Mohon tunggu...
Ufqil mubin
Ufqil mubin Mohon Tunggu... Jurnalis - Rumah Aspirasi

Setiap orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kurang "Tabayyun"

19 Juli 2018   00:13 Diperbarui: 19 Juli 2018   15:02 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hingga pagi ini, diskusi lintas liur di beragam media sosial mengemuka. Tak kurang di facebook dan grup whatsapp, menjadi wadah diskusi atas kasus yang terjadi di sebuah desa di ujung timur Nusa Tenggara Barat (NTB). Apa sebabnya? Simpel dan terkesan konyol. Walau kejadiannya masih tingkat desa. Tetapi tingkat kerusakannya tidak dapat ditakar. Sebab berangkat dari adagium, "setiap keburukan akan dengan cepat mempengaruhi dan merasuki ruang publik."

"Kurang ajar media ini," kata seorang teman di laman facebook. Kemudian diikuti komentar lainnya, "telpon saja pimpinan redaksinya. Itu kesalahan fatal. Apalagi sekarang kita di Ncera sedang berbenah sebagai desa wisata," kata laki-laki yang terkonfirmasi bernama Anas.

Begini awal mula kejadiannya.

Dua hari yang lalu, pada tengah malam, laki-laki yang dikenal tak kenal kompromi itu bersembunyi di Kecamatan Madapangga, Kabupaten Bima, NTB. Meski dikenal pemberani oleh kawan dan lawannya, tetapi guratan wajahnya menunjukkan ada ketakutan yang terselip di relung hati dan jiwanya. Maklum saja. Sebagai pemuda masih beranjak 20-an tahun, perhitungan atas segala akibat perbuatan buruk dapat terkalahkan oleh keinginan sempit. Apa itu? Aktualisasi diri supaya dapat dikenali.

Apa gerangan yang membuat pemuda yang lahir di desa nun jauh di ujung NTB itu bersembunyi? Ya, satu bulan yang lalu, sekira pertengahan Juni 2018, dia pernah berurusan dengan personel kepolisian. Sebab pernah memalak warga desa setempat. Perbuatan itu bukan kali pertama. Sudah berkali-kali. Bahkan telah memantik keresahan warga.

Jodi, demikian masyarakat mengenalnya. Namanya melambung jauh di lintas telinga dan liur warga. Satu di antaranya karena pernah menjadi residivis atas perbuatannya yang tak kalah meresahkan publik.

Belakangan, atas perbuatannya, dia ditempatkan sebagai daftar pencarian orang oleh Kepolisian Resort (Polres) Kabupaten Bima.

Kemarin, di ujung magrib, di tanah Kalimantan ini, saya melihat di linimasa facebook. Seorang perempuan menyampaikan hujatan pada laki-laki malang itu. "Kenapa tidak ditembak mati saja?" demikian pertanyaan yang lebih tepat disebut luapan kemarahan itu.

Soal lain yang menjadi perhatian publik atas kasus tersebut yakni media online dengan tendesius membuat judul berita yang menyimpulkan bahwa pemuda itu berasal dari Desa Ncera. Padahal sudah umum diketahui, yang bersangkutan berasal dari Desa Diha. Mengapa bisa tertukar? Baru-baru ini awak media mengklarifikasi, dengan memuat berita yang tidak kalah tendensiun. Judulnya, "DPO yang Ditembak Polisi Bukan Warga Ncera." Tentu saja, jauh lebih tepat disebut framming ketimbang meluruskan fakta.

Apa gerangan? Penyebutan desa adalah bagian dari framming yang justru lebih mempunyai pengaruh negatif dibanding judul sebelumnya yang hanya mengaitkan nama pelaku dengan tempat kejadian pemalakan yang kala itu sempat menuai perlawan warga. Justru afirmasi lewat kata "bukan", akan membawa persepsi baru. Bahwa "bukan" menandakan hubungan yang sangat erat antara pelaku dan desa tersebut. Oleh pembaca berita yang belum mengetahui latar belakangan desa tersebut, antara keduanya dapat disimpulkan mempunyai relasi yang cukup kuat. Sehingga persepsi yang sudah sempat terbentuk, bahwa Ncera adalah ladang kejahatan, tak mudah dibersihkan. Butuh waktu yang lama. Paling tidak dalam jangka pendek, pemberitaan tersebut menguatkan persepsi buruk yang selama ini telah terbentuk.

Tentu saja ini dikuatkan dengan kenyataan, bahwa dua desa itu memang pernah satu pemerintahan. Keduanya baru dimekarkan beberapa tahun lalu.

Sebelum dimekarkan, dulu Desa Diha masih satu desa dengan Desa Ncera. Kala itu, Diha masih berbentuk dusun. Maka tak heran, orang-orang di luar dua desa tersebut, lebih mengenal Ncera ketimbang Diha.

Namun jika ditilik secara geografis, dua desa nyaris tidak dibatasi lokasi tertentu. Makanya dulu, di awal-awal pemisahan, pemerintah kabupaten tak dapat membedakan lokasi dan penduduk dua desa.

Kembali ke laptop.

Persoalan bertambah rumit kala awak media mencoba menyudutkan kepolisian atas kesalahan pemberitaan tersebut. Apa sebabnya? Asal muasal kejadian penangkapan Jodi ternyata didapatkan awak media dari kepolisian. Pada titik ini, kita boleh menyebut, sebagian isi berita itu tidak terkonfirmasi atau belum ada kritik data yang dilakukan jurnalis.

Penyakit minimnya konfirmasi masih menjadi persoalan serius di sebagian besar media di Indonesia. Kritik data lewat tabayyun (klarifikasi) hanya dijadikan "pesan moral" ketimbang modal kerja atau standar pemberitaan.

Tidak heran, kesalahan karena lemahnya check and recheck menjalar bak nyala api yang memercik persepsi publik yang sudah terlanjur percaya bahwa berita itu benar. Lalu, upaya pembenaran-pembenaran selanjutnya menguat. Tentu saja atas rangkaian kejadian-kejadian yang sebelumnya sudah terbentuk. "Yah kan dari dulu desa itu sudah dipenuhi orang-orang jahat," mungkin demikian penegasan pembaca setelah membaca berita tersebut.

Secara pribadi, saya tidak terlalu kaget dengan kesalahan tersebut. Sebagai pekerja media, saya sudah biasa melakukan kesalahan-kesalahan dalam penulisan. Sebabnya tidak tunggal. Tetapi yang paling mengemuka, deadline jadi  penyebab utamanya. Sering kali jurnalis harus berjibaku mengikuti alur waktu yang ditentukan pimpinan. Sehingga dalam batasan-batasan tertentu, jurnalis tidak melakukan konfirmasi. Setelah wawancara dan menerima rilis berita, langsung mempercayai semua informasi yang disampaikan narasumber.

Padahal kaidah paling mendasar yang harus dipenuhi sebelum berita layak dikonsumsi publik adalah harus teruji kebenarannya. Uji data itu perlu dilakukan lewat struktur pemberitaan dan fakta. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Bersatu padu. Pemilihan kata harus tepat. Menggambarkan realitas sebagaimana adanya.

Tetapi di atas segalanya, sebagai publik pengonsumsi berita sekaligus yang mendapat efek dari pemberitaan tersebut, hal-hal positif tetap saja didapatkan. Apa itu? Ada semangat hingga daya tolak atas kesalahan. Ini penting untuk dipelihara di tengah masyarakat kita yang cenderung apatis atas kondisi sosial di bumi Indonesia.

Selebihnya, penolakan tersebut harus dibarengi dengan kehati-hatian. Sebagai masyarakat, kekeliruan kecil merespon kesalahan, dapat berujung nestapa. Sebab kesalahan yang direspon dengan kesalahan, sama saja membentuk problem baru.

Maka tugas kita adalah mengayuh di tengah masalah tersebut dengan cara yang elok. Dengan kepala dingin. Karena, bukankah kebenaran akan bermuara pada tempatnya sendiri? Ya, keseimbangan! Mungkin satu waktu, lewat berita itu, ada hikmah tersembunyi atau mungkin memperkuat semangat para pegiat sosial yang sedang mempromosikan Bombo Ncera. Semoga. Wallahu a'lam bissowab.

Samarinda, Kalimantan Timur, 19 Juli 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun