Mohon tunggu...
Udo Z Karzi
Udo Z Karzi Mohon Tunggu... -

Tukang tulis. Lebih suka disebut begitu. Meskipun, jarang-jarang dibaca kompasianer. Hehee... Yang penting nulis aza. Biar nggak kenat-kenut...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Akal-akalan Kontrak Politik

25 November 2015   22:19 Diperbarui: 25 November 2015   22:49 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ENTAH sejak kapan ada istilah kontrak politik (political contract?). Yang jelas, menjelang pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, acap muncul berita calon A telah melakukan penandatangan kontrak politik dengan warga mana gitu, para tokoh organisasi ngetop menyodorkan kontrak politik pada calon kepala daerah, dan seterusnya.

Mamak Kenut mencoba mencari referensi dari sisi hukum dan perundang-undangan, ia tidak menemukannya. Kalau mau disebut kontrak (perjanjian), agaknya kontrak politik tidak memenuhi kriteria dan syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Atau barangkali, kontrak politik itu mirip dengan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU)? Kayaknya sih cocok kalau melihak pengertian MoU: "Pernyataan kesepahaman tertulis antara kedua belah pihak sebelum memasuki sebuah kontrak. MoU tidak mengikat para pihak serta tidak menghalangi para pihak untuk berhubungan dengan pihak ketiga."

"Kalau demikian, wajar dong kontrak politik diingkari, tidak perlu dilaksanakan, dan cuma dokumen ecak-ecak aja dari politisi biar keliatan serius mau memenuhi janji kepada konstituen dan mengurusi rakyat," kata Minan Tunja.

Itu dari sisi hukum. Mamak Kenut mencoba membolak-balik catatan kuliah dan tanya sana-sini.

"Nggak ada. Aneh juga tuh kontrak politik. Dalam teori terbentuknya negara, hanya dikenal teori kontrak sosial," sahut Mat Puhit.

"Tapi, dalam konsepsi kontrak sosial, tidak ada tanda tangan segala," ucap Pithagiras.

Oke deh, kita lupakan kontrak politik yang mak jelas itu. Baiklah, kita bicarakan dulu mengenai kontrak sosial, sebelum memutuskan ikut pemilihan kepala daerah (pilkada), 9 Desember nanti.

Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Zaman Pencerahan (Enlightenment) yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik dan bernegara.

Dalam perspektif kesejarahan, Zaman Pencerahan ini adalah koreksi atau reaksi atas jaman sebelumnya, Zaman Pertengahan. Walau pun begitu, pemikiran-pemikiran yang muncul di Zaman Pencerahan tidaklah semuanya baru. Teori kontrak sosial yang berkembang pada Jaman Pencerahan ternyata secara samar-samar telah diisyaratkan oleh pemikir-pemikir jaman-jaman sebelumnya seperti Kongfucu dan Aquinas. Yang jelas, pada Zaman Pencerahan ini unsur-unsur pemikiran liberal kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.

Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari dan membahas tentang kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun (apalagi!) di dalam praksisnya.

Perbedaan itu terjadi karena latarbelakang pribadi dan kepentingan masing-masing. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Hobbes (1588-1679) hidup pada kondisi negaranya sedang kacau balau karena Perang Saudara; bahwa Hobbes menginginkan negaranya stabil dan Hobbes mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan kerajaan, sehingga dalam persaingan kerajaan versus parlemen Hobbes memihak kerajaan dan antiparlemen yang dianggap sumber utama perang saudara.

Locke hidup (1632-1704) setengah abad lebih muda daripada Hobbes. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Locke merasa hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan despotik. Locke mendapat pengaruh dari semangat liberalisme yang sedang bergelora di Eropa pada waktu itu. Locke juga mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan parlemen yang sedang bersaing dengan kerajaan, sehingga Locke cenderung memihak parelemen dan menentang kekuasaan raja.

Sedangkan Rousseau (1712-1777) hidup dalam abad berbeda dan negara berbeda pula. Rousseau berasal dari kalangan biasa yang merasakan kesewenang-wenangan kerajaan. Rousseau mengilhami dan terlibat dalam Revolusi Perancis.

Dalam membangun teori kontrak sosial, Hobbes, Locke, dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah.

Kata Hobbes, karena kondisi alamiah tidak aman, dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang-satu-dengan-lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil. Caranya adalah masing-masing anggota masyarakat mengadakan kesepakatan di antara mereka untuk melepaskan hak-hak mereka dan menstransfer hak-hak itu kepada beberapa orang atau lembaga yang akan menjaga kesepakatan itu agar terlaksana dengan sempurna. Untuk itu orang atau lembaga itu harus diberi hak sepenuhnya untuk menggunakan semua kekuatan dari masyarakat. Beberapa orang atau lembaga itulah yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya adalah menciptakan dan menjaga keselamatan rakyat (the safety of the people).

Masyarakat sebagai pihak yang menyerahkan hak-hak mereka, tidak mempunyai hak lagi untuk menarik kembali atau menuntut atau mempertanyakan kedaulatan penguasa, karena pada prinsipnya penyerahan total kewenangan itu adalah pilihan paling masuk akal dari upaya mereka untuk lepas dari kondisi perang-satu-dengan-lainnya yang mengancam hidup mereka. Di lain pihak, pemegang kedaulatan mempunyai seluruh hak untuk memerintah dan menjaga keselamatan yang diperintah itu. Pemegang kedaulatan tidak bisa digugat, karena pemegang kedaulatan itu tidak terikat kontrak dengan masyarakat. Jelasnya, yang mengadakan kontrak adalah masyarakat sendiri, sehingga istilahnya adalah kontrak sosial, bukan kontrak antara pemerintah dengan yang diperintah.

Seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Setiap anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust).

Namun, berbeda dengan Hobbes, Locke menyatakan sumber kewenangan dan pemegang kewenangan dalam teori Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak. Kesimpulan demikian ini tentu amat bertolak belakang dari kesimpulan yang dihasilkan oleh Hobbes.

Seperti halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam.

Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya hak-hak istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal.

Untuk menghindar dari kondisi yang punya hak-hak istimewa menekan orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable) dan tidak stabil, masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua (the free will of all), untuk memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Namun, kemudian Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte generale) untuk dibedakan dari hanya kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the quantity of the ‘subjects’), tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the quality of the ‘object’ sought).

Jadi, jangan percaya kontrak politik. Cukup dengan mengawal pilkada (demokrasi) berjalan baik dan berkualitas. Sebab, dalam pemilu atau pilkada itulah terjadi kontrak sosial antara masyarakat dan calon yang dipilih. Begitu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun