Dari kajian TIMSS 2003, misalnya, ada informasi penting dan berharga yang bisa kita pelajari. Faktor kurikulum, guru, dan dukungan dari sekolah dan orangtua memberikan kontribusi terhadap pencapaian prestasi belajar matematika siswa. Mari belajar dari Malaysia dan Singapura, dua negara tetangga yang punya prestasi relatif bagus dalam studi TIMSS.
Dalam prestasi matematika, siswa Singapura menduduki posisi pertama di tahun 1999 dan 2003, posisi kedua di tahun 2011, dan pernah merosot ke posisi ketiga di tahun 2007. Skor rata-rata prestasi matematika siswa Singapura selalu berada di atas skor rata-rata internasional.
Prestasi matematika siswa Malaysia berada di posisi 16 (1999), posisi 10 (2003), posisi 20 (2007), dan posisi 26 (2011). Di tahun 1999 dan 2003, skor rata-rata prestasi matematika siswa Malaysia berada di atas skor rata-rata internasional. Hanya sayang di tahun 2007 dan 2011, skor rata-rata prestasi matematika siswa Malaysia mengalami kemunduran karena berada di bawah skor rata-rata internasional.
Apa hal yang menarik dicermati dari data TIMSS 2003? Skor prestasi matematika siswa Indonesia (411) di bawah siswa Malaysia (508) dan Singapura (605). Hanya 1 persen siswa Indonesia mencapai skor tingkat lanjut (625) dan 6 persen berhasil mencapai skor tinggi (550).
Sedangkan siswa Malaysia dan Singapura secara berturut-turut berjumlah 6 persen dan 44 persen mencapai skor tingkat lanjut (625) serta 30 persen dan 77 persen mencapai skor tinggi (550) pada benchmark internasional.
Naasnya, jika melihat jumlah jam pengajaran matematika di sekolah, jumlah jam pelajaran matematika siswa Indonesia (169 jam) lebih banyak dibanding siswa Malaysia (131 jam) dan Singapura (160 jam). Banyaknya jumlah jam pengajaran matematika tak berkorelasi dengan prestasi matematika siswa. Lantas, apa hikmah yang bisa dipetik dari hasil TIMSS 2003?
Pertama, lemahnya kurikulum matematika di Indonesia. Karakteristik soal-soal yang diujikan di TIMSS cenderung mengujikan aspek penalaran dan pemecahan masalah (Problem Solving).
Kurikulum matematika di Indonesia sendiri terlalu banyak menekankan pada penguasaan keterampilan dasar menghitung (basic skills) yang bersifat prosedural.
Di Malaysia, kurikulum matematika lebih banyak menitikberatkan pada penguasaan keterampilan berpikir prosedural dan pemahaman atas konsep serta prinsip matematika. Bagaimana dengan kurikulum matematika di Singapura?
Inilah kehebatan pengambil kebijakan di negeri singa. Kurikulum matematika memberikan titik penekanan pada penguasaan keterampilan berpikir prosedural, pemahaman atas konsep dan prinsip matematika, penerapan matematika dalam konteks kehidupan sehari-hari, berkomunikasi secara matematis, dan bernalar secara matematis dalam porsi yang sama banyaknya.
Jadi, wajar rasanya jika prestasi matematika siswa Singapura berada dalam performa terbaik dalam studi TIMSS dari tahun ke tahun. Karena Singapura memiliki kurikulum matematika yang berorientasi pada proses eksplorasi penalaran dan kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking).
Kedua, kurangnya guru-guru matematika yang terlatih. Rendahnya tingkat pendidikan guru, kurangnya guru dengan ijazah di bidang matematika, dan kurangnya pengembangan profesional guru ditengarai turut menentukan jeblok atau bagusnya prestasi matematika siswa dalam studi TIMSS.