Mohon tunggu...
Setyawan 82
Setyawan 82 Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Tajamnya peluru yaka akan pernah bisa mengalahkan tajamnya pena. Ketajaman pena bermanfaat saat digunakan untuk hal yang patut.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Grondkaart di Belanda dan Indonesia, Sebelum Malu BAP DPD RI Wajib Tahu Sejarahnya

11 Oktober 2018   07:06 Diperbarui: 11 Oktober 2018   07:40 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akan tetapi langkahnya dibidang agraria tidak berhasil karena kekuasaannya segera diganti oleh Inggris dibawah Thomas Stamfford Rafles yang menerapkan sistem berbeda. Ketika Rafles berkuasa ia merombak sistem agraria dengan menegaskan doktrin tanah adalah milik raja Inggris dan semua rakyat menjadi penyewa. Untuk itu rakyat harus membayar sewa tanah (landrent). 

Penguasa pribumi yang menentang prinsip ini diturunkan dan kerajaannya dan dihapuskan, seperti Banten dan Cirebon.

Setelah Inggris pergi, sistem warisan Rafles dilanjutkan oleh pemerintah Belanda dengan program eksploitasi agraria yang disebut tanam paksa. Menurut prinsip tanam paksa semua tanah adalah milik negara dan rakyat wajib membayar pajak baik dalam bentuk tenaga kerja untuk menggarap proyek-proyek Pemerintah secara gratis maupun membayarnya dalam bentuk sebagian hasil bumi yang ditanamnya. 

Tanam paksa mengaburkan hak-hak individu yang dirintis Daendels dan Rafles serta menempatkan pemerintah kolonial sebagai penguasa semi feodal dan semi kapitalis. Sebagai konsekuensinya batas-batas kepemilikan tanah menjadi kabur.

Kondisi ini akhirnya menyulitkan pemerintah sendiri terutama ketika pemerintah memerlukan fasilitas umum untuk pembangunan infrastruktur karena tidak ada batas yang jelas antara tanah negara dengan tanah kolektif masyarakat khususnya ditingkat desa. 

Hal ini mendorong para politikus Belanda untuk membuat aturan baru yang memisahkan tanah-tanah dengan status khusus milik pemerintah yang akan digunakan untuk kepentingan umum, akhirnya pada tahun 1864 keputusan itu diambil dan pemerintah menunjuk Kadaster untuk melakukan pengukuran dan pemetaan atas tanah-tanahnya dan tanah-tanah rakyat yang dibedakan dengan pembayaran ganti rugi. 

Hasil pemetaan ini terbit dalam bentuk surat ukur tanah dan diberi nomor oleh Kadaster dalam inventaris tanah negara. Surat ukur ini kemudian menjadi dasar pembuatan Grondkaart sebagai bukti kepemilikan tanah pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian ketika pemerintah Hindia Belanda mengalihkan kedaulatannya kepea Pemerintah Indonesia, Grondkaart diserahkan sebagai bukti tanah-tanah milik pemerintah yang sah dan final. 

STY

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun