Khusus untuk kebiasaan terakhir, meminta maaf kepada siapapun, seperti: orang tua, kerabat, sahabat dan sejawat ini, diucapkan dengan penuh ketulusan dan kesadaran (ketaqwaan). Ini adalah awal yang baik untuk aktivitas di sebelas bulan berikutnya untuk tetap konsisten dengan ajaran ash-shiyam, yaitu menahan diri untuk tidak saling menyalahkan, bahkan mencaci-maki, merendahkan, dan menghina di antara kita.
Dalam praktik di luar konteks lebaran/idul Fitri, bagi saya, mungkin juga berlaku dan sepakat bagi tuan dan puan, bahwa untuk mengambil inisiatif meminta maaf adalah hal yang tidak mudah. Namun dengan pelatihan Ash-shiyam, diri dengan segala ke-ego-annya seolah lumer. Hal ini dibuktikan dengan berinisiatif meminta maaf.
Bisa jadi, ini adalah indikator awal dari berhasilnya program pelatihan Ash-shiyam. Namun, sebaliknya ketika  ego kita kembali mengeras untuk setiap konflik atau perbedaan pendapat/pandangan yang terjadi dalam kehidupan bersosial dan bermuamalah, maka perlulah kita berintrospeksi akan keberhasilan dalam program pelatihan Ash-shiyam.  Â
Dalam tataran praktis, bisa jadi Ash-shiyam inilah yang menjadi parameter ketaqwaan diri, keluarga, komunitas, masyarakat dan bangsa. Bagaimana perilaku kita dalam menyikapi diri, berhubungan dengan keluarga, komunitas, masyarakat dan berbangsa serta bernegara senantiasa menahan diri, tidak mudah terpancing, teprovokasi dan reaktif.
Semoga kita terhindar dari kondisi ironis, ketika setelah satu-tiga hari, komunikasi kita termasuk di  media sosial diwarnai dengan kesejukan, saling memaafkan serta rasa saling mengasihi dan percaya. Namun setelah itu, hujat-menghujat, saling memprovokasi atau ber-siulan, dengan cuitan dan postingan bernada hinaan, kebencian serta fitnah kembali mendominasi keseharian kita. Na'udzubillahi min dzalik...  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H