Mohon tunggu...
setiadi ihsan
setiadi ihsan Mohon Tunggu... Dosen - Social Worker, Lecturer.

Menulis itu tentang pemahaman. Apa yang kita tulis itulah kita.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Say Good Bye untuk Kebodohan

14 Juni 2020   16:30 Diperbarui: 14 Juni 2020   16:46 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sesungguhnya makhluk yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun.(QS 7: 22)

Hal yang pertama diajarkan Tuhan kepada manusia pertama adalah ilmu pengetahuan (QS 2: 31). Demikian juga ketika Adam terusir dari jannah, atas kelalaiannya, maka Rubbubiyah-Nya, khususnya dalam hal pembinaan kepada manusia terus berlanjut dengan memberikan jaminan akan adanya petunjuk (QS 2: 38). Kemudian Allah, Ar-rahmaan yang mengajarkan Al-Qur'an, mengajarkan manusia pandai berbicara, kemudian yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Begitulah sejumlah informasi dari ayat-ayat Allah dalam kitab-Nya. Tidak cukup sampai di sana, kasih sayang Allah kepada manusia, secara berkelanjutan di setiap masa, maka diutus Nabi dan Rasul yang membawa Al-Kitab dan Al-Hikmah sebagai petunjuk bagi manusia. Rasul membacakan ayat-ayat Allah, mengajarkan al-kitab dan al-hikmah, dan menyucikan jiwa umatnya.

Dinul Islam merupakan kata majemuk dari kata ad-diin dan al-islam. Ad-diin, sering kali diterjemahkan sebagai agama, sehingga dinul Islam sering diterjemahkan sebagai agama Islam. Dalam a Concordance of Sublime the Qur'an, Laleh Bakhtiar menjelaskan ad-diin (arabic) berasal dari akar kata dal ya nun yang berarti the way of life (jalan hidup), tentunya lebih luas dari pengertian agama yang lebih mengutamakan pencarian keselamatan diri secara ekslusif, atau lebih dominan hubungan dengan Tuhan yang dwujudkan dengan aspek ritual. Dalam konteks QS 1: 4, diin berarti pembalasan atau perhitungan atau ketaatan, karena pada "hari" itu (hari Kiamat) terjadi perhitungan dan pembalasan Allah dan juga karena ketika itu semua makhluk tanpa kecuali menampakkan ketaatannya kepada Allah swt. dalam bentuk yang sangat nyata. (Al-Misbah Jilid I). Sementara kata islam, diambil dari akar kata sin lam mim, "salama" yang berarti berserah diri, selamat, tunduk. Dengan demikian dinul islam bisa berarti system hidup yang mengutamakan ketundukan.

Dalam QS 22: 54, disebutkan bahwa timbulnya ketundukan dan keimanan adalah berlaku bagi mereka yang diberikan ilmu (utul 'ilmi). Mereka, utul 'ilmi lah yang dapat menegaskan kesimpulan atas pembacaan kebenaran dari ayat-ayat Allah, yang pada akhirnya Allah menuntun mereka kepada jalan lurus (ilaa shirathal mustaqiim). Quraish Shihab, dalam tafsir Al-Misbah Jilid I, menjelaskan perbedaan kondisi yang berkaitan dengan jalan lurus (shirathal mustaqiim). Dalam QS 1: 6, tertulis: ihdina shirathal mustaqiim (tunjuki kami jalan lurus), ini berarti bahwa pemohon do'a telah berada dalam jalan lurus, atau dengan kata lain do'a ini adalah mengenai pemeliharaan hidayah. Berbeda dengan frase ilaa shirathal mustaqiim (sebagaimana dalam QS 22: 54 di atas). Ini menunjukkan bahwa sebelumnya mereka yang ditunjuk-Nya, yang diberi hidayah oleh Allah, belum berada dalam jalan lurus. Dengan demikian, orang-orang yang diberikan ilmu adalah mereka yang dapat menggunakan kapasitas akalnya dalam memahami kebenaran (termasuk Al-Qur'an) datangnya dari Allah Swt, dan mereka inilah yang "berpeluang" mendapatkan hidayah-Nya, memasuki dinul islam.

Mengapa demikian? Seseorang, tidak dapat memasuki dinul Islam dengan kemaunnya sendiri, kecuali dengan izin-Nya, yaitu hadirnya hidayah Allah. Dalam QS 6: 125, hidayah Allah datang dengan istilah dibukakan-Nya dada/hati mereka untuk menerima Islam, (dapat dilihat juga dalam QS 3: 20, 39: 22). Maka, di sinilah pentingnya ilmu, nalar atau akal dalam beragama islam. Islam sangat mengedepankan mengenai ilmu atau penggunaan nalar ini. Dalam ayat-ayat Al-Qur'an, dijumpai frase atau kalimat yang mengundang pembacanya untuk berfikir menggunakan kapasitas akal fikiran, dengan beberapa istilah, seperti: afalaa ya'qiluun (apakah kamu tidak berakal), afalaa yatadzakaruun (apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran), afalaa yatafakkaruun (apakah kamu tidak berfikir), afalaa ta'lamuun (apakah kamu tidak mengetahui), afalaa yatadabbaruun (apakah kamu tidak merenungkan/mencermati) atau afalaa yanduruun (apakah kamu tidak memperhatikan), dan lainnya.

Selain istilah utul 'ilmi, Al-Qur'an juga mengenalkan istilah ulil albab yang sering diterjemahkan sebagai mereka yang menggunakan akal. Ciri ulil albab salah satunya terdapat dalam QS 3: 190-191, yaitu mereka yang menerima pelajaran dengan adanya tanda-tanda keagungan Allah dari penciptaan langit dan bumi serta mereka yang mengingat Allah dalam berbagai kondisi dan memikirkan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam.

Orang-orang berilmu bahkan mendapat kedudukan tersendiri di hadapan Allah. Allah menempatkan mereka dalam derajat yang ditinggikan (QS 58:11), yaitu mereka yang melapangkan hatinya dalam menerima ilmu dan mengambil pelajaran dalam sebuah majlis ilmu. Selanjutnya, pada QS 3: 7, disebutkan satu golongan yang mendalami ilmu (Raasihuuna fil ilmi), mereka yang akan beriman kepada ayat mutsyabihat (alegoris, diperlukan pencarian makna dibalik kata-kata yang tertulis) dan merekalah yang dapat mengambil pelajaran (Muddakir). Keberadaan Muddakir ini juga disebutkan sampai 4 kali dalam QS 54 (Al-Qamar) dalam kaitannya dengan mereka yang menjadikan Al-Qur'an sebagai pelajaran (adz-dzikr).

Marilah kita memeriksa kisah Nabiyulllah Ibrahim, yang dikenal sebagai khalillah, yaitu kekasih Allah, Bapaknya para Nabi, dan juga sebagai Bapak Monoteism, karena ajarannya mengenai ke-esa-an Tuhan.

Istilah hanif, dalam Al-Qur'an selain dihubungkan dengan ad-diin, untuk menjelaskan Islam sebagai agama yang condong/tidak bengkok berisikan ketauhdian, juga merujuk kepada pribadi Ibrahim yang hanif (2: 123, 16: 120). Terjaganya pribadi hanif dan tidak musyrik dari seorang Ibrahim, ini ditunjukkan kecenderungan dan konsistensinya dalam pencarian kebenaran. Pembacaan Ibrahim terhadap ayat-ayat kauniyah, seperti kepercayaan yang berlaku pada masyarakat, saat itu, yaitu budaya pagan (berhala) ditentangnya dengan argumentasi yang menawan, demikian juga dengan pencarian dan perenungan Nabi Ibrahim mengenai Tuhan yang diriwayatkan perjumpaannya dengan bintang, bulan dan matahari yang berujung kepada kekecewaan atas ketidak-abadian mereka, dan akhirnya ia meneguhkan hatinya bahwa tuhan itu adalah Rabb yang menciptakan langit dan bumi. (bisa dilihat dalam QS 4: 74 -79, 2: 258)

Sikap hanif dan tidak musyrik dari Nabiyullah Ibrahim adalah contoh penjagaan "nafs" seorang manusia yang sebelumnya di alam rahim semua nafs diminta kesaksiaan, "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi" (7: 172). Inilah sikap condong terhadap kebenaran dan secara konsisten terus mencari kebenaran. Sikap hanif ini juga didukung dengan keluasan ilmu yang dimiliki seorang Ibrahim. Dalam Al-Qur'an, hal ini diabadikan dalam dalam QS 38: 45, disebutkan bahwa Nabiyullah Ibrahim bersama Ishaq dan Ya'kub mempunyai keluasan ilmu yang disebutkan dengan istilah ulil abshar (mereka yang tajam penglihatan). Demikian juga ketika berargumentasi dengan bapaknya, Ibrahim pun menyampaikan mengenai pengetahuan ini." Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus." (QS 19: 43).

Dalam al-Qur'an, ditemukan beberapa identitas mengenai sistem ketundukan ini, yaitu: agama yang dipilih oleh Allah (2:13), sesuai dengan fitrah penciptaan manusia (30:30), khalish, yaitu bersih dari syirik (QS 39: 3), hanif, haq (benar, 48: 28, 61: 9), sempurna dan di ridhai-Nya (5:3). Selanjutnya, Allah memberikan peringatan kepada manusia bahwa yang mendapatkan hidayah-Nya sehingga dapat memasuki dinul islam adalah mereka yang terbuka pemahamannya, sebagaimana Firman-Nya:" Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?..." (QS 39: 22).

Dengan penjelasan di atas, semoga kita mensyukuri bahwa keberadaan kita dalam Dinul Islam, sebagaimana Nabiyullah Ibrahim, dan orang-orang yang berilmu adalah yang telah beroleh nikmat-Nya, mendapatkan hidayah beragama serta berada dalam sistem ketundukan. Karena, Allah tegaskan bahwa keberadaan kita dalam ber-Islam adalah nikmat Allah sebagaimana para nabi, shiddiqiin, syahidin dan shalihin mendapatkannya. (QS 4: 69).

"Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: "Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar". (QS 49: 17)

Inilah pentingnya ilmu pengetahuan dalam menjaga sikap hanif dan menghadirkan ketundukan dan keimanan, termasuk menjaga keberagamaan dalam ber-Islam. Ketundukan, sebagai ciri dari dinul Islam, masih diperlukan ketika sudah memasuki Dinul Islam. Maka orang beriman, diminta untuk menjalankannya secara secara kaffah atau menyeluruh (QS 2: 208), istiqamah (teguh pendirian) sebagaimana Firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita." (QS 46:13, lihat juga dalam QS 41: 30) dan 'istisham (berpegang kepada tali Allah - tauhid). Tidak cukup kaffah, istiqamah, dan 'istisham, seorang muslim yang telah berada dalam Dinul Islam, Allah memerintahkan untuk melakukan pengabdian (ibadah) yang bertauhid, terbebas dari unsur syirik. Inilah inti dari dinul khalish. Maka Allah menyerukan untuk memiliki sikap mukhlishina lahuddin, memurnikan ketauhidan, sebagaiman Firman-Nya: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus (Mukhlishina luhiddin hunafaa)..." (QS 98:5).

Ketika Al-Islam didisain khusus untuk manusia, maka Allah telah menentukan tujuan penciptaan manusia. Pertama, adalah untuk melakukan pengabdian (51: 56), kedua adalah mengemban fungsi khalifatul fil ardl (menjadi wakil-Nya untuk mengurus bumi). Tugas dan fungsi yang tidak mudah, namun bagi orang yang berilmu justru memunculkan ketundukan dan keimanan, maka tugas dan fungsi ini disambut dengan komitmen: Hanya kepada-Mu lah kami mengabdi dan (ketika terjadi kesulitan, gangguan, godaan apapun) hanya kepada-Mu aku meminta pertolongan (QS 1: 5). Inilah wujud dari ibadah bertauhid atau sikap mukhishina lahuddin. Dan sekali hal ini hanya dapat dilakukan ketika kita sudah kokoh dangan 2 prinsip dasar: ketunudukan dan keimanan. Prinsip dasar ini hanya dapat difahami, diyakini dan dilaksankan oleh mereka yang berilmu.

Akhirul kalam, penulis mengingatkan kembali, wa bil khusus terhadap diri sendiri, bahwa gerbang ketundukan dan keimanan adalah 'ilmu. Sebaliknya, dinul Islam tidak mentolerir adanya sifat bodoh atau lemah akal yang berujung dengan dusta, zhalim, fasiq, munafiq, sombong, dan pembangkang yang nyata sebagaimana telah ditunjukan oleh Iblis dan kroninya yang telah menjadi musuh abadi manusia.

"Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai," (QS 51: 10 -11)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun