Mohon tunggu...
Ufqil mubin
Ufqil mubin Mohon Tunggu... Jurnalis - Rumah Aspirasi

Setiap orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gontor dan Cak Nur

13 Desember 2018   12:07 Diperbarui: 13 Desember 2018   19:34 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tadi malam, saya terbangun di pagi buta. Saya diliputi pikiran yang bercampur antara senang dan sedih. Dalam tidur yang cukup pulas karena dipengaruhi perjalanan jauh dan aktivitas seharian. Saya bermimpi didatangi almarhum Nurcholish Madjid. Ceritanya begini, dalam sebuah ruangan kecil, kami duduk di kursi yang panjang. Lokasinya berdekatan dengan lapangan luas. Saya mewawancara beliau terkait pengalaman belajar dan relevansinya bagi pendidikan di bangsa Indonesia.

Saya melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada beliau. Saya awali dengan pertanyaan menggunakan bahasa Arab. Beliau menjawabnya dengan lembut. Saya tidak mengingatnya dengan baik kalimat yang beliau sampaikan.

Pertanyaan terakhir yang saya ajukan yakni, "Bagaimana pengalaman belajar anda di Gontor dan kaitannya dengan pengembangan pendidikan masa kini?"

Beliau terdiam sejenak. Kemudian bulir-bulir air mata mengembang di kelopak matanya. Tak ada jawaban yang beliau lontarkan atas pertanyaan tersebut.

Tak lama, saya terjaga. Saya duduk termenung. Berusaha mengurai dan mengumpulkan keping-keping pemikiran tentang guru bangsa yang akrab dipanggil Cak Nur itu.

Dua tahun yang lalu, pada medio 2016, ketika saya masih belajar di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur, acap kali saya berkunjung ke perpustakaan pondok yang berdekatan dengan lapangan.

Saya sering mengenang kunjungan rutin saat pengurus pondok mewajibkan setiap santri di masing-masing asrama berkunjung di perpustakaan yang menyimpan ratusan buku itu. Para santri diwajibkan menulis hasil bacaannya dalam buku tulis. 

Panjang tulisan itu paling sedikit satu halaman. Isinya intisari isi buku yang telah dibaca selama berkunjung di perpustakaan. Kemudian dikumpulkan pada pengurus untuk ditandatangan dan distempel. Itu menjadi bukti agar santri bisa pulang. 

Jika belum selesai, maka pengurus tidak membolehkan yang bersangkutan meninggalkan perpustakaan. Tak heran, setiap orang akan berlomba-lomba membaca dan menulis dengan cepat. Karena waktu berkunjung tergolong pendek. Hanya sekira satu jam.

Biasanya saat sementer dua, santri diwajibkan berjunjung secara bergiliran di perpustakaan itu. Setiap kali berkunjung, saya selalu terkesan karena di sana terkumpul beragam buku yang terbit di tahun 90-an. Beberapa di antarnya terdapat buku-buku tentang Cak Nur.

Khususnya polemik pemikiran beliau tentang beragam tema seperti keislaman, kebangsaan, dan keummatan. Lontaran-lontaran pemikiran itulah yang membuat pendiri Universitas Paramadina itu berselisih paham dengan pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor.

Di pesantren yang didirikan oleh KH Ahmad Sahal, KH Imam Zarkasyi, dan KH Zainuddin Fananie itu, oleh sebagian kalangan, Cak Nur dikenal sebagai pemikir "kontroversial". Maka tidak heran, beragam buku ditulis untuk membantah pemikiran-pemikiran beliau.

Namun tak sedikit pula yang membanggakan kejeniusan dan keulamaan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu. Beliau dipuji karena prestasi-prestasinya. 

Ketika saya duduk di semester awal di pondok, saat pengarahan yang dilakukan oleh pimpinan pondok, seorang pimpinan menyebut Cak Nur dalam deretan orang-orang besar yang telah mengharumkan nama Pondok Modern Darussalam Gontor. Sebagai alumni pesantren yang berhasil mencapai tangga sukses hingga menjadi profesor, tentu saja beliau tak diragukan kontribusinya bagi nama besar pondok yang didirikan pada 1926 itu.

Polemik tentang pemikiran beliau pada 1980 membuat citra Cak Nur "kurang baik" di beberapa kalangan pondok. Hal ini disadari betul oleh suami Omie Komariah Madjid itu. Dalam buku "Cak Nur Sang Guru Bangsa" yang ditulis Muhammad Wahyuni Nafis, beliau menyampaikan penyesalannya melontarkan pemikiran yang menimbulkan penolakan dari guru-gurunya di pondok.

Beliau tidak membantah gagasan-gagasan yang disampaikannya. Penyesalan itu muncul hanya pada aspek metodologi dan tehnik penyampaian pemikiran. Maka dapat dipahami, setelah itu, demi menjaga "perasaan" guru-gurunya di pondok, Cak Nur mulai membangun pendekatan yang lebih merangkul dan menunjukkan persamaan-persamaan pemikiran beliau dengan misi pengembangan umat Islam sebagaimana spirit Gontor.

Barangkali, saya juga terlambat menginsafi polemik di masa lampau itu untuk dijadikan pelajaran di masa kini. Belakangan, saya juga terlibat "perdebatan" pemikiran dengan para ustadz saya di pesantren tersebut. Setelahnya, saya tidak lagi melontarkan pemikiran serupa. Demi satu alasan, agar riak-riak perbedaan itu tidak melebar. Karena bagaimana pun, saya menghormati guru-guru dan kiyai di pondok.

Satu pelajaran terpenting, pemikiran yang berbeda, mestinya disikapi secara arif dan bijaksana. Sebagai wujud kreasi manusia, pandangan terhadap hal-hal tertentu, tak dapat dipungkiri, tidak selamanya sama antara seseorang dengan yang lainnya. Kita perlu menyadari, setiap perbedaan adalah rahmat. Dari ikhtilaf pemikiran itu pula, akan muncul pandangan-pandangan baru yang memperkaya khasanah intelektual.

Akhirnya, pada seluruh keluarga besar HMI atau siapa saja yang mengenal almarhum Cak Nur, mohon kiranya berkenan membacakan alfatihah dan doa untuk beliau. Semoga beliau tenang di sisi Allah Swt.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun