Mohon tunggu...
Ufqil mubin
Ufqil mubin Mohon Tunggu... Jurnalis - Rumah Aspirasi

Setiap orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menunggu Tumbangnya Tokoh Reformasi

4 Juni 2017   03:22 Diperbarui: 4 Juni 2017   03:54 2262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benar Menerima Uang, Tapi Dari Sahabat

“Amien Rais (selanjutnya disebut AR. Pen.) akan dijadikan tumbal untuk menutupi kasus besar lainnya, ini pengalihan isu,” kata temanku di wall facebook.  Sebagaimana yang anda ketahui, tiga hari yang lalu (31/5) AR disebut namanya dalam sidang lanjutan kasus korupsi dana Alat Kesehatan (Alkes) yang melibatkan mantan Menteri Kesehatan Era Susilo Bambang Yudhoyono, Siti Fadilah.

Disebutkan bahwa AR telah menerima uang sebanyak Rp 600 juta dari Siti Fadilah pada tahun 2007 silam. Uang tersebut ditransfer secara bertahap yakni sebanyak enam kali. Dalam sidang kasus korupsi dana Alkes yang berlangsung di PN Tipikor Jakarta Pusat tersebut, jaksa KPK menyebutkan bahwa aliran dana Rp 6,1 miliar salah satunya masuk di rekening pribadi AR. Apakah benar demikian?

Tak berlangsung lama, di kediamanannya di Yogyakarta, AR melakukan klarifikasi bahwa benar dia mendapatkan uang tersebut, tetapi bukan dari Siti Fadilah, melainkan berasal dari sahabatnya, Soetrisno Bachir. Dia juga menegaskan bahwa uang yang dia dapatkan tidak ada kaitannya dengan korupsi uang negara karena sudah menjadi hal yang biasa jika Soetrisno Bachir membantu uang operasionalnya selama AR bertugas di partai.

AR juga menegaskan dalam konferensi persnya bahwa uang tersebut dia terima ketika tidak lagi menjabat sebagai ketua MPR. Ini menandakan bahwa ketika menerima uang tersebut, AR tidak lagi memiliki hubungan dengan tugas kenegaraan. Istilahnya uang tersebut dia terima sebagai bantuan biasa dari seorang sahabat partai.

Dalam keterangannya, Soetrisno Bachir membantah bahwa uang yang ditransfer ke AR ada kaitannya dengan korupsi dana Alkes. Uang sebanyak Rp 600 juta murni berasal dari bantuan yayasan Soetrisno Bachir Foundation (SBF).

Tokoh Reformasi Yang Tidak Percaya Skenario Besar

“Saya tidak percaya adanya skenario besar, skenario sedang-sedang saja, atau skenario kecil-kecilan dalam politik,” kata AR dalam cuitannya di twitter. Akhir-akhir ini ada yang menyebutkan bahwa penyebutan nama AR dalam sidang terdakwa kasus korupsi dana Alkes Siti Fadilah adalah rekayasa pemerintahan Jokowi yang ingin menyingkirkan, menyempitkan, dan menyudutkan AR karena perannya yang sangat dominan mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi.

Belakangan pendukung AR menyebutkan kasus yang melibatkan nama tokoh Muhammadiyah tersebut murni rekayasa dari pemerintah untuk menutupi kasus-kasus lain yang jauh lebih besar. Mereka menegaskan, mestinya jika ingin melakukan korupsi, sekelas AR yang pernah menjadi ketua partai, ketua pusat Muhammadiyah, ketua MPR, dan tokoh nasional yang memiliki peran signifikan dalam arus perubahan bangsa tidak menerima uang yang demikian kecil. “Itu mainan sekelas bupati/walikota,” demikian mereka berujar.

Belum lama ini, dalam berbagai gerakan nasional yang melibatkan tensi ulama dan pemerintah, AR selalu tampil dengan gagah mengkritik pemerintah. Sebagaimana dalam perjalanan karir politiknya, AR selalu mengusung persatuan umat Islam untuk menentukan roda perpolitikan nasional.

Sebagaimana yang anda ketahui, semenjak kepemimpinan Jokowi, AR sangat vokal mengkritik pemerintah. Dalam kasus yang menjerat mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), AR tergolong satu di antara banyak tokoh nasional yang menegaskan bahwa Ahok telah melakukan penistaan terhadap Al-Qur’an.

Mantan Ketua Pusat Muhammadiyah itu bahkan pernah mengusulkan agar untuk umat Islam melakukan tamasyah surah Al-Maidah  agar mendukung langkah-langkah penegak hukum supaya Ahok dijebloskan ke penjara karena telah melecehkan Al-Qur’an.

Dia bahkan pernah menyebutkan bahwa pemerintahan Jokowi didukung oleh siluman-siluman yang bergentayangan. “Kita semua harus tahu, ada kekuatan siluman yang kuat mendukung pemerintahan (presiden) Jokowi (Joko Widodo) saat ini,” ujar AR pada acara tausiyah yang berlangsung di rumah Akbar Tanjung pada tanggal 9 Juni 2015 silam.

Amien mencontohkan soal perekonomian. Saat ini, seluruh sektor ekonomi dikuasai asing dan aseng. “Agar nggak semakin gawat, perlu agar lingkaran-lingkaran Islam ini dikumpulkan lagi. Kita harus menyatukan kelompok-kelompok Islam ini untuk menentukan arah pemerintahan,” tegas AR.

Lalu bagaimana dengan skenario yang menyebutkan bahwa AR ingin dijadikan bulan-bulan oleh penguasa? Saya perlu menegaskan beberapa hal berikut: Pertama,kasus yang melibatkan nama AR sudah jelas, dia menerima uang Rp 600 juta. Nah, peran penegak hukumlah yang akan menentukan apakah benar atau tidaknya uang yang dia terima berkaitan atau tidak dengan korupsi dana Alkes. Kita mestinya tidak membuat gaduh bangsa ini dengan memberikan statemen yang berlebihan, karena sebenarnya apa yang dialami AR baru “penyebutan nama”, belum dipastikan oleh penegak hukum.

Kedua,umat Islam harus melihat persoalan hukum yang akan menjerat AR sebagai kasus yang berdiri sendiri, obyektif, tanpa mengkaitkannya dengan persoalan-persoalan politik dan posisi AR pada gelanggang politik nasional. Saya yakin, bangsa ini sudah mulai bisa belajar untuk membedakan kasus dan rekayasa, jadi umat Islam tinggal menunggu bagaimana sikap dan kesimpulan yang berasal dari KPK.

Ketiga,sekali-kali jangan melibatkan sensitivitas dan jargon pendukung dalam kasus tersebut. Mengapa demikian? Karena hanya akan membuat runyam persoalan yang melibatkan AR. Kader-kader Muhammadiyah, PAN, dan HMI boleh marah karena tokoh yang mereka idolakan dilibatkan dalam kasus tersebut. Mereka juga sah-sah saja mendukung secara moral proses hukum yang akan dikaitkan dengan AR, tapi tetap dalam koridor sebagai pendukung. Sebagai umat yang cinta pada perdamaian dan kenyamanan bangsa, pendukung AR harus tetap memegang teguh prinsip keyakinan pada kerja profesional penegak hukum.

Keempat,tidak mencampuradukkan antara kasus hukum dan politik. Kasus yang melibatkan AR harus mulai dilihat secara obyektif. Saya tidak berupaya memisahkan antara hukum dan politik karena keduanya adalah satu kesatuan yang utuh. Pada fenomena tertentu, mudah bagi kita untuk melihat secara kasat mata keterkaitan-keterkaitan antara keduanya. Oleh karena itu, mengawal kasus tersebut bukan berarti harus ikut menentukan perubahan kasus dari yang “terlibat korupsi” menjadi “tidak terlibat korupsi”. Obyektivitas harus tetap dikedepankan.

Pesan Bagi Generasi Bangsa

Kasus yang melibatkan nama AR sudah menjadi konsumsi publik. Haters yang selama ini menunggu alat yang ampuh untuk memelihara kebencian terhadap AR melihat ini sebagai momentum untuk kembali menjatuhkan tokoh reformasi itu. Lalu bagaimana dengan sikap kita sebagai generasi muda bangsa?

Pertama,banyak tokoh nasional yang akhirnya tumbang karena kasus korupsi. Sebut misalnya Anas Urbaningrum. Sampai kapanpun dia menyebut bahwa kasus yang dialaminya adalah hasil rekayasa, tetap saja persepsi kita tidak pernah bisa dibohongi, masyarakat sudah terlanjur melihat bahwa terjeratnya Anas menjadi bukti kuat keterlibatannya dalam kasus hukum.

Maka anda sebagai pemuda dan pejabat negara harus belajar bahwa musuh pribadi tidak pernah berhenti bekerja menjatuhkan anda. Kekuatan masa lalu, peran, dan pilihan politik erat kaitannya dengan upaya saling menjatuhkan.

Kedua,hati-hati menerima uang selama menjabat sebagai pejabat negara. Dari manapun asalnya uang yang kita terima, harus ditelisik, ditanyakan secara detail, dan dilihat apakah uang tersebut ada kaitannya dengan hasil kerja kita. Walaupun teman dekat, kerabat, satu kongsi usaha dan politik, menerima uang secara serampangan adalah langkah yang akan menambah daftar panjang “musuh” kita menguatkan amunisinya untuk menjatuhkan, melecehkan, bahkan menghentikan peran sosial kita selaku pengabdi negara.

Ketiga,hidup sederhana. Sebagai anak kandung bangsa yang banyak menentukan peran perubahan bangsa, kehidupan pribadi kita harus sederhana. Banyak di antara pejabat negara yang awalnya berasal dari kalangan aktivis terkemuka, jatuh karena kasus korupsi. Apa sebabnya? Kehidupan pribadi setelah menjadi aktivis tiba-tiba berubah total. Awalnya terbiasa makan mie instan, sekarang disuguhkan dengan makanan-makanan yang serba mahal, pakaian serba mahal, rumah mewah, dll. Tak pelak perubahan tersebut menambah daftar gengsi menerima pujian sebagai orang kaya baru karena berhasil masuk dalam pusat kekuasaan. Maka kita harus benar-benar sederhana, hidup apa adanya, makan secukupnya, dan memaksimalkan gaji dari negara untuk membiayai aktivitas pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun