Pengertian iman yang mashur adalah menjelaskan adanya integrasi antara hati, perkataan dan pekerjaan. Dalam QS 49: 14, menegaskan bahwa iman merupakan persoalan hati. Hal ini ditegaskan-Nya ketika Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.
Berikutnya ketika keimanan sebagai bentuk lanjut dari apa yang kita fahami dan yakini (QS 22: 54) merupakan bagian dari eksistensi manusia, maka seorang manusia akan mengomunikasikannya. Untuk itulah, Allah swt menyuruh Nabiyullah Muhammad Saw untuk memproklamirkan keimanannya (QS 3: 84). Demikian juga sejumlah ayat dalam alquran baik itu berupa pernyataan ataupun seruan, kata "iman" sering kali digandengkan dengan frase "amal shaleh". Hal ini menegaskan bahwa iman harus dibarengi dengan amal baik. Â Â
Dalam QS Al-muminun (23) 1- 9, dijelaskan mengenai ciri-ciri orang yang beriman dan beroleh kemenangan. Dalam kesembilan ayat ini, dijelaskan bahwa mereka yang  beriman adalah mereka yang khusyu' dan konsisten dengan shalat mereka; mereka yang efektif (kreatif dan inovatif) dengan kerja kemanfaatan dalam hidup; mereka yang selalu membersihkan diri dengan zakat;  mereka yang senantiasa menjaga kesucian dan kehormatan diri  sebagai kaum beriman; Mereka yang selalu menjaga amanat dan menunaikan janji-janji. Itulah amalan shalih dari orang-orang yang beriman. Ke-9 ayat di atas, penulis tegaskan adalah amalan shalihan atau kebaikan sebagai perilaku dasar dari orang-orang mumin.
Shalat, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-muminun di atas telah menjadi karakteristik amalan orang beriman. Inilah yang akan menjadi topik diskusi dalam tulisan ini.Â
Terdapat irisan perilaku orang beriman dalam QS 23: 1-9 dengan mereka yang secara konsistem mengerjakan dan memelihara shalat (mushalliiin) yang dijelaskan dalam QS Al-Ma'aarij (70): 22-35), sebagaimana dalam gambar di bawah ini.Â
Dari gambar di atas, terlihat bahwa perilaku menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia, terlihat masih di luar irisan dengan mushalliin. Namun, jika perilaku ini kita sepakati merupakan impact (dampak) dari keimanan kepada hari pembalasana dan rasa takut akan azab Tuhan (sebagai ciri mushalliin), maka hal ini jelas merupakan perilaku yang saling terkait. Demikian juga, ketika pengertian iman adalah integrasi antara hati, ucapan dan perilaku, maka berpegang teguh kepada kesaksian adalah maujud dari keimanan. Dengan demikian, dapat kita fahami bahwa gambar di atas bisa kita nyatakan sebagai irisan penuh antara komponen al-muminuun dan al-mushalliin. Atau dapat digambarkan sbb:
Â
Mari kita lebih dalam mendiskusikan mengenai konsep mushalliin dalam pandangan alquranul karim.
Mushaliin (Orang yang menegakkan Salaat), mempunya akar kata (tri literasi) dari (wau shad lam), dan kata ini merupakan "isim Fa'il" -- nama dari subyek -- dibawah paradigm "taf'il", yang berarti "mereka yang melaksanakan shalat untuk satu sama lain". Istilah mushalliin ini di dalam alquran ditemukan dalam tiga ayat, yaitu: Surat Al-Maarij (70), yang sudah ditampilkan sebelumnya, kemudian dalam QS Al-Mudatsir (74) dan QS Al-Maun (107).
Mari kita diskusikan mengenai ketiga kelompok ayat mengenai mushalliin ini.
Dalam Surat al-Ma'arij, Mushalliin dijelaskan dengan sejumlah karakteristik. Dalam Surat al-Mudhatsir, menjelaskan siksaan bagi mereka yang bukan termasuk kelompok Mushalliin, dan di surat al-Ma'un, para Mushalliin dijelaskan sebagai penipu/pendusta ad-diin.
Dalam ayat 19-21 Surat al-Ma'arij, tiga ayat yang mengantarkan kepada istilah mushalliin, kita dapat melihat sifat manusia yang Allah gambarkan dengan istilah "halu'an", suka mengeluh.
Menarik, apa yang disampaikan oleh Dr. Qamar Zaman, berkebangsaan Pakistan, mengenai QS 19-21 ini, dengan memberikan penjelasan bahwa manusia pada dasarnya adalah penuh cinta dan mudah bergaul, tetapi pergantian zaman telah mengantarkan menusia menjadi orang yang tidak sabar dan mudah tersinggung. dalam menjelaskan kata "khuliqa", yang berarti telah diciptakan,
Qamar Zaman menguraikan bahwa kata ini merupakan 'kata kerja pasif', - tindakan (atau kata kerja) merujuk kepada Tuhan. Tuhan dijadikan sebagai 'subjek'; sedangkan, dalam bentuk pasif ini, tidak ada subjek. Subjek itu seharusnya ditempatkan dalam sebuah konteks.Â
Oleh karena itu, khuliqa hubungan di sini adalah dengan 'objek' -manusia itu sendiri- kebiasaannya, keinginannya sendiri dan pola masyarakat yang mana membuatnya menjadi manusia yang pemarah, tidak sabar, sementara, awalnya diciptakan oleh Tuhan dengan indera yang lebih halus di garis cinta dan persahabatan. Manusia akhirnya turun ke level tertentu di mana, jika menimbulkan rasa sakit atau masalah, berteriak keras serta mengeluh; dan, jika bertemu dengan kebaikan, berubah menjadi penghambat rezeki atau kikir. Tapi, seorang Mushalliin tidak seperti ini. Berbeda dengan sikap di atas, mereka tetap teguh di jalan shalat mereka.Â
Sampai di sisni, semoga kita dapat memahami bahwa "Sholat" adalah "Kode Kehidupan-Code of life" di mana seseorang tetap menjadi manusia. Dia penuh cinta. Dia hidup sesuai dengan tujuan penciptaan yang ditentukan Tuhan, dan tetap baik hati. Dia tidak menjadi seorang yang tidak sabaran dan mengiritasi. Dia tidak berteriak keras, mengeluh dalam kesakitan dan kesusahan. Demikian pula, ketika dia diberkati dengan kekuasaan dan kekayaan, dia bekerja untuk kesejahteraan umat manusia. Tidak hanya dia menghindari semua yang jahat, tapi sifat baiknya diringkas dalam pengejaran itu. Kode Kehidupan yang telah diberikan Tuhan kepadanya, yaitu, dia mengikuti bimbingan ilahi dengan mantap.
Itulah orang-orang yang mengakui hak-hak orang yang dirampas dan mereka yang membutuhkan. Mereka memverifikasi, dengan perbuatan mereka, semua itu adalah perintah-perintah yang disebut ad-Diin; dan mereka sangat takut akan munculnya akibat negatif yang berasal dari perbuatan jahat dan disebut sebagai siksaan, karena siksaan itu kebalikan dari perdamaian. Tidak hanya Mushalliin ini, tetapi juga mereka yang ada di bawah kepemilikan tangan kanan mereka, yang melindungi "furuuj" mereka, kecuali dengan "azwaaj" mereka, dan tidak ada kesalahan bagi mereka.Â
Tindakan apa pun selain itu adalah pelanggaran. Mereka memenuhi kewajiban dan menghormati kesaksian mereka. Dan pada akhirnya, mereka adalah orang-orang yang menjaga shalat mereka, maka dijelaskan dengan terang apa yang dimaksud dengan shalat itu. Artinya, shalat itu didirikan di dasar-dasar perintah ilahi yang tidak memiliki suatu aspek negatif; sebaliknya, semua atributnya positif; dan dengan atribut positif ini, mereka menghilangkan kejahatan dari masyarakat dan menanamkan hal-hal yang baik, dan proses itu membantu dalam mendirikan masyarakat yang direformasi, yaitu terdapat banyak penyediaan berkah dari Tuhan.
Mereka membuka diri untuk semua orang. Â Sebaliknya, tentang mereka yang bukan Mushalliin, begitulah adanya ditahbiskan dalam Surat "al-Mudatsir", bahwa mereka dipertanyakan oleh kaum "Ashabul-yamin", yaitu yang dijelaskan sebelumnya sebagai: orang yang benar dan diberkati; memiliki akhlak dan moral yang tinggi; bertindak sesuai dengan perintah ilahi; dihormati dalam pandangan Tuhan; dan dihujani dengan nikmat Tuhan; tentang dosa apa yang telah mereka lakukan sehingga menimpa mereka hukuman/azab. Mereka akan menjawab dengan mengatakan bahwa mereka bukan golongan mushalliin. Kemudian mereka akan menjelaskan bahwa mereka sebenarnya orang-orang yang tidak memberikan sebagian rezeki kepada kaum miskin.
Ini menjadi poin yang sangat penting. Tidak menyediakan rezeki bagi kaum miskin membuat manusia mendapat azab/siksaan. Mereka tidak lagi termasuk kaum mushalliin. Mereka menjadi penjahat. Pada kenyataannya, kaum miskin tidak hanya kelompok yang biasa kita sebut miskin (ketiadaan atau kekurangan secara materil). Setiap orang yang telah dirampas haknya dan yang rezekinya tidak disediakan untuk mereka, maka mereka adalah kaum miskin.
Di manapun sebuah masyarakat yang keberadaaanya memberikan perhatian bagi hak-hak kepada  setiap orang, sehingga tidak ada lagi yang khawatir tentang kebutuhan seseorang, dan di mana seseorang mendapatkan kebutuhan sebelum dia harus meminta karenanya, maka pastikanlan bahwa mereka, kaum mushalliin-lah yang mengusahakan masyarakat seperti itu.
Sebaliknya, mereka yang tidak mengikuti parameter sholat, maka bagi waktu mereka adalah hal yang sia-sia dalam sejumlah retorika yang tidak berguna. Perbuatan mereka tidak bermanfaat bagi masyarakat. Faktanya, mereka inilah yang telah menyangkal dan mendustakan "yaum ad-din", hari pembalasan. Mereka sudah memalsukan perintah-perintah ilahi. Dan mereka telah melakukannya dan terus melakukannya sampai hari kiamat mereka, yaitu, ketika pembalasan dihadapkan kepada mereka.
Berikjutnya, dalam Surat "al-Ma'un", Â memahamkan kita mengenai keadaan kaum Mushalliin dimana mereka berniat untuk bertindak memenuhi perintah ilahi (shalat), tetapi tanpa sepenuh hati, dan hanya untuk menunjukkan atau memamerkan kepada orang-orang bahwa mereka adalah kaum mushalliin.
Dalam Surat Al-ma'un ini, setiap dari kita ditanyai, apakah kita berkesempatan merenungkan keadaan orang yang memalsukan Ad-diin (aturan Ilahi). Dan Allah memberikan kejelasan siapa mereka, para pendusta ad-diin. Merekalah yang menghardik dan mengusir kaum yatim -deskripsi yang sama seperti diungkapkan dalam Surah "al-Mudatsir"-, dan mereka yang tidak memberikan hak-hak kaum miskin.
Dan seperti yang telah disampaikan di atas, miskin adalah termasuk setiap orang yang telah dirampas haknya dan tidak bisa mendapatkan rezeki. Dari Surat Al-maun ini, hanya ada satu poin yang menjeadi penekanan; yaitu, mereka yang mengusir kaum yatim (orang-orang yang tidak berdaya), dan menolak untuk menyediakan sebagian rezeki bagi kaum miskin sama saja dengan para penyangkal dan pembohong Ad-diin. Dengan demikian, kita bisa memahami bahwa esensi ad-diin adalah pemulihan hak yatim dan miskin.
Di sinilah hubungan erat antara ad-diin dengan shalat. Shalat, bukan sekedar ritual bacaan dan gerakan. Demikian akhirnya, sebagaimana ad-diin, shalat adalah Code of life -- bukan ritual semata. Hal ini relevan, dengan keterangan (al-hadits) bahwa barang siapa yang menegakkan shalat, mereka adalah telah menegakkan ad-diin.Â
Di bawah panji ad-diin, orang tidak bekerja untuk penegasan diri, tetapi, di atas fondasi ketuhanan, perintah ilahi yang konkret, berusahalah untuk membangun peradaban di mana tidak ada yang dirampas hak-hak dasarnya; dan di mana tidak ada orang merasa terhina dengan tunduk pada rezeki orang lain; dan tentunya tidak ada yang perlu menjadi pengemis. Semua orang memberikan perhatian dan mengurus yang lainnya.Â
Tidak ada yang bekerja untuk pernyataan diri dan tidak ada yang mencoba membatasi nikmat Tuhan untuk dirinya sendiri, tetapi mereka bergegas dan terbuka bagi semua untuk mendapatkan kemakmuran. Orang yang benar-benar menegakkan shalat adalah mereka yang mempunyai tanggung jawab sosial, mereformasi sosial menuju masyarakat yang dipenuhi keberkahan-Nya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H