Mohon tunggu...
Shofiuddin AlMufid
Shofiuddin AlMufid Mohon Tunggu... Dokter - Dokter

Health Proletarian ⚕ | Bariton yang Berisik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Politik Kontemporer: Quasi-Democracy dan Kapitalisasi Kekuasaan

6 Desember 2024   16:14 Diperbarui: 6 Desember 2024   16:14 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Supaya Gajah itu tumbuh besar, Tuan perlu berikan rumput yang banyak. Coba lihatlah Indonesia, negeri masyhur dengan hamparan rumput melimpah, Tuan belikan sahaja dari sana karena harganya juga paling murah."

Logika berpikir kita sepertinya tidak mampu menyangkal kalau Gajah layak dipandang sebagai hewan yang besar, kokoh, dan bisa melindas siapapun dibawahnya. Genderum lengkingannya terdengar seantero negeri menandakan betapa prominen makhluk yang satu ini. Tak heran jika Gajah sudah diagung-agungkan sejak zaman monarki, dijadikan simbol kekuasaan dan kekuatan aristokrat bangsawan. Mudah saja, para prajurit cukup menyediakan rumput untuknya makan, rakyat-rakyat kecil sudah biasa membawakannya bagi sang Tuan, cukup berikan upah yang ringan dan iming-iming atas sanjungan yang indah. Sang Gajah bertambah besar, dan rakyat pencari rumput itu tetap pada tabiatnya.

Quasi-Democracy

~preambule & author's perspective

Hidup dalam ekawarsa belakangan memaksa saya untuk mengamati dinamika perpolitikan Indonesia. Tentu saya bukanlah mahasiswa fisipol, apalagi seorang analis politik, hanya warga negara yang mencoba berpikir dari pengalaman empiris dan bumbu-bumbu rasionalisasi. Aktivitas di 2024 ini rupanya tidak lepas dari pemilu, polarisasi suara, dan pelbagai hiburan dari panggung sandiwara politik. 

Mari kita mulai rabu pekan kemarin dengan bangun pagi, bersih diri, lalu berangkat ke TPS yang kebetulan ada di depan rumah. Lumayan bisa libur sehari, biasanya pagi hari juga sudah memburuh di bangsal perawatan. Ayam berkokok tidak seperti biasanya, suaranya tertindih dengan cuitan-cuitan warga setempat, mereka sedang bersuka cita dengan "cepek" dikantong yang didapatnya fajar tadi. Strategi politikus masuk dalam grassroot (akar rumput) sepertinya tidak terlalu usang untuk dipakai pada masyarakat yang cara pikirnya masih selevel itu. Harga rumput kita memang sangat murah, baginya sudah cukup untuk memilih paslon yang bisa membuatnya bertahan hidup, setidaknya dari waktu fajar hingga terbenamnya matahari, 5 tahun kedepan kita pikir lagi.

Belum lama ini kita disajikan pertunjukan akbar republik monarki, sang raja begitu pandai menyusun siasat untuk membangun dinastinya. Prajurit-prajurit dan tokoh delegatif tidak luput dari pengaruhnya. Aristokrat penghibur mulai berhamburan mencari celah kursi kekuasaan. Terbukti, kita mulai dihadapkan pada gelombang besar artis yang masuk dalam dunia politik, kaum feodal dari kalangan agamis turut serta, sementara pengusaha dan pemilik modal menguasai panggung politik yang terlampau mahal. Seharusnya wajar ketika saya berpikir kalau politik kita hampir sama dengan permainan para bandar, demokrasi lambat laun hanya akan menjadi pemanis buatan dari larutan yang sudah disiapkan. It's not political democracy, it's just quasi-democracy.

Sekarang adalah eranya politik kontemporer, merujuk pada terminologi kekinian, modern dan kosmopolitan. Transformasi politik yang seringkali digaungkan akan menggantikan sistem usang yang kotor seakan membawa seberkas harapan. Namun sepertinya, kontemporer yang transformatif itu banyak menghilangkan pakem-pakem etik, pengembangannya terlalu kreatif dan perlahan semakin menghalalkan segala strategi dalam semua tataran. Panggung politik yang sulit dijangkau membuat privatisme mulai banyak diminati, hidup nyaman tentram tanpa berpolitik, berdikari tanpa perlu berpangku tangan pada pemerintah. Lambat laun kombinasi ini akan sangat lengkap, politik yang semakin eksklusif bersanding dengan apatisme publik akan terus membuat kita nyaman dalam bayang-bayang demokrasi semu.

Politik Yang Mulia

Politics as a master science ~Aristoteles

Dunia dalam hegemoni global, tergerus oleh arus sudah seperti sebuah keniscayaan. Falsafah tradisional perlu dirujuk kembali, karena sudah seharusnya politik ditempatkan pada marwah tersendiri. Kita ini terlalu asyik bermain, meliuk-liuk dalam panggung kebebasan, meninggalkan sedikit banyak takaran nilai dalam perpolitikan.

Aristoteles sepertinya cukup pantas untuk dijadikan rujukan pertama, tak khayal karena sematan bapak pemikiran politik. Politik dalam pemikiran sang filsuf mendapatkan tempat teristimewa karena kemuliaannya, "master science" atau keilmuan yang tinggi, begitulah Aristoteles memandang hal yang membidani persoalan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Politik tidak lagi sebuah pengetahuan dalam balutan teori, tetapi ilmu praktis yang akan mempengaruhi tindakan seseorang. 

Prof. Miriam Budiardjo dalam bukunya "Dasar-Dasar Ilmu Politik" menjelaskan konsep politik meliputi state, power, decision making, public policy, and distribution/allocation. Bicara soal politik tidak akan terlepas dari pemerintahan dan produk kebijakan yang dihasilkan. Menarik ketika Prof menyertakan unsur power bersanding dengan decision making, public policy, dan distribution. Konsep berpolitik benar-benar mengajarkan kita untuk menuju sebuah kekuasaan (power), dan kuasalah yang memberikan kesempatan untuk mengatur. Atas klausul itulah policy dan distribution perlu disertakan. Policy adalah produk kebijakan dari unsur kekuatan penguasa (power), sedang distribution/allocation adalah penyerta penting untuk menyelesaikan konflik dan membagi kekuasaan secara adil.

Prinsip kebijaksanaan pemerintah yang berkuasa sangat penting untuk ditampilkan kepada rakyatnya. Hoogerwerf dalam tulisannya "Politicologie: Begrippen En Problemen" menjelaskan bahwa objek utama dari bahagian politik adalah kebijaksanaan pemerintah, sekali lagi "kebijaksanaan". Kebijaksanaan dalam memaknai kuasa sebagai alat pembangunan masyarakat secara terarah "doelbewuste vormgeving aan de samenleving door middel van machtsuitoefening" (Hoogerwerf, 1972).

Penyimpangan dan Citra Politik

"Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely" ~Heywood

Bahasan diatas terlalu mengagungkan subjek politik pada tempat yang tinggi, maka kita buat teori-teori ini menjadi lebih seimbang. Faktanya, kekuasaan akan mencondongkan kita pada peluang kekorupan. Kegagalan pemerintah (penguasa) dalam menunjukkan kebijaksanaan akan mempertemukan dirinya pada produk-produk apriori rakyat. Oleh karenanya, dalam konsep politik menurut Heywood, penulis mulai memunculkan istilah "Politicians" sebagai julukan yang identik bagi para penguasa yang gagal. Arus apriori negatif yang besar akan membawa kita pada stigma dan konotasi buruk yang langgeng. Beberapa situasinya mulai terlihat sekarang, dimana ada politik disitulah pikiran akan mendekat pada neraka, maka tidak ada pilihan lain selain mengejar nirwana dan membuang politik sejauh-jauhnya. Ekstrimis anti politik mungkin akan berani mengatakan bahwa penguasa yang baik hanyalah seorang hipokrit yang sedang berkelit.

Bangsa kami sudah menyelami kegagalan demi kegagalan setiap periodenya, masyarakat juga sudah mulai pintar dalam membaca peta siasat dari para pemain, membuat permainan ini tidak hanya asyik tapi juga kian traumatik. Kegagalan yang dimaksud oleh Heywood tidak melulu soal kebijaksanaan dan policy. Bernard Crick dalam karyanya "In Defence of Politics" memasukkan suatu teori "A wide dispersion of power" yang mana politik harus bisa menengahi perbedaan kepentingan melalui pembagian proporsi kekuasaan, dimana dalam pembagiannya menekankan kepada seberapa penting mereka dalam permasalahan kesejahteraan rakyat. Alokasi kekuasaan yang terlalu memihak akan sangat memicu ketimpangan, kepentingan rakyat akan menjadi opsi kesekian daripada praktik balas budi untuk kepentingan golongan. Meritokrasi yang selalu dipromosikan ternyata masih kalah dengan polarisasi kekuasaan ini, karena yang bermodal dan punya kuasa akan menjadi magnet bagi para golongannya.

Personal, Publik dan Politik

Who gets what, when and how~Laswell

Kalau Aristoteles mengatakan bahwa politik adalah ilmu praktis yang mengatur tindakan seseorang, maka Laswell boleh berbicara kalau politik itu hanya masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. Aristoteles menebalkan kembali melalui postulat man is by nature a political animal, untuk menjalani hidup yang baik, seorang manusia harus berada dalam komunitas politik. Maka sebuah poiesis (kodrat manusia) untuk tidak terpisahkan dari urusan ini.

Walaupun politik bertujuan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, yang kemudian disebut public, public sendiri terdiri dari entitas-entitas yang bersifat privat, karenanya diperlukan konsep state dan civil society (tatanan sipil). Jacque Rousseau menebalkan pendapat Aristoteles dengan menyebutkan "general will" sebagai sebuah sistem bagi pelaksanaan politik melalui tataran sipil, yaitu untuk mencapai kebaikan bersama (common good) diperlukan partisipasi langsung dan berkelanjutan dari masyarakat. Maka dari itu, sekali lagi saya katakan bahwa personal is politics.

Situasinya sedikit runyam karena kenyataannya masyarakat mulai menepi ke kanan, menuju arah liberalisme yang begitu menghargai adanya hak-hak perseorangan. Individu memiliki minat dan kepentingannya sendiri (self-interested), maka kekuatan politik (political power) akan mudah dianggap sebagai sesuatu yang korup dan permainan petarung demi kepentingannya sendiri hingga rela mengorbankan orang lain.

Ekstrimis kiri seharusnya sangat menentang sikap anti politik ini. Tidak terlalu jauh sepertinya kalau kita sedikit mundur kebelakang untuk menengok kembali revolusi proletariat oleh Marx. Walaupun banyak membidangi teori ekonomi, nyatanya memang ekonomi adalah hal pertama yang memengaruhi politik dan seluruh sendi kehidupan. Latar belakang akan perjuangan kaum proletar (buruh) saat itu sangat mempengaruhi cara pandang seorang Marx yang revolusioner melawan borjuis (pemilik modal). Lajur ekonomi sudah menjadi bagian dari superstructure yang akan mempengaruhi perilaku politik dan kehidupan bersosial masyarakat, Marx menyebutnya dengan "Politics is the most concentrated form of economics". Maka jangan heran ketika orang-orang yang duduk berkuasa adalah para pemilik modal tinggi, karena politik dan ekonomi tidak akan terpisahkan.

Lebih keras lajur kiri berteriak "personal is politics!!", tidak berpolitik sama saja memberi peluang suatu kelas untuk menindas kelas lainnya, sama saja membiarkan bourjois bermodal tinggi untuk semakin berkuasa dan beranak pinak.

Lingkaran Setan Kapitalisasi Kekuasaan

Eksklusivitas politik dan para pembajak

Hampir 80 tahun sudah belantara politik Indonesia digelar, dan harus diakui bahwa apa yang terjadi sekarang tidak akan pernah terlepas dari jasa reformasi. Sistem politik Indonesia menempatkan demokrasi berdasar pada kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi. Amanat UUD 1945 menyebutnya melalui Pasal 1 ayat 2 bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar". Ruang waktu sudah membawa kita melewati perjalanan panjang sejak perumusan revolusioner, menuju era kejayaan demokrasi parlementer, sentralisasi kekuasaan demokrasi terpimpin, kediktatoran orde baru hingga reformasi sebagai antitesis yang mencerahkan.

Reformasi menekankan dijalankannya perwujudan supremasi hukum dan keadilan, perlindungan hak asasi manusia, serta hadirnya kontrol dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Empat kali amandemen pasca reformasi membawa kita pada konsep konstitusi modern yang mengarah kepada tegaknya negara demokrasi konstitusional (constitutional democratic state). Produk pemilu yang kita kenal sebagai manifestasi terbesar kedaulatan rakyat juga merupakan produk reformasi. Tahun 2004 menjadi saksi dimana parlemen dan eksekutif dipilih langsung oleh rakyat, diikuti pada tahun 2005 untuk penyelenggaraan pilkada. Kita harus banyak berterima kasih pada reformasi karena kedaulatan rakyat benar-benar dijunjung tinggi dan lembaga negara mendapat pembatasan kekuasaan yang adil serta beradab. Namun apakah dalam pelaksanaanya sudah seperti itu?

Saya memahami apa yang menjadi keresahan bersama, harapannya seperti itu, untuk minimal kita tidak apatis dan masih menyadari adanya ketimpangan. Mulai dari koalisi gemuk, putaran arus kapitalisasi kekuasaan, sampai dengan skeptisme kualitas para birokrat. Pengusaha, artis populer, para golongan yang diper-agungkan dan semacamnya mulai berlatih menjadi pengamen jabatan, iming-iming akan kekayaan dan kehidupan mewah fantastis membuat orang berbondong-bondong ingin menjadi anggota dewan. Kemuliaan politik sudah menjadi politik Yang Mulia dan rekan-rekannya, pemeran yang usil dan suka berbuat gaduh. Demokrasi dan kedaulatan rakyat menjadi semacam teori, kekuasaan sudah terbajak dan rakyat terseok-seok merebutnya.

Lambat laun tuntutan reformasi mulai melebur dengan era kontemporer (kekinian) yang dinilai lebih modern dan luwes akan pengembangan. Mari merefleksi kembali bahwa sistem politik demokrasi yang sekarang tidak akan pernah luput dari pengikisan nilai, layaknya sebuah alat produksi yang "operator dependent", maka akan selalu ada dinamika di dalam pelaksanaannya, tergantung kapan, dimana, dan siapa yang berkuasa. Sadar atau tidak, demokrasi kian dibajak, Priyono melalui bukunya "Menolak matinya Intelektualisme" menyebutkan tiga kepandiran pembajak demokrasi, oikos (politik dinasti), idios (privatisme), dan etnos (primordialisme), atau jika diejawantahkan menjadi oligarki politik, oligarki modal, dan oligarki feodal (keagamaan).

Semuanya berawal dari budaya di masyarakat, biaya politik yang sangat mahal, mental models para politisi, dan pendidikan masyarakat yang rendah. Sistem demokrasi menuntut pengumpulan basis masa sebagai nilai tukar atas kemenangan dalam berbagai bentuk kontestasi. Tugasnya sebenarnya sederhana, bagaimana seorang calon penguasa bisa mendapatkan dukungan sebesar-besarnya dari rakyat. Naluri kita yang mengarah pada kebaikan itu pasti akan berpikir untuk memenuhi eligibilitas kita sebagai pemimpin, salah satunya dengan jalan pendidikan politik. Sistem yang meritokrat akan sangat membuka peluang kita yang memang berpotensi, para calon pun berlomba-lomba mengaudit keresahan dalam masyarakat dan adu gagasan akan menjadi senjata yang paling tajam. Tapi itu hanyalah angan-angan karena rupanya kita masih jauh dari kata elegan.

Realitanya demokrasi yang dielu-elukan belum se-partisipatif itu, biaya yang sangat mahal menjadikan politik kian eksklusif dan sulit sekali dijangkau, padahal demokrasi sangat menekankan partisipasi sebagai bentuk generall will dalam pelaksanaannya. Rasanya tidak perlu menjadi sosok yang hebat dan menghasilkan produk-produk berdampak, cukup banyak ditemui anak-anak para birokrat yang bangun tidur sudah masuk parlemen, lebih mudah lagi kalau bapak kita presiden, atau mungkin terlalu jauh? ketua DPC partai juga sudah cukup untuk membelikan kita kursi di DPRD, lalu suatu hari coba kita uji publik dadakan dan kita nilai seberapa kualitasnya dalam berdinamika sosial, jawabannya adalah nol. Itulah faktanya, sebagian orang yang duduk di kursi pemerintahan hadir tanpa melalui proses berpikir dan pendidikan politik yang baik, asal ada uang, asal ada bekingan, atau memilih menjadi popular sepertinya lebih bagus seperti para artis di senayan, syukur-syukur kita punya keturunan bangsawan. Jangan salahkan, karena masyarakat kita juga belum ada di level untuk dihadapkan pada pertunjukkan politik yang elegan.

Kapan hari saya bertemu dengan salah satu teman yang punya sedikit pengalaman dalam pencalonan legislatif. Permintaan mahar pada rentang 5 -- 10 M sudah menjadi hal yang lumrah, jika tidak mampu maka tidak perlu meminang untuk bisa dicalonkan. Angka yang sebenarnya cukup kecil untuk memberikan pesangon 100 ribu pada masyarakat akar rumput, sedangkan branding, akomodasi, biaya kampanye dan transaksional lainnya mungkin belum masuk perhitungan. Tarif mahal ini juga menjadi ladang yang subur bagi para milyader borjuis itu untuk mendominasi lahan politik balas budi, faktanya hampir separuh dari anggota parlemen baik di tingkat daerah maupun nasional adalah pemilik modal. Simsalabim jadilah politik yang dirawat untuk menjadi eksklusif dan non partisipatif oleh para kapitalis kekuasaan.

Mahar politik yang mahal ternyata berkontribusi dalam membentuk mental models para politikus. Siklus ini akan sangat membahayakan karena dapat memicu budaya korup untuk mengembalikan modal dan menggerus meritokrasi dalam sistem pemerintahan. Mari kita lihat, berapa banyak caleg yang dirawat dibangsal perawatan jiwa? berapa sisanya yang memilih untuk mengakhiri hidup?. Dari situ saja harusnya kita sudah bisa melihat kalau ternyata masih banyak orang yang maju kontestasi atas motivasi kehidupan yang mewah dan kekayaan secara instan. Tapi menarik untuk ditelisik apa yang membuat biaya politik menjadi selangit, sepertinya perlu dibuat sekuel tulisan untuk menyelidiki lebih dalam akan ini. Rasionalisasinya adalah taraf pendidikan, sistem pencalonan, dan budaya di masyarakat lah yang menjadi unsur pembangunnya.

Sistem pendidikan menyajikan kita pada data partisipasi sekolah yang hanya 73,42 pada usia 16-18 tahun, dan 26,85% pada usia 19-24 tahun. Pendidikan murni memang belum tentu merepresentatifkan kecerdasan berpolitik seseorang, namun setidaknya data tersebut memberikan informasi bahwa pada usia produktif masih ada 27% siswa tidak melanjutkan sekolah SMA, dan hanya 27% yang melanjutkan ke strata lebih tinggi. Bonus demografi yang dibebankan pada usia produktif harus dijawab dengan data yang seperti ini, rasanya sekali lagi saya bisa bicara kalau kita belum siap untuk naik level. Bagaimana dengan boomers? Seperti yang sudah saya gambarkan di awal, sebagian besar hanya mampu menjadi pengemis kecil elektoral.

Pendidikan politik yang belum terjangkau oleh seluruh masyarakat akan mengiyakan praktik kebudayaan yang buruk. Romantisme feodal tumbuh subur disini, menjual agama atau ras tertentu sudah menjadi strategi jitu. Politik uang yang sudah besar-besaran ditekan itu ternyata portalnya dibengkokkan oleh masyarakatnya sendiri. Kondisi yang seperti ini tidak bisa diteruskan karena sangat syarat akan nilai transaksional yang materiil dibanding produk gagasan yang mencerahkan. Pada akhirnya, proses yang masyarakat ciptakan sendiri ternyata menjadi bumerang akan skeptisme terhadap kualitas birokrat.

Saya kemudian iseng untuk melihat syarat-syarat pencalonan legislatif, rupanya tidak ada yang spesial, hanya minimal lulusan SMA, SKCK, diusung oleh partai, dan hal-hal normatif lainnya. Memang bukan suatu hal yang salah karena memang kita tidak bisa menilai kualitas pemikiran seseorang dari tingkat pendidikannya, atau mungkin bisa jadi salah? Seharusnya pemerintah bisa lebih selektif untuk memastikan para kontestan adalah orang-orang yang eligible lebih dari standar rendah yang dipasang sekarang, semua tidak bisa dinilai hanya dari kuantitas, tapi kualitas juga mutlak untuk disertakan. Ketika gerbang pencalonan sudah rapuh, konstitusi juga mudah diobok-obok, ternyata bobroknya sudah di tingkat penyelenggara.

Maka gerbang yang menjadi tumpuan harapan besar kualitas para calon tidak lain hanyalah partai politik. Kader-kader parpol ini diharapkan mendapatkan proses berpikir dan pendidikan politik yang benar, kemudian diajukan pada kontestasi electoral karena kompetensi dan kiprahnya dalam masyarakat. Tapi apakah seperti itu kenyataannya? Tidak. Sekarang adalah era dimana yang cemerlang akan kalah dengan yang popular, yang mengajak berpikir akan kalah dengan yang mengajak berjoget. Introspeksi sepertinya pilihan yang bijak sebelum menyalahkan, kaum produktif sekarang sepertinya lebih suka hiburan daripada menganalisis fenomena sosial. Sah-sah saja kalau cara itu dipakai dalam stratak pengumpulan basis masa pada kualitas SDM yang sekarang.

Lalu mau sampai kapan mengesampingkan pendidikan dan politik, harusnya dua hal tersebut bisa beriringan, lebih baiknya lagi untuk mengasosiasikan pendidikan politik pada struktur kurikulum dasar, karena percayalah kualitas pendidikan yang baik akan melahirkan panggung politik yang elegan berbasis intelektual. Pendidikan sudah tidak didapat, maka juga jangan salahkan apabila para pemegang modal ekonomi lah yang jadi pemenang, setiap tahun sudah dapat tertebak, mana dengan pendanaan yang lebih besar yang akan menang, karena masyarakat dan para pejabat mudah dibeli dengan uang, bukan dengan produk pemikiran. Tepat sekali teori yang Marx sampaikan bahwa ekonomi sudah layaknya superstructure yang mempengaruhi segala aspek kehidupan.

Eksklusivitas politik lambat laun menjadi keniscayaan, biaya yang mahal dan sistem yang tidak meritokrat hanya mengizinkan orang-orang tertentu saja untuk masuk, sisanya sia-sia, sebagian lainnya memilih menjadi kroco dan jadilah pengemis kekuasaan. Situasi ini sungguh menghadapkan kita pada kerugian karena banyak sekali orang berpotensi yang tersingkir dan selamanya politik akan jadi permainan para petarung modal dan popularitas. Masyarakat juga pasti akan lebih memilih sebuah privatisme dan tidak terlalu peduli pada politik. Wajar saja ketika kita terlalu banyak dikecewakan oleh pejabat yang korup, kenistaan yang terus dibenarkan, dan bahkan kelakuan para pejabat yang tidak bisa dicontoh. Saya tidak perlu memberi contoh karena sudah terlalu banyak exposure yang kini kian mudah dilihat melalui media sosial, berapa banyak keluarga pejabat yang kriminil atau berapa banyak yang berbuat amoral, semacam mengolok-olok penjual es teh di pengajian misalnya.

Sebuah Harapan akan Bonus Demokrasi

Masyarakat menengah adalah tumpuan transformasi

Saya tidak ingin terlalu naif kalau hanya memandang dari satu sisi, tapi memang generasi kita ini kalau tidak dipukul sedikit keras biasanya tidak sadar, pikirannya menjadi semu tergerus media sosial yang candu. Walaupun distorsi demokrasi terus terjadi, harapan akan titik balik perbaikan itu selalu ada. Mulai banyaknya golongan intelektual dan tokoh-tokoh inspiratif dalam tubuh pemerintahan bisa sedikit melegakan. Partai politik pun mulai bertransformasi, produk-produk gagasan yang intelek dan penjaminan kualitas kader terus diutamakan. Tinggal bagaimana kita terus merawat harapan akan kejayaan demokrasi tanpa harus dibajak tangan-tangan oligarki.

Lingkaran setan kebobrokan politik perlu untuk diputus, dan para golongan menengah adalah harapan besar untuk mengemban tugas ini. Ketika mengamati proses pemilihan umum maupun electoral vote lainnya, yang harus dinilai pertama adalah apakah dampaknya akan melahirkan bonus demokrasi atau sajian formal bagian dari quasi-democracy. Pemilu harus bisa menjadi edukasi politik yang baik bagi seluruh masyarakat, tidak hanya menjadi ajang mencari penghasilan tambahan yang tidak seberapa itu, tetapi juga harus menjadi bonus pemikiran yang besar layaknya sebuah pesta akan kedaulatan rakyat yang dielu-elukan. Generasi menengah dan produktif adalah harapan besar, mari berdaulat dan tidak anti politik, kita upayakan pemikiran-pemikiran brilliant yang akan mewarnai panggung perpolitikan.

Pendidikan adalah solusi yang utama dan terpenting tidak hanya untuk politik tetapi seluruh sendi kehidupan. Ingatlah bahwa budaya yang sekarang juga lahir dari taraf pendidikan yang rendah, romantisme feodalisme menghasilkan politik kelas bangsawan atau seseorang yang diagung-agungkan lebih dari pemikirannya. Bonus demografi perlu dibuat menjadi bonus demokrasi, anak-anak muda adalah rahim pemikiran politik, bukan suara yang mudah ditebus transaksi hina. Pemasukan pendidikan politik sejak dini dapat merangsang proses berpikir yang baik dalam bernegara, sementara pendidikan dasar dan bermoral wajib terus digenjot untuk melahirkan para pemutus rantai kebobrokan. Edukasi dan tingkat intelektual yang baik sedikit demi sedikit akan menghilangkan budaya korup dari seluruh lapisan masyarakat, preferensi generasi menengah diharapkan akan beralih menjadi lebih cerdas tidak sekadar keranjang sampah dan entertain yang menumpulkan kognitif mereka.

Sistem persyaratan untuk para kontestan politik perlu untuk dikaji ulang, aspek yang menilai kualitas calon sangat minimal, saya rasa tidak bisa kita menilai hanya dari SKCK. Skrining yang lebih selektif diharapkan mampu menjadi pemantik bagi para parpol untuk mengusung calon yang berkualitas dan melalui proses kaderisasi yang baik. Partai politik harus mampu menjadi mesin pencetak kader melalui pendidikan politiknya, bukan parpol yang hanya menjadi pengemis kekuasaan dan dana pemeliharaan.

Terakhir ketika pendidikan politik akan memperbaiki kualitas pelakunya, maka partisipasi demokrasi seharusnya akan meningkat, biaya politik yang mahal akan menurun karena dukungan dari bawah mulai membaik dan kapitalisasi modal oleh pengusaha bisa diredam. Biaya politik yang terjangkau akan melahirkan calon-calon yang variatif di setiap kontestasi dan jadilah pesta demokrasi yang partisipatif, bukan yang terus-terusan melawan kotak kosong. Panggung politik kita lambat laun akan menjadi elegan, diatasnya berjejer pemikiran-pemikiran visioner dari para politisi untuk semata-mata demi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Politik kontemporer harus dipandang dalam artian yang benar. Politik secara filosofikal harus mampu dimaknai dan membawa arti, politik harus dilaksanakan dengan menjunjung tinggi norma dan nilai-nilai yang berlaku. Politik harus lahir melalui proses empirik dan saintifik untuk melengkapi falsafah rasional dengan menyajikan data sebagai pelengkapnya. Segala kebijakan dan keputusan yang diambil dalam pemerintahan harus lahir dari suatu pengalaman dan fakta yang diproses melalui pendekatan keilmuan dan perilaku yang etis dari para pelakunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun