Mohon tunggu...
Shofiuddin AlMufid
Shofiuddin AlMufid Mohon Tunggu... Dokter - Dokter

Health Proletarian ⚕ | Bariton yang Berisik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Politik Kontemporer: Quasi-Democracy dan Kapitalisasi Kekuasaan

6 Desember 2024   16:14 Diperbarui: 6 Desember 2024   16:14 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Situasinya sedikit runyam karena kenyataannya masyarakat mulai menepi ke kanan, menuju arah liberalisme yang begitu menghargai adanya hak-hak perseorangan. Individu memiliki minat dan kepentingannya sendiri (self-interested), maka kekuatan politik (political power) akan mudah dianggap sebagai sesuatu yang korup dan permainan petarung demi kepentingannya sendiri hingga rela mengorbankan orang lain.

Ekstrimis kiri seharusnya sangat menentang sikap anti politik ini. Tidak terlalu jauh sepertinya kalau kita sedikit mundur kebelakang untuk menengok kembali revolusi proletariat oleh Marx. Walaupun banyak membidangi teori ekonomi, nyatanya memang ekonomi adalah hal pertama yang memengaruhi politik dan seluruh sendi kehidupan. Latar belakang akan perjuangan kaum proletar (buruh) saat itu sangat mempengaruhi cara pandang seorang Marx yang revolusioner melawan borjuis (pemilik modal). Lajur ekonomi sudah menjadi bagian dari superstructure yang akan mempengaruhi perilaku politik dan kehidupan bersosial masyarakat, Marx menyebutnya dengan "Politics is the most concentrated form of economics". Maka jangan heran ketika orang-orang yang duduk berkuasa adalah para pemilik modal tinggi, karena politik dan ekonomi tidak akan terpisahkan.

Lebih keras lajur kiri berteriak "personal is politics!!", tidak berpolitik sama saja memberi peluang suatu kelas untuk menindas kelas lainnya, sama saja membiarkan bourjois bermodal tinggi untuk semakin berkuasa dan beranak pinak.

Lingkaran Setan Kapitalisasi Kekuasaan

Eksklusivitas politik dan para pembajak

Hampir 80 tahun sudah belantara politik Indonesia digelar, dan harus diakui bahwa apa yang terjadi sekarang tidak akan pernah terlepas dari jasa reformasi. Sistem politik Indonesia menempatkan demokrasi berdasar pada kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi. Amanat UUD 1945 menyebutnya melalui Pasal 1 ayat 2 bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar". Ruang waktu sudah membawa kita melewati perjalanan panjang sejak perumusan revolusioner, menuju era kejayaan demokrasi parlementer, sentralisasi kekuasaan demokrasi terpimpin, kediktatoran orde baru hingga reformasi sebagai antitesis yang mencerahkan.

Reformasi menekankan dijalankannya perwujudan supremasi hukum dan keadilan, perlindungan hak asasi manusia, serta hadirnya kontrol dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Empat kali amandemen pasca reformasi membawa kita pada konsep konstitusi modern yang mengarah kepada tegaknya negara demokrasi konstitusional (constitutional democratic state). Produk pemilu yang kita kenal sebagai manifestasi terbesar kedaulatan rakyat juga merupakan produk reformasi. Tahun 2004 menjadi saksi dimana parlemen dan eksekutif dipilih langsung oleh rakyat, diikuti pada tahun 2005 untuk penyelenggaraan pilkada. Kita harus banyak berterima kasih pada reformasi karena kedaulatan rakyat benar-benar dijunjung tinggi dan lembaga negara mendapat pembatasan kekuasaan yang adil serta beradab. Namun apakah dalam pelaksanaanya sudah seperti itu?

Saya memahami apa yang menjadi keresahan bersama, harapannya seperti itu, untuk minimal kita tidak apatis dan masih menyadari adanya ketimpangan. Mulai dari koalisi gemuk, putaran arus kapitalisasi kekuasaan, sampai dengan skeptisme kualitas para birokrat. Pengusaha, artis populer, para golongan yang diper-agungkan dan semacamnya mulai berlatih menjadi pengamen jabatan, iming-iming akan kekayaan dan kehidupan mewah fantastis membuat orang berbondong-bondong ingin menjadi anggota dewan. Kemuliaan politik sudah menjadi politik Yang Mulia dan rekan-rekannya, pemeran yang usil dan suka berbuat gaduh. Demokrasi dan kedaulatan rakyat menjadi semacam teori, kekuasaan sudah terbajak dan rakyat terseok-seok merebutnya.

Lambat laun tuntutan reformasi mulai melebur dengan era kontemporer (kekinian) yang dinilai lebih modern dan luwes akan pengembangan. Mari merefleksi kembali bahwa sistem politik demokrasi yang sekarang tidak akan pernah luput dari pengikisan nilai, layaknya sebuah alat produksi yang "operator dependent", maka akan selalu ada dinamika di dalam pelaksanaannya, tergantung kapan, dimana, dan siapa yang berkuasa. Sadar atau tidak, demokrasi kian dibajak, Priyono melalui bukunya "Menolak matinya Intelektualisme" menyebutkan tiga kepandiran pembajak demokrasi, oikos (politik dinasti), idios (privatisme), dan etnos (primordialisme), atau jika diejawantahkan menjadi oligarki politik, oligarki modal, dan oligarki feodal (keagamaan).

Semuanya berawal dari budaya di masyarakat, biaya politik yang sangat mahal, mental models para politisi, dan pendidikan masyarakat yang rendah. Sistem demokrasi menuntut pengumpulan basis masa sebagai nilai tukar atas kemenangan dalam berbagai bentuk kontestasi. Tugasnya sebenarnya sederhana, bagaimana seorang calon penguasa bisa mendapatkan dukungan sebesar-besarnya dari rakyat. Naluri kita yang mengarah pada kebaikan itu pasti akan berpikir untuk memenuhi eligibilitas kita sebagai pemimpin, salah satunya dengan jalan pendidikan politik. Sistem yang meritokrat akan sangat membuka peluang kita yang memang berpotensi, para calon pun berlomba-lomba mengaudit keresahan dalam masyarakat dan adu gagasan akan menjadi senjata yang paling tajam. Tapi itu hanyalah angan-angan karena rupanya kita masih jauh dari kata elegan.

Realitanya demokrasi yang dielu-elukan belum se-partisipatif itu, biaya yang sangat mahal menjadikan politik kian eksklusif dan sulit sekali dijangkau, padahal demokrasi sangat menekankan partisipasi sebagai bentuk generall will dalam pelaksanaannya. Rasanya tidak perlu menjadi sosok yang hebat dan menghasilkan produk-produk berdampak, cukup banyak ditemui anak-anak para birokrat yang bangun tidur sudah masuk parlemen, lebih mudah lagi kalau bapak kita presiden, atau mungkin terlalu jauh? ketua DPC partai juga sudah cukup untuk membelikan kita kursi di DPRD, lalu suatu hari coba kita uji publik dadakan dan kita nilai seberapa kualitasnya dalam berdinamika sosial, jawabannya adalah nol. Itulah faktanya, sebagian orang yang duduk di kursi pemerintahan hadir tanpa melalui proses berpikir dan pendidikan politik yang baik, asal ada uang, asal ada bekingan, atau memilih menjadi popular sepertinya lebih bagus seperti para artis di senayan, syukur-syukur kita punya keturunan bangsawan. Jangan salahkan, karena masyarakat kita juga belum ada di level untuk dihadapkan pada pertunjukkan politik yang elegan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun