Mohon tunggu...
Udin 68
Udin 68 Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis artikel dan cerita pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

First True Story

15 November 2023   02:28 Diperbarui: 15 November 2023   10:16 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usai ujian semester ganjil, Mardin memanfaatkan waktu untuk pulang ke kampung bertemu dengan orangtua dan sanak keluarganya. Maklum mahasiswa baru, belum dapat bertahan lama di kota, kehangatan suasana kampung halaman masih terasa kuat. 

Perjalanan dari kota Ujung Pandang( Makassar) ke kampung halaman si Mardin memerlukan waktu sekitar 5 jam, menumpang bus panjang. Berangkat jam 10 pagi, dan sampai jam 3 sore. 

Begitu sampai di kampung, bertemulah dengan orang tua dan saudara-saudaranya kemudian beristirahat merebahkan punggungnya berberapa menit. 

Menjelang magrib, Mardin berjalan ke mesjid dengan maksud ingin shalat berjamaah magrib bersama warga. Tapi tak satupun warga yang datang ke mesjid magrib itu. "Mungkin warga pada shalat di rumah saja". Demikian pikiran Mardin.

Sedangkan Pak Imam, rumahnya agak jauh dan harus melewati sungai besar yg melintas di kampung itu. Sungai Bila, begitu orang menyebut nama sungai itu. 

Pak Imam umurnya 70 th kebih.  Sudah kakek, badannya sedikit pendek. Dia masih mampu berjalan tanpa tongkat. Karena rumahnya agak jauh, maka shalat lima waktunya tidak datang ke mesjid, kecuali shalat jumat dan lebaran.

 Bila musim hujan, terkadang banjir- Pak Imam  biasanya berenang sendiri, walaupun malam hari. Itu bila warga membutuhkannya, seperti acara baca doa selamatan dan acara keluarga lainnya. 

Mardin masuk masjid, mendapati keadaan gelap, dan waktu magrib hampir masuk, jarum jam dinding menujuk pukul 17.55, sedangkan magrib 18.00 sesuai jadwal yang tertempel di dinding- samping mimbar. 

Mardin pencet tombol saklar dekat mimbar, lampu tak menyala, pindah ke saklar yg ada di dinding sisi kanan juga lampu tak menyala, terus semuanya dicoba tak satupun menyala. Keadaan tambah gelap seiring terbenamnya Matahari beberapa derajat melewati horizon Bumi

Mardin memeriksa meteran dan sekring listrik. Ternyata sekring tidak ada, hanya lubangnya kelihatan, tidak terpasang apa-apa. 

"Pantas tidak menyala, arus listrik tidak tersambung ke jaringan kabel di dalam mesjid". Analisa Mardin. 

Ah... sebentar saya test, shalat dahulu" Demikian Mardin bergumam. 

Tetapi Mardin menaruh penasaran, apakah jaringan listrik dari tiang utama-ada-, kabelnya tidak rusak atau putus?. 

"Bila kabel dari tiang yg dipasang pihak PLN rusak atau putus maka biar dipasang sekring, tidak akan menyala juga lampu mesjid itu" Pikir Mardin lagi, sambil melayangkan pandangan ke kabel tiang di atas. 

Mardin berencana mengetes, ada tidaknya strum dengan jari telunjuknya. "Kalau tidak ada ya.. tentu aman-amann saja. Tapi kalau ada kan bahaya".

" Bagaimana ya?..kalau ada setrum, akankah tangan menempel, tidak lepas? Dalam hati Mardin

Mardin mencoba gerakan menonjok dinding tembok dengan telunjuk. Gerakan seperti aktor jagoan Kung fu  Bruce Lee Hongkong melepaskan jurus super cepat menonjok jidat lawan. Tangan seperti model ular kobra menjulurkan lidah dan sesekali mematok siapa mengganggunya. 

Mardin berkali-kali latihan menonjok tembok dengan gerak kecepatan tinggi. Secepat jarum mesin jahit turun naik. Gerakan ini bermaksud  agar tangan tidak menempel ketika memasukkan telunjuk ke lubang sekring nanti. 

Jam diding menunjukkan pukul 18.15, shalat  magrib agak telat, gara-gara latihan berhadapan tembok. Tak seorang pun melihatnya. 

Mardin  segera azan lanjut iqomat. Lalu shalat magrib sendirian dan shalat sunat ba'dia. Doa dan dzikir diperpendek saja. Kemudian segera berdiri menuju ke posisi meteran listrik untuk melakukan aksinya. Aksi mengetes setrum listrik dengan telunjuk. 

Setelah memperhatikan lubang tempat sekring, Mardin kembali mencoba dengan telunjuk tangan kanan, dua kali menonjok tembok dan menariknya dengan super cepat. Dia semakin yakin, bahwa tangannya takkan mungkin menempal pada dasar lubang sekring saat telunjuk dimasukkan, bila ada arus atau setrum. 

Bersiap... segera...dites! 

" Semoga tidak ada setrum listrik -Bismillah..."- ssekk- mpakk, terkejut! 😣

Tepat-ssek- telunjuk di dasar lubang, seketika itu juga bunyi-mpakk- terasa di kepala si Mardin. Seperti petir menyambar, menempeleng keras dari atas kepala. Dan seketika itu jantungnya terkejut, terasa stop sejenak. Bersamaan itu pula telapak kakinya seperti ada yang memukul dengan keras dari arah bawah lantai. 

"Duh... Hwahh...Hammmpir!"

Untunglah hanya sekejap saja aliran listrik dalam tubuh Mardin - setrum berlalu sesat saja, tidak sampai 1 detik, bahkan 1/2 detik pun tidak juga. 

"Astagfirullah... Ceddekak mate" Gumam Mardin menyesali kelakuannya. 

"Astagfirullah... Saya hampir mati". Mardin menyesali diri sendiri, mengapa itu dilakukannya. Perkataan ampunan itu beberapa kali Mardin ucapkan dalam kesendiriannya sambil melangkah pulang ke rumah. 

Penyesalan sangat mendalam terhujam dalam hati Mardin dan bersumpah, - tidak akan main berani-beranian lagi dengan strum listrik. Takkan pernah lagi berbuat sebodoh itu. 

Rupanya peristiwa itu menjadi pengalaman jelek sekaligus juga  pengalaman yg sangat berarti bagi Mardin. Bahwa itu adalah sejelek-jeleknya percobaan, yang tak perlu dicontoh oleh siapapun juga. Sebaliknya Mardin mengerti bahayanya tegangan listrik. Betul-betul sangat bahaya! 

Pengalaman yang tidak harus diulang kedua kalinya dalam hidup. Kelakuan yang amat bodoh,dan sangat fatal. Semoga tidak ada seorang pun yang mengikuti.

 Awas bahayanya sangat dahsyat! Dapat menghanguskan seluruh tubuh, bila sengatan bertegangan tinggi. 

Bone, 15-11-2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun