Aristoteles sepertinya cukup pantas untuk dijadikan rujukan pertama, tak khayal karena sematan bapak pemikiran politik. Politik dalam pemikiran sang filsuf mendapatkan tempat teristimewa karena kemuliaannya, "master science" atau keilmuan yang tinggi, begitulah Aristoteles memandang hal yang membidani persoalan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Politik tidak lagi sebuah pengetahuan dalam balutan teori, tetapi ilmu praktis yang akan mempengaruhi tindakan seseorang.
Prof. Miriam Budiardjo dalam bukunya "Dasar-Dasar Ilmu Politik" menjelaskan konsep politik meliputi state, power, decision making, public policy, and distribution/allocation. Bicara soal politik tidak akan terlepas dari pemerintahan dan produk kebijakan yang dihasilkan. Menarik ketika Prof menyertakan unsur power bersanding dengan decision making, public policy, dan distribution. Konsep berpolitik benar-benar mengajarkan kita untuk menuju sebuah kekuasaan (power), dan kuasalah yang memberikan kesempatan untuk mengatur. Atas klausul itulah policy dan distribution perlu disertakan. Policy adalah produk kebijakan dari unsur kekuatan penguasa (power), sedang distribution/allocation adalah penyerta penting untuk menyelesaikan konflik dan membagi kekuasaan secara adil.
Prinsip kebijaksanaan pemerintah yang berkuasa sangat penting untuk ditampilkan kepada rakyatnya. Hoogerwerf dalam tulisannya "Politicologie: Begrippen En Problemen" menjelaskan bahwa objek utama dari bahagian politik adalah kebijaksanaan pemerintah, sekali lagi "kebijaksanaan". Kebijaksanaan dalam memaknai kuasa sebagai alat pembangunan masyarakat secara terarah "doelbewuste vormgeving aan de samenleving door middel van machtsuitoefening" (Hoogerwerf, 1972).
Penyimpangan dan Citra Politik
"Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely" ~Heywood
Bahasan diatas terlalu mengagungkan subjek politik pada tempat yang tinggi, maka kita buat teori-teori ini menjadi lebih seimbang. Faktanya, kekuasaan akan mencondongkan kita pada peluang kekorupan. Kegagalan pemerintah (penguasa) dalam menunjukkan kebijaksanaan akan mempertemukan dirinya pada produk-produk apriori rakyat. Oleh karenanya, dalam konsep politik menurut Heywood, penulis mulai memunculkan istilah "Politicians" sebagai julukan yang identik bagi para penguasa yang gagal. Arus apriori negatif yang besar akan membawa kita pada stigma dan konotasi buruk yang langgeng. Beberapa situasinya mulai terlihat sekarang, dimana ada politik disitulah pikiran akan mendekat pada neraka, maka tidak ada pilihan lain selain mengejar nirwana dan membuang politik sejauh-jauhnya. Ekstrimis anti politik mungkin akan berani mengatakan bahwa penguasa yang baik hanyalah seorang hipokrit yang sedang berkelit.
Bangsa kami sudah menyelami kegagalan demi kegagalan setiap periodenya, masyarakat juga sudah mulai pintar dalam membaca peta siasat dari para pemain, membuat permainan ini tidak hanya asyik tapi juga kian traumatik. Kegagalan yang dimaksud oleh Heywood tidak melulu soal kebijaksanaan dan policy. Bernard Crick dalam karyanya "In Defence of Politics" memasukkan suatu teori "A wide dispersion of power" yang mana politik harus bisa menengahi perbedaan kepentingan melalui pembagian proporsi kekuasaan, dimana dalam pembagiannya menekankan kepada seberapa penting mereka dalam permasalahan kesejahteraan rakyat. Alokasi kekuasaan yang terlalu memihak akan sangat memicu ketimpangan, kepentingan rakyat akan menjadi opsi kesekian daripada praktik balas budi untuk kepentingan golongan. Meritokrasi yang selalu dipromosikan ternyata masih kalah dengan polarisasi kekuasaan ini, karena yang bermodal dan punya kuasa akan menjadi magnet bagi para golongannya.
Personal, Publik dan Politik
Who gets what, when and how~Laswell
Kalau Aristoteles mengatakan bahwa politik adalah ilmu praktis yang mengatur tindakan seseorang, maka Laswell boleh berbicara kalau politik itu hanya masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. Aristoteles menebalkan kembali melalui postulat man is by nature a political animal, untuk menjalani hidup yang baik, seorang manusia harus berada dalam komunitas politik. Maka sebuah poiesis (kodrat manusia) untuk tidak terpisahkan dari urusan ini.
Walaupun politik bertujuan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, yang kemudian disebut public, public sendiri terdiri dari entitas-entitas yang bersifat privat, karenanya diperlukan konsep state dan civil society (tatanan sipil). Jacque Rousseau menebalkan pendapat Aristoteles dengan menyebutkan "general will" sebagai sebuah sistem bagi pelaksanaan politik melalui tataran sipil, yaitu untuk mencapai kebaikan bersama (common good) diperlukan partisipasi langsung dan berkelanjutan dari masyarakat. Maka dari itu, sekali lagi saya katakan bahwa personal is politics.