. Tanah, sawah, dan seluruh harta yang kami kumpulkan selama bertahun-tahun habis terpakai untuk biaya berobat istri saya. Semenjak itu, saya memutuskan untuk mengobatinya di kampung, tapi sayang hasilnya nihil. Saya pasrah dengan keadaan ini, biarlah Tuhan yang akan menjadi penolong kami."

Sorot matanya melemah.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore.

Aku merasakan di rumah ini ada sebuah beban berat. Hidup di bawah tekanan kemiskinan dan menanggung malu karena salah satu penopang keluarga ini terjangkit penyakit jiwa. Ah, ingin rasanya memberikan bantuan kepada mereka, setidaknya jika bukan bantuan materi, aku bisa menekan pemerintah untuk memperhatikan keluarga ini. Aku punya kekuatan untuk itu, yakni senjata andalan penulis: kritikan dan sosialisasi dalam bentuk artikel.

Setelah aku selidiki, ternyata di Indonesia ada 18 ribu orang yang sakit jiwa dipasung. Nasib mereka sama, tidak terurus dengan baik, kurus, dan hidup di ruangan kecil yang menambah tekanan batinnya. Menurut beberapa ahli, pemasungan bukannya menyembuhkan, tapi pelan-pelan akan merenggut nyawa pengidap sakit jiwa.

Aku membuka internet melalui telpon genggamku untuk mencari secara detail data tentang penyakit jiwa di Indonesia. Ternyata fakta lebih mengerikan aku temukan. Ada 400 ribu penduduk Indonesia yang sakit jiwa berat. Jika dikalkulasi secara keseluruhan dengan pengidap stres terdapat 14 juta penduduk. Sebagian di antara mereka dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dipasung, dan ada pula yang dilepas begitu saja. Kondisi ini diperparah dengan minimnya psikolog yang bekerja untuk mendampingi dan meringankan beban pengidap penyakit yang menurunkan produktivitas anak bangsa ini.

Pada tahun 2007, kerugian minimal yang dialami negara akibat penyakit ini mencapai Rp 20 triliun. Bagaimana dengan 11 tahun terakhir? Pemerintah harus mengeluarkan biaya yang sangat tinggi untuk membiayai pengobatan pengidap penyakit jiwa di beberapa rumah sakit jiwa di Indonesia. Belum lagi imbas sosial ketika pengidap penyakit ini harus berhenti bekerja, memiliki anak dan keluarga, tentu akibatnya akan dirasakan tidak hanya oleh pengidapnya tapi juga keluarga dan anak-anaknya. Banyak diantara anak-anak dari pengidap sakit jiwa tidak terurus dengan baik, pendidikan mereka terputus di tengah jalan, perasaan minder, dan beban psikologis lainnya yang mengancam keutuhan dan kelanjutan pembentukan masa depan mereka.

Aku berusaha menjadi penanya dan pendengar yang baik ketika berbicara dengan Pak Amiruddin. Sejurus kemudian aku melihat air matanya mengalir pelan di kelopak matanya. Aku juga tak kuasa menahan air mata.

"Kenapa Adik menangis?" tanyanya pelan.

"Saya sangat terharu melihat keadaan Bapak, istri dan anak-anak Bapak. Betapa berat ujian yang Bapak hadapi," ucapku.

"Ini sudah jadi takdir kami," katanya sambil menyeka air matanya. Terpikir olehku bagaimana beratnya dia melewati masa-masa selama sepuluh tahun tanpa seorang istri yang meringankan bebannya. Lalu dia harus mengurus sendiri lima orang anaknya. Celakanya lagi, lima orang anaknya nasibnya tidak jauh lebih baik dari nasib kedua orangtuanya, putus sekolah karena kemiskinan.

Inilah efek lain dari kemiskinan, anak-anak diajak atau bahkan dipaksa keadaan untuk putus sekolah demi membantu kedua orangtuanya. Sekolah dapat memberikan peluang bagi setiap orang untuk keluar dari kungkungan kemiskinan, karena di sanalah anak-anak didik membangun pola pikir yang merdeka untuk menentukan masa depannya. Tapi apalah daya, manusia yang dipaksa miskin karena keadaan seperti anak-anak Pak Amiruddin tidak bisa merasakan indahnya pendidikan di bangku sekolah formal. Sekali lagi keadaan telah memaksa mereka memilih tidak sekolah. 

Lalu di mana peran pemerintah untuk memecahkan masalah krusial ini? Apakah cukup menjamin sekolahnya sampai tamat SMA tanpa ada pendampingan dan penyadaran secara terus menerus? Bukankah dengan membiarkan lima orang anak tadi jatuh dalam lubang yang sama seperti kedua orangtuanya, kita telah membiarkan lahir generasi lemah yang mestinya dimasa depan ikut mengisi kemerdekaan bangsa ini?

Setelah berdiskusi panjang dengan Pak Amiruddin, aku putuskan untuk pamit.

"Lain kali kalau ke desa ini lagi jangan lupa mampir ke rumah saya. Dik Mahbub tidak keberatan?"

"Insya Allah dengan senang hati akan saya sempatkan berkunjung kesini, Pak," sejenak kupandang wajahnya, kemudian kulanjutkan, "tak ada sedikitpun  yang  membuat  saya  keberatan  berkunjung  kesini.  Banyak pengalaman dan pengetahuan baru yang saya dapatkan dari Pak Amiruddin." Kami  berjabat  tangan.  Kupegang  erat  tangan  kasar  yang  dipakai untuk bekerja keras itu. Sejurus kemudian aku merasa menjadi bagian dari keluarga miskin ini. Ya, aku adalah bagian dari keluarga miskin ini. Jika aku melihat anak laki-laki Pak Amiruddin yang pendiam dan berpakaian lusuh, aku teringat masa yang jauh, kira-kira 18 tahun yang lalu.

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun