Dari contoh di atas, kita bisa bersepakat bahwa konsep taqwa ini bukan serta merta kita diminta menjadi manusia super yang langsung bisa berkata "Tidak" untuk sesuatu yang tidak boleh (haram) dan langsung mengangguk "iya" untuk sesuatu yang diperintahkan-Nya. Konsep taqwa membutuhkan pelatihan, untuk itu Allah Swt mengulang-ngulang pesan-Nya untuk senantiasa mengingatkan kita akan self awareness, dan ini perlu dilatih. Puasa di bulan Ramdhan, adalah salah satu pelatihan untuk menuju kondisi self awareness, Taqwa, la'alakum tattaquun. Â
Kembali kepada konsep kesadaran.
Kesadaran telah menjadi diskursus panjang di bidang psikologi. Dimulai dari Rene Descartes 4000 tahun yang lalu, memperkenalkan konsep dualisme pikiran-tubuh atau gagasan bahwa sementara pikiran dan tubuh terpisah, mereka berinteraksi. Setelah psikologi didirikan sebagai disiplin yang terpisah dari filsafat dan biologi, studi tentang pengalaman sadar menjadi salah satu topik pertama yang dipelajari oleh psikolog awal. Penelitian tentang kesadaran manusia telah berkembang pesat sejak tahun 1950-an, dan diskursus kesadaran semakin tidak bisa dipisahkan dari ruang disiplin ilmu kesadaran berada dalam lingkup ilmu psikologi yang mendominasi saat itu yaitu teori behaviorisme oleh John Watson dan BF. Skinner. Beberapa tokoh seperti Carl G. Jung dan Sigmun Freud adalah kontributor dalam teori mengenai kesadaran.
Dari perkembangan teori mengenai kesadaran inilah, penulis mencoba melihat bagaimana konsep ketaqwaan dengan pengertian sebuah kesadaran yang sifatnya mengandung kebebasan berkehendak dan bertindak alih-alih kepada konsep kepatuhan yang sifatnya lebih rigid, seolah-olah memberangus kebebasan berkehendak. Dengan memperhatikan kerangka keadaran mulai dari perhatian (attention), terjaga (weakfullness), bangunan (architecture), pengambilan informasi (recalling knowledge) sampai dengan novelty, emergency dan selectivity dan subjectivity, saya melihat bahwa kesadaran adalah hal yang menarik ketika Allah Swt menjadikannya sebagai hal yang senantiasa diperingatakan kepada manusia. Poin penting yang ingin saya sampaikan, sekali lagi, bahwa konsep ketaqwaan tidak hanya dipahami sebagai kesadaran pasif yang langsung ditelan mentah-mentah sebagai bentuk kepatuhan atau ketakutan semata yang bisa jadi menghilangkan nilai kehendak bebas (free will) dari seorang manusia.Â
Di luar konsep kesadaran (consciousness), dalam dunia psikologi juga dikenal unconsciousness dan subconsciousness (Bawah sadar) yang justru lebih dominan dalam peranan aktivitas otak/fikiran manusia. Satu penelitian menyebutkan bahwa 88% aktivitas pemikiran kita dikendalikan oleh "bawah sadar" kita. Inilah yang menguatkan pentingnya memahamikonsep ketaqwaan dalam konteks kesadaran. Â
Inilah juga kiranya maksud ketaqwaan sebagai sebuah kesadaran yang senantiasa Allah ingatkan, ketika Allah dengan Rubbubiyah-Nya yang telah menciptakan alam raya termasuk manusia, selanjutnya memberikan pembinaan dan perawatan agar manusia senatiasa mengembangkan kesadaran baik self awareness dan God Conscious.
Allah Swt telah memberikan petunjuk/bimbingan/hidayah-Nya untuk semua penciptaan-Nya. Tak ada satupun dari ciptaan-Nya yang berjalan dengan kesia-siaan. Semuanya menuju kepada maksud tertentu. Manusia diciptakan untuk melakukan pengabdian. Manusia diturunkan ke bumi untuk tugas kekhalifahan, yaitu memakmurkan bumi, bukan sebaliknya melakukan belbagai kerusakan di muka bumi.
Kita mulai dari kesadaran atas diri sendiri, self awareness. Self (diri), dalam bahasa alqur'an adalah nafs. Self telah menjadi kajian penting dalam ilmu psikologi. Cendekiawan Muslim Muhammad  Iqbal adalah salah satu tokoh Muslim yang mengabdikan diri-nya dalam penelusuran mengenai "diri" ini. Kajian nafs dalam kaitannya sebagai salah satu kelengkapan manusia di luar kelengkapan fisik, sebagai penerima hidayah-Nya telah penulis bahas dalam Buku Merancang Perjalanan Indah yang menjelaskan mengenai 4 prinsip Hidayah. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah  bagaimana nafs menjadi faktor penting yang harus diketahui manusia dan menjadi penentu dalam pemeliharaan tauhidullah.
"Kepribadian Manusia" atau diri (self) adalah sesuatu yang harus dipelihara dan diatur sendiri, sehingga dapat berkembang menjadi 'Baik' (atau sebaliknya, 'jahat') melalui pikiran dan tindakannya. Nafs tidak sirna dengan kematian. Jika dikembangkan, ia dapat berkembang dalam kehidupan ini dan bertahan bahkan setelah kematian.
Di dalam alqur'an disebutkan bahwa yang menerima petunjuk-Nya adalah nafs itu sendiri (QS 32:13). Dengan demikian, energi (Ruh) Allah diterima oleh Nafs. Nafs mengambil realitas dan karenanya berada dalam kondisi keabadian dan stabil. Nafs/Diri memiliki kapasitas dalam hal "pengalaman nilai". Kemudian, diri berkembang terutama melalui upayanya sendiri. nafs termasuk unsur utama dari manusia, bahkan ada yang mengatakan sebagai intisari dari manusia. Hampir semua ulama, kaum sufi dan filosof muslim ikut berbicara tentangnya dan menganggapnya sebagai bagian yang lebih dahulu diketahui oleh seorang manusia. Dimensi nafs atau jiwa dalam Islam lebih tinggi dari sekedar dimensi fisik dan merupakan bagian dari metasfisika. Ia merupakan penggerak dari seluruh aktifitas fisik manusia. Meskipun saling membutuhkan antara jiwa dan jasad tanpa harus dipisahkan, namun peran jiwa akan lebih banyak mempengaruhi jasad.
Dalam QS 7: 172, diperoleh informasi bahwa nafs lah yang melakukan kesaksian dengan Allah Swt di alam Rahim. Berikutnya Allah memilihkan dinul Islam sebagai agama yang sesuai fitrah kejadian manusia (QS 30:30 dan 2: 132. Nafs sendiri yang menerima hidayah-Nya (QS 32:13) dalam kaitannya dengan hidayah manusia dapat menerima kebenaran Dinul Islam diistilahkan dalam alquran dengan kalimat Allah membuka dada manusia untuk memasuki dinul Islam (QS 6: 1125 dan 39: 22).