Ibu Rao mengangguk. Dia paham, saat ini dirinya berada di posisi  yang disalahkan.
Dalam karirnya di bidang pendidikan yang sudah berlangsung bertahun-tahun, baru kali ini Ibu Rao merasa gagal mendidik anak didiknya. Sebenarnya di tidak tinggal diam. Lulusan salah satu kampus ternama di Mataram itu pernah mendekati orang tua Andre. Keduanya disarakan memanggil guru pendamping di rumah. Supaya Andre diberi pelajaran tambahan. Namun  arahan itu hanya dilaksanakan selama beberapa hari karena orang tua Andre lebih sibuk bertani dan berladang. Mereka tidak punya waktu yang cukup untuk memperhatikan anak semata wayangnya.
Meski begitu, Ibu Rao tidak tinggal diam. Setiap hari, dia mendampingi Andre  di sekolah. Mengajarinya cara membaca, menulis, dan menghafal perkalian satu sampai sepuluh. Atas kerja kerasnya, Andre sempat memiliki prestasi menghafal perkalian satu sampai sepuluh. Melihat itu, teman-temannya bersorak girang. Andre pun senang bukan main. Padahal teman-teman sekelasnya sudah menghafal perkalian tersebut. Tetapi dengan prestasi Andre tersebut, mereka mengacungkan jempol. Begitu juga dengan Ibu Rao.
"Percayalah, kamu anak yang pintar. Kamu bisa berprestasi seperti teman-temanmu. Syaratnya, kamu harus bekerja keras," kata Ibu Rao.
Andre menggangguk. Dia tersenyum.
Ketika ujian menghafal perkalian satu sampai sepuluh, Andre terlihat linglung.
"Dua ditambah satu berapa Andre?" tanya Pak Samsul.
Dia berpikir sejenak.
"Empat."
Muka Pak Samsul memerah.
Ibu Rao tak habis pikir. Dia terlihat menundukkan kepala.