Mohon tunggu...
Ufqil mubin
Ufqil mubin Mohon Tunggu... Jurnalis - Rumah Aspirasi

Setiap orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kurang "Tabayyun"

19 Juli 2018   00:13 Diperbarui: 19 Juli 2018   15:02 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum dimekarkan, dulu Desa Diha masih satu desa dengan Desa Ncera. Kala itu, Diha masih berbentuk dusun. Maka tak heran, orang-orang di luar dua desa tersebut, lebih mengenal Ncera ketimbang Diha.

Namun jika ditilik secara geografis, dua desa nyaris tidak dibatasi lokasi tertentu. Makanya dulu, di awal-awal pemisahan, pemerintah kabupaten tak dapat membedakan lokasi dan penduduk dua desa.

Kembali ke laptop.

Persoalan bertambah rumit kala awak media mencoba menyudutkan kepolisian atas kesalahan pemberitaan tersebut. Apa sebabnya? Asal muasal kejadian penangkapan Jodi ternyata didapatkan awak media dari kepolisian. Pada titik ini, kita boleh menyebut, sebagian isi berita itu tidak terkonfirmasi atau belum ada kritik data yang dilakukan jurnalis.

Penyakit minimnya konfirmasi masih menjadi persoalan serius di sebagian besar media di Indonesia. Kritik data lewat tabayyun (klarifikasi) hanya dijadikan "pesan moral" ketimbang modal kerja atau standar pemberitaan.

Tidak heran, kesalahan karena lemahnya check and recheck menjalar bak nyala api yang memercik persepsi publik yang sudah terlanjur percaya bahwa berita itu benar. Lalu, upaya pembenaran-pembenaran selanjutnya menguat. Tentu saja atas rangkaian kejadian-kejadian yang sebelumnya sudah terbentuk. "Yah kan dari dulu desa itu sudah dipenuhi orang-orang jahat," mungkin demikian penegasan pembaca setelah membaca berita tersebut.

Secara pribadi, saya tidak terlalu kaget dengan kesalahan tersebut. Sebagai pekerja media, saya sudah biasa melakukan kesalahan-kesalahan dalam penulisan. Sebabnya tidak tunggal. Tetapi yang paling mengemuka, deadline jadi  penyebab utamanya. Sering kali jurnalis harus berjibaku mengikuti alur waktu yang ditentukan pimpinan. Sehingga dalam batasan-batasan tertentu, jurnalis tidak melakukan konfirmasi. Setelah wawancara dan menerima rilis berita, langsung mempercayai semua informasi yang disampaikan narasumber.

Padahal kaidah paling mendasar yang harus dipenuhi sebelum berita layak dikonsumsi publik adalah harus teruji kebenarannya. Uji data itu perlu dilakukan lewat struktur pemberitaan dan fakta. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Bersatu padu. Pemilihan kata harus tepat. Menggambarkan realitas sebagaimana adanya.

Tetapi di atas segalanya, sebagai publik pengonsumsi berita sekaligus yang mendapat efek dari pemberitaan tersebut, hal-hal positif tetap saja didapatkan. Apa itu? Ada semangat hingga daya tolak atas kesalahan. Ini penting untuk dipelihara di tengah masyarakat kita yang cenderung apatis atas kondisi sosial di bumi Indonesia.

Selebihnya, penolakan tersebut harus dibarengi dengan kehati-hatian. Sebagai masyarakat, kekeliruan kecil merespon kesalahan, dapat berujung nestapa. Sebab kesalahan yang direspon dengan kesalahan, sama saja membentuk problem baru.

Maka tugas kita adalah mengayuh di tengah masalah tersebut dengan cara yang elok. Dengan kepala dingin. Karena, bukankah kebenaran akan bermuara pada tempatnya sendiri? Ya, keseimbangan! Mungkin satu waktu, lewat berita itu, ada hikmah tersembunyi atau mungkin memperkuat semangat para pegiat sosial yang sedang mempromosikan Bombo Ncera. Semoga. Wallahu a'lam bissowab.

Samarinda, Kalimantan Timur, 19 Juli 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun