Sesungguhnya makhluk yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun.(QS 7: 22)
Hal yang pertama diajarkan Tuhan kepada manusia pertama adalah ilmu pengetahuan (QS 2: 31). Demikian juga ketika Adam terusir dari jannah, atas kelalaiannya, maka Rubbubiyah-Nya, khususnya dalam hal pembinaan kepada manusia terus berlanjut dengan memberikan jaminan akan adanya petunjuk (QS 2: 38). Kemudian Allah, Ar-rahmaan yang mengajarkan Al-Qur'an, mengajarkan manusia pandai berbicara, kemudian yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Begitulah sejumlah informasi dari ayat-ayat Allah dalam kitab-Nya. Tidak cukup sampai di sana, kasih sayang Allah kepada manusia, secara berkelanjutan di setiap masa, maka diutus Nabi dan Rasul yang membawa Al-Kitab dan Al-Hikmah sebagai petunjuk bagi manusia. Rasul membacakan ayat-ayat Allah, mengajarkan al-kitab dan al-hikmah, dan menyucikan jiwa umatnya.
Dinul Islam merupakan kata majemuk dari kata ad-diin dan al-islam. Ad-diin, sering kali diterjemahkan sebagai agama, sehingga dinul Islam sering diterjemahkan sebagai agama Islam. Dalam a Concordance of Sublime the Qur'an, Laleh Bakhtiar menjelaskan ad-diin (arabic) berasal dari akar kata dal ya nun yang berarti the way of life (jalan hidup), tentunya lebih luas dari pengertian agama yang lebih mengutamakan pencarian keselamatan diri secara ekslusif, atau lebih dominan hubungan dengan Tuhan yang dwujudkan dengan aspek ritual. Dalam konteks QS 1: 4, diin berarti pembalasan atau perhitungan atau ketaatan, karena pada "hari" itu (hari Kiamat) terjadi perhitungan dan pembalasan Allah dan juga karena ketika itu semua makhluk tanpa kecuali menampakkan ketaatannya kepada Allah swt. dalam bentuk yang sangat nyata. (Al-Misbah Jilid I). Sementara kata islam, diambil dari akar kata sin lam mim, "salama" yang berarti berserah diri, selamat, tunduk. Dengan demikian dinul islam bisa berarti system hidup yang mengutamakan ketundukan.
Dalam QS 22: 54, disebutkan bahwa timbulnya ketundukan dan keimanan adalah berlaku bagi mereka yang diberikan ilmu (utul 'ilmi). Mereka, utul 'ilmi lah yang dapat menegaskan kesimpulan atas pembacaan kebenaran dari ayat-ayat Allah, yang pada akhirnya Allah menuntun mereka kepada jalan lurus (ilaa shirathal mustaqiim). Quraish Shihab, dalam tafsir Al-Misbah Jilid I, menjelaskan perbedaan kondisi yang berkaitan dengan jalan lurus (shirathal mustaqiim). Dalam QS 1: 6, tertulis: ihdina shirathal mustaqiim (tunjuki kami jalan lurus), ini berarti bahwa pemohon do'a telah berada dalam jalan lurus, atau dengan kata lain do'a ini adalah mengenai pemeliharaan hidayah. Berbeda dengan frase ilaa shirathal mustaqiim (sebagaimana dalam QS 22: 54 di atas). Ini menunjukkan bahwa sebelumnya mereka yang ditunjuk-Nya, yang diberi hidayah oleh Allah, belum berada dalam jalan lurus. Dengan demikian, orang-orang yang diberikan ilmu adalah mereka yang dapat menggunakan kapasitas akalnya dalam memahami kebenaran (termasuk Al-Qur'an) datangnya dari Allah Swt, dan mereka inilah yang "berpeluang" mendapatkan hidayah-Nya, memasuki dinul islam.
Mengapa demikian? Seseorang, tidak dapat memasuki dinul Islam dengan kemaunnya sendiri, kecuali dengan izin-Nya, yaitu hadirnya hidayah Allah. Dalam QS 6: 125, hidayah Allah datang dengan istilah dibukakan-Nya dada/hati mereka untuk menerima Islam, (dapat dilihat juga dalam QS 3: 20, 39: 22). Maka, di sinilah pentingnya ilmu, nalar atau akal dalam beragama islam. Islam sangat mengedepankan mengenai ilmu atau penggunaan nalar ini. Dalam ayat-ayat Al-Qur'an, dijumpai frase atau kalimat yang mengundang pembacanya untuk berfikir menggunakan kapasitas akal fikiran, dengan beberapa istilah, seperti: afalaa ya'qiluun (apakah kamu tidak berakal), afalaa yatadzakaruun (apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran), afalaa yatafakkaruun (apakah kamu tidak berfikir), afalaa ta'lamuun (apakah kamu tidak mengetahui), afalaa yatadabbaruun (apakah kamu tidak merenungkan/mencermati) atau afalaa yanduruun (apakah kamu tidak memperhatikan), dan lainnya.
Selain istilah utul 'ilmi, Al-Qur'an juga mengenalkan istilah ulil albab yang sering diterjemahkan sebagai mereka yang menggunakan akal. Ciri ulil albab salah satunya terdapat dalam QS 3: 190-191, yaitu mereka yang menerima pelajaran dengan adanya tanda-tanda keagungan Allah dari penciptaan langit dan bumi serta mereka yang mengingat Allah dalam berbagai kondisi dan memikirkan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam.
Orang-orang berilmu bahkan mendapat kedudukan tersendiri di hadapan Allah. Allah menempatkan mereka dalam derajat yang ditinggikan (QS 58:11), yaitu mereka yang melapangkan hatinya dalam menerima ilmu dan mengambil pelajaran dalam sebuah majlis ilmu. Selanjutnya, pada QS 3: 7, disebutkan satu golongan yang mendalami ilmu (Raasihuuna fil ilmi), mereka yang akan beriman kepada ayat mutsyabihat (alegoris, diperlukan pencarian makna dibalik kata-kata yang tertulis) dan merekalah yang dapat mengambil pelajaran (Muddakir). Keberadaan Muddakir ini juga disebutkan sampai 4 kali dalam QS 54 (Al-Qamar) dalam kaitannya dengan mereka yang menjadikan Al-Qur'an sebagai pelajaran (adz-dzikr).
Marilah kita memeriksa kisah Nabiyulllah Ibrahim, yang dikenal sebagai khalillah, yaitu kekasih Allah, Bapaknya para Nabi, dan juga sebagai Bapak Monoteism, karena ajarannya mengenai ke-esa-an Tuhan.
Istilah hanif, dalam Al-Qur'an selain dihubungkan dengan ad-diin, untuk menjelaskan Islam sebagai agama yang condong/tidak bengkok berisikan ketauhdian, juga merujuk kepada pribadi Ibrahim yang hanif (2: 123, 16: 120). Terjaganya pribadi hanif dan tidak musyrik dari seorang Ibrahim, ini ditunjukkan kecenderungan dan konsistensinya dalam pencarian kebenaran. Pembacaan Ibrahim terhadap ayat-ayat kauniyah, seperti kepercayaan yang berlaku pada masyarakat, saat itu, yaitu budaya pagan (berhala) ditentangnya dengan argumentasi yang menawan, demikian juga dengan pencarian dan perenungan Nabi Ibrahim mengenai Tuhan yang diriwayatkan perjumpaannya dengan bintang, bulan dan matahari yang berujung kepada kekecewaan atas ketidak-abadian mereka, dan akhirnya ia meneguhkan hatinya bahwa tuhan itu adalah Rabb yang menciptakan langit dan bumi. (bisa dilihat dalam QS 4: 74 -79, 2: 258)
Sikap hanif dan tidak musyrik dari Nabiyullah Ibrahim adalah contoh penjagaan "nafs" seorang manusia yang sebelumnya di alam rahim semua nafs diminta kesaksiaan, "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi" (7: 172). Inilah sikap condong terhadap kebenaran dan secara konsisten terus mencari kebenaran. Sikap hanif ini juga didukung dengan keluasan ilmu yang dimiliki seorang Ibrahim. Dalam Al-Qur'an, hal ini diabadikan dalam dalam QS 38: 45, disebutkan bahwa Nabiyullah Ibrahim bersama Ishaq dan Ya'kub mempunyai keluasan ilmu yang disebutkan dengan istilah ulil abshar (mereka yang tajam penglihatan). Demikian juga ketika berargumentasi dengan bapaknya, Ibrahim pun menyampaikan mengenai pengetahuan ini." Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus." (QS 19: 43).
Dalam al-Qur'an, ditemukan beberapa identitas mengenai sistem ketundukan ini, yaitu: agama yang dipilih oleh Allah (2:13), sesuai dengan fitrah penciptaan manusia (30:30), khalish, yaitu bersih dari syirik (QS 39: 3), hanif, haq (benar, 48: 28, 61: 9), sempurna dan di ridhai-Nya (5:3). Selanjutnya, Allah memberikan peringatan kepada manusia bahwa yang mendapatkan hidayah-Nya sehingga dapat memasuki dinul islam adalah mereka yang terbuka pemahamannya, sebagaimana Firman-Nya:" Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?..." (QS 39: 22).