Mohon tunggu...
Rudi Setiawan
Rudi Setiawan Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Hanya bila anda punya waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dunia yang Terlanjur Begini Bagian V (Menyerah, Mengubah atau Mengakali)

21 September 2019   09:09 Diperbarui: 21 September 2019   09:26 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari bagian I sampai IV saya hanya menyalahkan orang serta bicara soal pesimisme saya terhadap dunia yang terlanjur salah setting . Tapi dalam keterlanjuran yang sebenarnya masih bisa diobati, asal semua sadar, kita masih bisa bersikap. 

Andai memang tidak bisa lagi diubah, seperti dunia -- tepatnya Indonesia -- yang utopis yang direncanakan seorang Pandji Pragiwaksono dalam bukunya "Berani Mengubah", kita bisa bisa mengambil beberapa alternatif langkah. Satu menyerah, dua mengubah seperti yang dicanangkan Pandji, atau Mengakali.

Yang terakhir ini menarik untuk kita telisik lebih dalam. Pasca runtuhnya Sovyet dan bersatunya Jerman, praktis Amerika menjadi adikuasa tanpa ada rival. China tidak membiarkan posisi rival Amerika ini kosong terlalu lama. The new superpower is China.

Francis Fukuyama menulis pasca runtuhnya Sovyet, "The End of History", berakhirnya sejarah. Tidak ada lagi rivalitas. Kapitalisme menang, karena komunisme sudah runtuh dengan bubarnya Sovyet dan runtuhnya tembok Berlin. Buku ini walau ditulis oleh seorang akedemisi ternyata terbukti salah di kemudian hari. Kekuatan lain China, bangkit.

Saya teringat ketika saya masih kecil, tahun 2007an, saya sebagai anak SD selalu memperhatikan semua barang yang saya pakai atau pegang. "Made in" mana barang itu, dan saya temukan, peniti, jarum, mesin jahit, kancing, dan barang-barang perintilan lainnya adalah "Made in China". 

Saya berpikir, Jepang dan AS itu lebih hebat dari China. Ternyata setelah saya tahu sekarang, saat itu China menerapkan politik tirai bambu. Menutup diri terhadap persaingan global, memproduksi low-tech (zero-tech) consumer goods. 

Seperti orang dagang, ada yang jualan komputer, ada juga yang jualan beras, belum tentu pedagang komputer lebih kaya dari pada pedagang beras, tergantung volumenya bukan?

China adalah negara yang sadar diri terhadap kemampuannya. Saat itu Indonesia sibuk dengan industri strategis yang dicanangkan anak emas Soeharto Habibi, INDUSTRI PESAWAT TERBANG. Nggak jalan bro, terang saja, harus bersain sama Boeing dan Airbus. 

Duh, akhirnya nggak ada yang mau beli, beberapa, itu juga mungkin karena ngga enak sama Soeharto, Sering terjadi kan kita beli ke teman, gara-gara nggak enak, bukan karena kita butuh. Thailand mau beli, tapi barter sama ketan.

Tapi China ternyata punya rencana besar. Dia benar-benar ngumpulin modal dan keahlian. Ibarat orang berdagang, dia mulai dari toko kelontong, setelah punya modal dan sekolahin anak keluar negeri, dia masuk ke low-tech dan akhirnya seperti hari ini. Tidak ada lagi istilah HP China, karena HP semua sudah dibuat di China dan brand China pun seperti Xiaomi, Hwa Wei, ZTE, sudah masuk ke high-end smartphone.

China adalah negara yang mengakali. Orang bilang kapitalisme adalah musuh komunisme. Wow, sekarang sudah menjadi bias. Kapitalisme butuh biaya produksi yang murah, dia butuh upah buruh yang murah, dan cuman Komunisme yang bisa menyediakannya. 

Capitalism has no religion, they need a cheap stuffs on their mall, so they collaborate with communism. Itulah, China, dari pedagang peniti sampai ke pembuat handphone canggih yang dipakai hampir di semua negara di dunia.

Dan China -- bukan hanya China -- berhasil karena menyontek. Develop from scratch is really painful. Tanpa harus menghadiri seminar Mario Teguh, China sudah menerapkan Amati Tiru Modifikasi (ATM). Android adalah teknologi opensource, dan semua HP Android yang dibuat di China, teknologinya dikembangkan oleh Google. 

Artinya China hanya melakukan ATM, atau kasarnya Mencontek. Artinya kita tertinggal dari negara pencontek, kita membeli dari negara pencontek, kita "NYONTEK aja MALES". Kurang parah apa kita.

Kita tidak akan bisa memenangkan "the unfair race" seperti ilustrasi dari artikel ini dengan pola pikir kita yang sekarang. Sistem pendidikan hari ini masih mengandalkan tingkat menghapal siswa sebagai sesuatu yang harus diutamakan. Padahal dunia sudah jauh berubah. Salah satu perusahaan terbesar di dunia Google -- yang juga masuk fortune 500 -- adalah perusahaan yang menerapkan open source. 

Artinya buat Internet Giant seperti Google menerapkan sesuatu yang terbuka, tak perlu disimpan-simpan, tak perlu dihapal, eh kita masih mendidik dengan cara ini. Sampai kapan kita begini. Dunia sudah terlanjur begini, menyerah, mengubah? Saya pilih mengakali.

Chaerudin -- sudah pantas jadi Menteri Pendidikan? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun