Mohon tunggu...
Setyawan 82
Setyawan 82 Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Tajamnya peluru yaka akan pernah bisa mengalahkan tajamnya pena. Ketajaman pena bermanfaat saat digunakan untuk hal yang patut.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Grondkaart di Belanda dan Indonesia, Sebelum Malu BAP DPD RI Wajib Tahu Sejarahnya

11 Oktober 2018   07:06 Diperbarui: 11 Oktober 2018   07:40 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doc. Pribadi: Wawancara Ekslusif dengan Praktisi Arsip, Nico Van Horn dari Leiden.

Permasalahan tanah khususnya yang menyangkut lahan milik negara yang hak penguasaannya diberikan kepada BUMN akhir-akhir ini sering muncul di media dari berbagai wilayah. Permasalahan ini semakin tampak tatkala masyarakat secara ilegal dan berkelompok mendiami secara ilegal lahan-lahan tersebut. 

Terkadang lahan-lahan yang ditempati secara ilegal tersebut luput dari pantauan petugas. Parahnya tak hanya menempati secara ilegal, mereka yang menggunakan lahan tersebut kemudian berbondong-bondong melakukan pensertipikatan lahan. Selalu saja dalihnya Berlindung dengan UU PA tahun 1965. Padahal penerapan UU tersebut dinilai tidak pas karena bukan peruntukannya jika tanah tersebut bukan tanah negara bebas atai tanah negara yang sudah jelas diserahterimakan hak pengelolaannya. 

BAP DPD RI sering salah kaprah memahami permasalahan tanah yang dimaksud. Mereka tidak paham sejarah pertanahan namun bisa memberikan opini yang semustinya pakar sejarah yang mengatakan. Ini jelas melanggar kode etik. Salah satunya seperti Andi Surya salah satu anggota DPD RI dari Lampung yang sering bersilat lidah tentang permasalahan ini tanpa memahami dasar keilmuan tersebut. 

Silahkan saja gugat melalui pengadilan bila memang memiliki bukti kepemilikan, toh selama ini konspirasi yang digunakan menjelang Pemilu ini hanya sebatas celotehan di depan publik. Karena ia sadar bahwa ia pun ragu dengan ucapannya dan takut jika hukum meminta pembuktian terbalik atas laporannya, pasalnya ia bukan ahlinya dan bukan bidang yang ia kuasai. 

Jadi terkait permasalahan di Kebon Harjo Semarang, Lampung, dan lain sebagainya BAP DPD RI jangan hanya berpikir ini sebagai langkah strategis untuk mendulang suara dan popularitas panggung politik, namun perhatikan juga aspek fakta dan kajian ilmunya untuk menyelesaikan permasalahan. Nah, mumpung belum terlanjur malu, marilah kita sampaikan sedikit hasil diskusi saya dengan seorang praktisi arsip di Leiden.

Pada tanggal 8 Oktober 2018 tim dari Kanwil BPN Sumatera Utara melakukan kunjungan kerja ke Kantor Pusat PT. KAI (Persero) di Bandung. Tujuan mereka adalah ingin mengetahui lebih lanjut khasanah Grondkaart milik PT. KAI (Persero) dan mengetahui lebih lnajut tentang fungsi dan status Grondkaart sebagai alas hak dari kepemilikan aset PT. KAI. 

Tujuannya adalah agar BPN tidak ragu-ragu menerbitkan sertipikat berdasarkan Grondkaart atas objek lahan terkait. Dalam kunjungan tersebut, tim disambut antara lain oleh Nico Van Horn dari Leiden. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa Grondkaart merupakan hasil dari suatu proses pengukuran tanah yang terbit dalam bentuk surat ukur tanah dan kemudian disahkan oleh pejabat yang berwenang. 

Keberadaan Grondkaart dimulai sejak terjadinya perubahan sistem hukum di Belanda khususnya hukum agraria. Ini dimulai dari awal abad ke-19 ketika Belanda di perintah oleh Raja Louis Napoleon, adik kandung Kaisar Napoleon Bonapartai sebagai Kaisar di Perancis. Pada saat itu Napoleon menguasai hampir seluruh daratan Eropa dan merubah banyak struktur hukum di negara-negara Eropa sebagai dampak dari Revolusi Perancis.

Salah satu produk Revolusi Perancis yang sangat berpengaruh terhadap sistem hukum Eropa (kontinental) adalah adanya kebebasan dan persamaan hak setiap individu secara materi. Sejak itu hak-hak pribadi individu diakui secara resmi oleh negara dan tidak ditindas oleh penguasa atau raja seperti yang terjadi pada era feodal sebelum Revolusi Perancis. 

Dibawah pengaruh hukum Perancis yang baru, sistem hukum di Belanda juga mengadopsi penghormatan atas nilai-nilai materi individu. Salah satu aspek pentingnya adalah pengakuan terhadap kepemilikan atas tanah oleh setiap warga negara. Tanah tidak lagi dikuasai oleh raja atau bangsawan feodal maupun oleh gereja secara sewenang-wenang dengan mengabaikan hak rakyat, tetapi dilindungi dan dihormati oleh negara. 

Untuk itu negara membentuk suatu lembaga negara yang khusus melaksanakan tugas tersebut dan disebut Kadaster. Lembaga ini dibentuk oleh Raja Louis Napoleon ketika dia memerintah Belanda antara tahun 1806 dan 1810.

Langkah pertama Kadaster adalah melakukan inventaris tanah milik rakyat, menemukan pemiliknya dan atas musyawarah lingkungan sekitarnya melakukan pengukuran. Hasil pengukuran dipetakan dan oleh Kadaster diterbitkan menjadi surat ukur (meetbrief). 

Setelah pengukuran atas tanah rakyat berakhir, Kadaster juga melakukan pengukuran atas tanah milik negara/kerajaan. Dari sini untuk tanah-tanah milik kerajaan ditindaklanjuti dengan adanya pengesahan oleh raja sebagai penguasa negara dan diterbitkan bukti kepemiliknnya dalam wujud Grondkaart. Dari Grondkaart ini bisa diketahui batas-batas lokasi fungsi dan status dari tanah-tanah sebagai milik negara/kerajaan. Dengan demikian ada tanah-tanah yang digunakan untuk kepentingan keluarga raja dan institusi rumah tangga raja, ada juga yang digunakan untuk kepentingan negara. 

Kepentingan negara yang dimaksudkan disini antara lain adalah bangunan-bangunan pemerintah, prasarana publik, infrastruktur publik, rumah ibadah, dan fasilitas umum. 

Lebih lanjut Nico mengatakan baik surat ukur (meetbrief) maupun Grondkaart merupakan bukti terakhir dari kepemilikn tanah, untuk individu, instansi dan penguasa. Kadaster sebagai lembaga yang menertbitkan menyimpan semua ini di dalam khasanah kearsipannya. 

Mereka tidak lagi menerbitkan surat lain kecuali jika diperlukan sebagai tambahan seperti surat ijin membangun atau renovasi bangunan. Dengan demikian tidak ada akte atau sertipikat yang diterbitkan oleh Kadaster dan diberikan kepada masing-masing individu sebagai pemilik tanah. Dalam proses jual beli tanah dewasa ini proses berakhir di notaris yang menyaksikan transaksi dan mengesahkannya. 

Secara otomatis Kadaster akan merubah nama pemilik tanah tersebut sebagai penjual dan menggantinya dengan nama pembeli atau sebagai pemilik yang baru. Hal ini juga terjadi pada rumah Nico sendiri di Amsterdam yang dijual dan kemudian ia membeli tanah di Leiden. 

Kadaster pusat yang menerima laporan dari notaris segera melakukan perubahan status yang tertera pada meetbrief dan menerbitkan surat penagihan pajak jual beli pada Nico, dan ia wajib membayarnya kepada Kantor Pajak. Dengan demikin meetbrief atau Grondkaart di Belanda merupakan bukti akhir dari status kepemilikan tanah dan tidak terbantahkan serta diakui oleh negara. Jika terjadi sengketa batas lahan, umumnya lebih terkait pada bangunan dan bukan pada kepemilikn lahan. Sengketa ini diselesaikan oleh pengadilan lokal.

Di Indonesia, sebagai bekas jajahan Belanda, proses di atas juga terjadi tetapi dalam pola yang sedikit berbeda. Perbedaan terjadi karena faktor perkembangan historis dan struktur sosial yang berbeda antara Belanda dan Indonesia. Sistem feodalisme yang ada di Indonesia sejak awal abad masehi berbeda baik struktur maupun orientasinya dengan Belanda. 

Konsep kosmologi raja-raja Indonesia yang terkena pengaruh peradaban Hindu dan Islam menciptakan perbedaan dengan orientasi ideologis raja-raja Eropa. Meskipun di Eropa terutama pada abad pertengahan, raja-raja di Eropa dianggap sebagai penguasa suatu wilayah yang bukan pemilik mutlak atas tanahnya. Di Indonesia orientasi kosmologi Hindu yang mencetuskan prinsip dewa raja (raja sebagai reinkarnasi dewa) dan konsep Islam tentang raja sebagai khalifatullah memunculkan prinsip "Saklumahing bumi sakkureping langit hamung narendra ingkang wenang purbo lan miseso". 

Prinsip ini menyiratkan bahwa raja menjadi penguasa dan pemilik seluruh tanah yang berada dibawah kekuasaannya (vorstdomein). Konsep ini menjadi pondasi utama dari struktur kekuasaan feodalisme di Indonesia dan memunculkan istilah-istilah seperti Sultan Grond dan Sultan Grant (Karunia Sultan). Dengan menggunakan prinsip ini sebagai dasar hubungan kekuasaan, maka muncul ikatan primodial antara raja dengan rakyatnya sebagai hubungan patron-klien. 

Ketika kekuasaan Belanda di tegakkan di Indonesia pada abad ke-19, pada saat ide Revolusi Perancis menyebar dan diadopsi oleh pemerintah Belanda, Gubernur Jenderal Herman Williem Daendels berusaha menerapkan prinsip itu dengan menyisihkan sistem feodalisme yang ada di Indonesia antara lain Daendels menerbitkan peraturan yang mulai mengakui dan melindungi hak-hak individu antara lain merombak sistem pengadilan dengan menghilangkan hukuman fisik. 

Akan tetapi langkahnya dibidang agraria tidak berhasil karena kekuasaannya segera diganti oleh Inggris dibawah Thomas Stamfford Rafles yang menerapkan sistem berbeda. Ketika Rafles berkuasa ia merombak sistem agraria dengan menegaskan doktrin tanah adalah milik raja Inggris dan semua rakyat menjadi penyewa. Untuk itu rakyat harus membayar sewa tanah (landrent). 

Penguasa pribumi yang menentang prinsip ini diturunkan dan kerajaannya dan dihapuskan, seperti Banten dan Cirebon.

Setelah Inggris pergi, sistem warisan Rafles dilanjutkan oleh pemerintah Belanda dengan program eksploitasi agraria yang disebut tanam paksa. Menurut prinsip tanam paksa semua tanah adalah milik negara dan rakyat wajib membayar pajak baik dalam bentuk tenaga kerja untuk menggarap proyek-proyek Pemerintah secara gratis maupun membayarnya dalam bentuk sebagian hasil bumi yang ditanamnya. 

Tanam paksa mengaburkan hak-hak individu yang dirintis Daendels dan Rafles serta menempatkan pemerintah kolonial sebagai penguasa semi feodal dan semi kapitalis. Sebagai konsekuensinya batas-batas kepemilikan tanah menjadi kabur.

Kondisi ini akhirnya menyulitkan pemerintah sendiri terutama ketika pemerintah memerlukan fasilitas umum untuk pembangunan infrastruktur karena tidak ada batas yang jelas antara tanah negara dengan tanah kolektif masyarakat khususnya ditingkat desa. 

Hal ini mendorong para politikus Belanda untuk membuat aturan baru yang memisahkan tanah-tanah dengan status khusus milik pemerintah yang akan digunakan untuk kepentingan umum, akhirnya pada tahun 1864 keputusan itu diambil dan pemerintah menunjuk Kadaster untuk melakukan pengukuran dan pemetaan atas tanah-tanahnya dan tanah-tanah rakyat yang dibedakan dengan pembayaran ganti rugi. 

Hasil pemetaan ini terbit dalam bentuk surat ukur tanah dan diberi nomor oleh Kadaster dalam inventaris tanah negara. Surat ukur ini kemudian menjadi dasar pembuatan Grondkaart sebagai bukti kepemilikan tanah pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian ketika pemerintah Hindia Belanda mengalihkan kedaulatannya kepea Pemerintah Indonesia, Grondkaart diserahkan sebagai bukti tanah-tanah milik pemerintah yang sah dan final. 

STY

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun