Merujuk kepada teks al-Qur'an, adalah fakta tertulis bahwa program pelatihan menahan diri (ash-shiyam) merupakan kewajiban bagi kaum beriman. Selanjutnya, adalah fakta bahwa tujuan pelatihan ini adalah satu kondisi kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam kehidupan manusia (taqwa).
Dua hal ini, kiranya, sependek pengetahuan saya, aman dari perbedaan tafsir.
Mengenai proses, termasuk praktik ash-shiyam terdapat beberapa tafsir. Dan hal ini bukanlah topik utama dalam tulisan singkat ini, walaupun pada akhirnya, kita tidak bisa dielakkan untuk membahas aspek proses ini.
Siapapun yang percaya akan Allah, dilanjutkan dengan kepercayaan kepada kitabullah yang memberikan tuntunan akan kewajiban pelatihan ini, seharusnya ikut bergabung dalam program ini.
Ash-shiyam, yang berarti menahan diri dipraktikan dalam upaya menahan aktivitas makan, minum dan berhubungan antara suami-istri dalam waktu yang telah ditentukan. Karena ketiga aktivitas halal inilah yang sering kali menjauhkan kita dari penghambaan hakiki kepada-Nya. Al-hasil, Ketaqwaan akan sulit diraih.
Dalam QS 2: 187, salah satu tafsir ekstrim yang tidak popular di kalangan muslim, namun sang mufasir menyatakan bahwa inilah yang paling rasional, menyatakan bahwa tiga larangan justru berbunyi perintah. Pertama, alah upaya untuk mendekatkan diri dengan golongan tertindas (), berikutnya mendapatkan pengetahuan () dan reformasi perilaku () yang memungkinkan Anda untuk membedakan yang benar dari yang salah ( ) dalam terang Alquran ( ). Inilah tafsir lain yang pernah saya dapatkan tentang ayat-ayat ash-shiyam (Aurangzaib Yousufzai, 2017).
Lepas dari adanya praktik yang berbeda, spiritnya adalah mengupayakan pelatihan menahan diri ini dilandasi dengan keimanan dan berujung dengan ketaqwaan.
Fakta tertulis bahwa ujung pelatihan ber-output ketaqwaan, inilah yang sekaligus menjadi kemungkinan ketika hasil yang diperoleh bisa jadi masih jauh dari kriteria ketaqwaan.
Siapa Muttaqiin? atau orang yang berada dalam ketaqwaan? Sungguh banyak penjelasan kata ini dalam alquran. Saya mengambil satu ayat dalam QS 2: 177, bahwa dinyatakan mereka yang bertaqwa adalah mereka yang menjadikan kebajikan sebagai kiblat/ideologi mereka, yaitu: Benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi; menjadi seorang dermawan; (Memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat; menepati janji, bersabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Â Â
Kalau ayat ini adalah indikator keberhasilan dalam program pelatihan, maka evaluasi perlu dijalankan atas hasil sebulan penuh kita melakukan proses pelatihan ash-shiyam.
Adalah kebiasaan kita dalam mengakhiri program pelatihan ini dengan do'a atau harapan agar segala amalan dalam pelatihan diterima oleh-Nya sebagai amalan baik/shalih. Tak, lupa menyisipkan kalimat permintaan maaf: Mohon maaf lahir-bathin.
Khusus untuk kebiasaan terakhir, meminta maaf kepada siapapun, seperti: orang tua, kerabat, sahabat dan sejawat ini, diucapkan dengan penuh ketulusan dan kesadaran (ketaqwaan). Ini adalah awal yang baik untuk aktivitas di sebelas bulan berikutnya untuk tetap konsisten dengan ajaran ash-shiyam, yaitu menahan diri untuk tidak saling menyalahkan, bahkan mencaci-maki, merendahkan, dan menghina di antara kita.
Dalam praktik di luar konteks lebaran/idul Fitri, bagi saya, mungkin juga berlaku dan sepakat bagi tuan dan puan, bahwa untuk mengambil inisiatif meminta maaf adalah hal yang tidak mudah. Namun dengan pelatihan Ash-shiyam, diri dengan segala ke-ego-annya seolah lumer. Hal ini dibuktikan dengan berinisiatif meminta maaf.
Bisa jadi, ini adalah indikator awal dari berhasilnya program pelatihan Ash-shiyam. Namun, sebaliknya ketika  ego kita kembali mengeras untuk setiap konflik atau perbedaan pendapat/pandangan yang terjadi dalam kehidupan bersosial dan bermuamalah, maka perlulah kita berintrospeksi akan keberhasilan dalam program pelatihan Ash-shiyam.  Â
Dalam tataran praktis, bisa jadi Ash-shiyam inilah yang menjadi parameter ketaqwaan diri, keluarga, komunitas, masyarakat dan bangsa. Bagaimana perilaku kita dalam menyikapi diri, berhubungan dengan keluarga, komunitas, masyarakat dan berbangsa serta bernegara senantiasa menahan diri, tidak mudah terpancing, teprovokasi dan reaktif.
Semoga kita terhindar dari kondisi ironis, ketika setelah satu-tiga hari, komunikasi kita termasuk di  media sosial diwarnai dengan kesejukan, saling memaafkan serta rasa saling mengasihi dan percaya. Namun setelah itu, hujat-menghujat, saling memprovokasi atau ber-siulan, dengan cuitan dan postingan bernada hinaan, kebencian serta fitnah kembali mendominasi keseharian kita. Na'udzubillahi min dzalik...  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H