Mohon tunggu...
Shofiuddin AlMufid
Shofiuddin AlMufid Mohon Tunggu... Dokter - Dokter

Health Proletarian ⚕ | Bariton yang Berisik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Politik Kontemporer: Quasi-Democracy dan Kapitalisasi Kekuasaan

6 Desember 2024   16:14 Diperbarui: 6 Desember 2024   16:14 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapan hari saya bertemu dengan salah satu teman yang punya sedikit pengalaman dalam pencalonan legislatif. Permintaan mahar pada rentang 5 -- 10 M sudah menjadi hal yang lumrah, jika tidak mampu maka tidak perlu meminang untuk bisa dicalonkan. Angka yang sebenarnya cukup kecil untuk memberikan pesangon 100 ribu pada masyarakat akar rumput, sedangkan branding, akomodasi, biaya kampanye dan transaksional lainnya mungkin belum masuk perhitungan. Tarif mahal ini juga menjadi ladang yang subur bagi para milyader borjuis itu untuk mendominasi lahan politik balas budi, faktanya hampir separuh dari anggota parlemen baik di tingkat daerah maupun nasional adalah pemilik modal. Simsalabim jadilah politik yang dirawat untuk menjadi eksklusif dan non partisipatif oleh para kapitalis kekuasaan.

Mahar politik yang mahal ternyata berkontribusi dalam membentuk mental models para politikus. Siklus ini akan sangat membahayakan karena dapat memicu budaya korup untuk mengembalikan modal dan menggerus meritokrasi dalam sistem pemerintahan. Mari kita lihat, berapa banyak caleg yang dirawat dibangsal perawatan jiwa? berapa sisanya yang memilih untuk mengakhiri hidup?. Dari situ saja harusnya kita sudah bisa melihat kalau ternyata masih banyak orang yang maju kontestasi atas motivasi kehidupan yang mewah dan kekayaan secara instan. Tapi menarik untuk ditelisik apa yang membuat biaya politik menjadi selangit, sepertinya perlu dibuat sekuel tulisan untuk menyelidiki lebih dalam akan ini. Rasionalisasinya adalah taraf pendidikan, sistem pencalonan, dan budaya di masyarakat lah yang menjadi unsur pembangunnya.

Sistem pendidikan menyajikan kita pada data partisipasi sekolah yang hanya 73,42 pada usia 16-18 tahun, dan 26,85% pada usia 19-24 tahun. Pendidikan murni memang belum tentu merepresentatifkan kecerdasan berpolitik seseorang, namun setidaknya data tersebut memberikan informasi bahwa pada usia produktif masih ada 27% siswa tidak melanjutkan sekolah SMA, dan hanya 27% yang melanjutkan ke strata lebih tinggi. Bonus demografi yang dibebankan pada usia produktif harus dijawab dengan data yang seperti ini, rasanya sekali lagi saya bisa bicara kalau kita belum siap untuk naik level. Bagaimana dengan boomers? Seperti yang sudah saya gambarkan di awal, sebagian besar hanya mampu menjadi pengemis kecil elektoral.

Pendidikan politik yang belum terjangkau oleh seluruh masyarakat akan mengiyakan praktik kebudayaan yang buruk. Romantisme feodal tumbuh subur disini, menjual agama atau ras tertentu sudah menjadi strategi jitu. Politik uang yang sudah besar-besaran ditekan itu ternyata portalnya dibengkokkan oleh masyarakatnya sendiri. Kondisi yang seperti ini tidak bisa diteruskan karena sangat syarat akan nilai transaksional yang materiil dibanding produk gagasan yang mencerahkan. Pada akhirnya, proses yang masyarakat ciptakan sendiri ternyata menjadi bumerang akan skeptisme terhadap kualitas birokrat.

Saya kemudian iseng untuk melihat syarat-syarat pencalonan legislatif, rupanya tidak ada yang spesial, hanya minimal lulusan SMA, SKCK, diusung oleh partai, dan hal-hal normatif lainnya. Memang bukan suatu hal yang salah karena memang kita tidak bisa menilai kualitas pemikiran seseorang dari tingkat pendidikannya, atau mungkin bisa jadi salah? Seharusnya pemerintah bisa lebih selektif untuk memastikan para kontestan adalah orang-orang yang eligible lebih dari standar rendah yang dipasang sekarang, semua tidak bisa dinilai hanya dari kuantitas, tapi kualitas juga mutlak untuk disertakan. Ketika gerbang pencalonan sudah rapuh, konstitusi juga mudah diobok-obok, ternyata bobroknya sudah di tingkat penyelenggara.

Maka gerbang yang menjadi tumpuan harapan besar kualitas para calon tidak lain hanyalah partai politik. Kader-kader parpol ini diharapkan mendapatkan proses berpikir dan pendidikan politik yang benar, kemudian diajukan pada kontestasi electoral karena kompetensi dan kiprahnya dalam masyarakat. Tapi apakah seperti itu kenyataannya? Tidak. Sekarang adalah era dimana yang cemerlang akan kalah dengan yang popular, yang mengajak berpikir akan kalah dengan yang mengajak berjoget. Introspeksi sepertinya pilihan yang bijak sebelum menyalahkan, kaum produktif sekarang sepertinya lebih suka hiburan daripada menganalisis fenomena sosial. Sah-sah saja kalau cara itu dipakai dalam stratak pengumpulan basis masa pada kualitas SDM yang sekarang.

Lalu mau sampai kapan mengesampingkan pendidikan dan politik, harusnya dua hal tersebut bisa beriringan, lebih baiknya lagi untuk mengasosiasikan pendidikan politik pada struktur kurikulum dasar, karena percayalah kualitas pendidikan yang baik akan melahirkan panggung politik yang elegan berbasis intelektual. Pendidikan sudah tidak didapat, maka juga jangan salahkan apabila para pemegang modal ekonomi lah yang jadi pemenang, setiap tahun sudah dapat tertebak, mana dengan pendanaan yang lebih besar yang akan menang, karena masyarakat dan para pejabat mudah dibeli dengan uang, bukan dengan produk pemikiran. Tepat sekali teori yang Marx sampaikan bahwa ekonomi sudah layaknya superstructure yang mempengaruhi segala aspek kehidupan.

Eksklusivitas politik lambat laun menjadi keniscayaan, biaya yang mahal dan sistem yang tidak meritokrat hanya mengizinkan orang-orang tertentu saja untuk masuk, sisanya sia-sia, sebagian lainnya memilih menjadi kroco dan jadilah pengemis kekuasaan. Situasi ini sungguh menghadapkan kita pada kerugian karena banyak sekali orang berpotensi yang tersingkir dan selamanya politik akan jadi permainan para petarung modal dan popularitas. Masyarakat juga pasti akan lebih memilih sebuah privatisme dan tidak terlalu peduli pada politik. Wajar saja ketika kita terlalu banyak dikecewakan oleh pejabat yang korup, kenistaan yang terus dibenarkan, dan bahkan kelakuan para pejabat yang tidak bisa dicontoh. Saya tidak perlu memberi contoh karena sudah terlalu banyak exposure yang kini kian mudah dilihat melalui media sosial, berapa banyak keluarga pejabat yang kriminil atau berapa banyak yang berbuat amoral, semacam mengolok-olok penjual es teh di pengajian misalnya.

Sebuah Harapan akan Bonus Demokrasi

Masyarakat menengah adalah tumpuan transformasi

Saya tidak ingin terlalu naif kalau hanya memandang dari satu sisi, tapi memang generasi kita ini kalau tidak dipukul sedikit keras biasanya tidak sadar, pikirannya menjadi semu tergerus media sosial yang candu. Walaupun distorsi demokrasi terus terjadi, harapan akan titik balik perbaikan itu selalu ada. Mulai banyaknya golongan intelektual dan tokoh-tokoh inspiratif dalam tubuh pemerintahan bisa sedikit melegakan. Partai politik pun mulai bertransformasi, produk-produk gagasan yang intelek dan penjaminan kualitas kader terus diutamakan. Tinggal bagaimana kita terus merawat harapan akan kejayaan demokrasi tanpa harus dibajak tangan-tangan oligarki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun