Mohon tunggu...
Chaca Nugraha Zaid
Chaca Nugraha Zaid Mohon Tunggu... Freelancer - Lifelong Learner

Penikmat Sains, Teknologi, Filsafat, dan Pemikiran Islam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Siapkah "Virtual Reality" Digunakan pada Proses Pembelajaran?

7 Maret 2021   19:00 Diperbarui: 7 Maret 2021   19:02 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi Covid-19 tidak selalu membawa hal-hal yang buruk, jika kita coba untuk tenang dan melihat serta mendengarkan fenomena yang terjadi di sekeliling kita, ternyata memang cukup banyak hal-hal yang membawa kebaikan-kebaikan dari kejadian ini atau yang sering disebut oleh kebanyakan orang sebagai hikmah dibalik suatu peristiwa. 

Hal tersebut dapat kita temui pada lingkungan pendidikan, meskipun ranah ini cukup banyak terdampak selama pandemi covid-19 ini berlangsung, namun lompatan-lompatan teknologi yang terjadi selama pandemi ini sangat berpengaruh dalam kehidupan di masyarakat.

Diantara lompatan teknologi tersebut adalah berkembangnya ruang-ruang virtual dalam proses pemebelajaran di dunia pendidikan yang dengan sangat mudah kita temukan beragam aplikasinya seperti zoom meeting, google meet, dll. 

Namun dalam proses pembelajaran di ruang virtual memiliki keterbatasan terutama pembelajaran yang membutuhkan pengalaman secara langsung seperti praktikum, karena memang pengalaman dan tingkat pemahaman yang didapatkan sangat berbeda antara melihat melalui video dengan melakukannya secara langsung.

Berdasarkan penelitian Kumape (2015) dalam Jurnal Kreatif Online, rata-rata manusia hanya mampu mengingat 20% informasi yang didengar, sedangkan 30% mengingat dari apa yang dilihat. Sedangkan, hampir 90% orang mampu mengingat informasi berdasarkan apa yang dialami, misalnya dengan praktik langsung. Sehingga memang agar proses pembelajaran terjadi dengan kualitas yang baik sangat dibutuhkan pengalaman langsung dalam proses pembelajaran tersebut.

Perkembangan teknologi yang terus bergerak dengan sangat cepat saat ini mencoba untuk mewujudkan ekspektasi manusia dalam mengatasi permasalahan yang ada, mulai dari Revolusi Industri 4.0 hingga Society 5.0 yang mana membuat titik persoalannya bukan lagi seperti di 4.0 yang memperlihatkan hubungan antara manusia dan mesin seperti atasan dengan bawahan. 

Namun lebih dari sekedar itu, yaitu sebagai partner yang dapat membantu dalam kehidupan. Tentunya untuk membuat mesin tersebut menjadi partner membutuhkan modifikasi dan penambahan fitur-fitur tertentu.

Diantara teknologi yang hadir sebagai partner itu salah satunya adalah virtual reality yang dapat membantu proses pembelajaran terutama yang berbasis pada praktikum ataupun pelatihan di sekolah kejuruan.

Sederhananya virtual reality merupakan teknologi yang dapat membuat segala hal skenario virtual menjadi sesuatu yang seolah-olah nyata. Ketika sesuatu tersebut terlihat nyata, maka cara kerja otak kita akan sama hal nya seperti kita melakukan hal tersebut di dunia nyata. 

proses pengindraan secara normal & VR (sumber: ntirawen.com)
proses pengindraan secara normal & VR (sumber: ntirawen.com)
Kinerja otak yang sebelumnya menjadi kendala karena proses pembelajaran jarak jauh yang berlangsung melalui layar laptop ataupun gawai memiliki pengaruh yang berbeda dengan pembelajaran secara langsung dapat teratasi terutama pada penginderaan dalam proses mengalami (jika mengacu pada konsep daur belajar) dapat ditransfer dengan baik. 

Selain itu virtual reality juga dapat menjadi solusi dalam menurunkan anggaran pelaksanaan praktikum atupun fasilitas laboratorium di ranah pendidikan dan pelatihan yang seharusnya membutuhkan miliaran rupiah dapat lebih ditekan pembiayaanya.

Maka pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah apakah VR ini memungkinkan untuk diterapkan terutama di Indonesia? 

Jawabannya adalah sangat memungkinkan, apa lagi jika kita lihat tren nya harga VR ini beberapa tahun terakhir menjadi semakin lebih murah dikarenakan cukup banyak pihak yang terlibat dalam investasi pengembangan teknologi ini, sehingga ketika harga yang semakin murah kemudian berdampak pada tingkat pembelian oleh masyarakat yang setiap tahunnya terus meningkat seperti yang dapat kita lihat pada gambar berikut.

peningkatan belanja VR di seluruh dunia pada beberapa tahun terakhir (sumber: statista via teknologi.id)
peningkatan belanja VR di seluruh dunia pada beberapa tahun terakhir (sumber: statista via teknologi.id)
Selama pandemi covid-19, inklusivitas semakin kecil dalam dunia pendidikan Indonesia dan negara-negara lainnya, dimana orang yang dapat mengenyam pendidikan hanyalah yang memiliki perangkat elektronik (gawai atau laptop) dan daerahnya yang terjangkau internet. 

Orang-orang yang berdomisili di perkotaan sangat mudah untuk berkomunikasi dan melakukan proses pembelajaran. Sedangkan di daerah sub-urban bagaimana? Akses internet sangat lemot. Video pun harus dimatikan agar pembelajaran dapat berjalan dengan lancar walaupun hanya berbasis suara (yang tentunya cukup berdampak pada kualitas pembelajaran yang didapatkan). 

Apa lagi di daerah 3T yang bahkan ada pemadan listrik rutin. Inilah alasan learning loss meningkat di Indonesia pada masa pandemi ini. Dan hal itulah yang menjadikan perbedaan pendidikan di kota dan desa menjadi sangat terasa berbeda.

Maka yang melalui terobosan VR dalam penerapannya di Indonesia berdasarkan yang telah dilakukan oleh Millealab (merupakan salah satu platformer yang bergerak pada edukasi berbasis VR) VR ini dapat diterapkan hingga di daerah sub-urban yang memiliki kualitas rata-rata kecepatan internet 2 Mbps. 

Lantas bagaimana dengan harganya? Seperti yang dapat teman-teman lihat pada gambar di bawah ini, setiap tahunnya kaca mata VR ini selalu menjadi semakin murah, bahkan di market place Indonesia dapat teman-teman temukan dengan harga yang bisa dibilang terjangkau.

harga VR beberapa tahun terakhir (sumber: millealab.com)
harga VR beberapa tahun terakhir (sumber: millealab.com)
Berdasarkan dari penerapan yang telah dilakukan oleh Millealab juga, pembelajaran berbasis VR ini meningkatkan pemahaman peserta didik di Indonesia dalam memahami pelajaran seperti gambar berikut.

peningkatan pemahaman siswa dalam belajar berbasis VR (sumber: millealab.com)
peningkatan pemahaman siswa dalam belajar berbasis VR (sumber: millealab.com)
peningkatan nilai siswa dalam belajar berbasis VR (sumber: millealab.com)
peningkatan nilai siswa dalam belajar berbasis VR (sumber: millealab.com)
Kemudian pada umumnya yang menjadi pertanyaan selanjutnya yaitu apakah dampak negatif dari penggunaan VR ini? 

Seperti yang kita ketahui bahwasanya semua teknologi memiliki dampak positif dan negatif, tapi yang mesti kita pahami bersama adalah bagaimana kita menimbang mana yang lebih banyak dampak negatif dibanding positifnya dan kemudian secara bertahap kita berusaha untuk terus mengurangi peluang terjadinya dampak negatif tersebut melalui regulasi dalam penerapannya. 

Karena memang sejauh ini teknologi terus berkembang dengan sangat cepat sedangkan pembuat regulasi ngos-ngosan atau bahkan tertinggal dalam mengikutinya. Maka dengan adanya regulasi kita berharap dampak negatif dari teknologi dapat berkurang dan dapat terus memaksimalkan dampak positifnya.

Adapun dampak negatifnya dalam penerapan VR ini yaitu pada kesehatan mata yang ketika digunakan selama 6 jam terus-terusan tentunya akan menurunkan kemampuan mata, sama halnya dengan penggunaan gawai ataupun laptop dalam waktu yang lama. 

Oleh karena itu memang dibutuhkan manajemen waktu dan pengontrolan dalam penggunaan VR ini. Sebagai intermeso berikut ada video yang menceritakan pengalamannya dalam menggunakan VR secara terus-terusan selama 1 pekan.


Kemudian pertanyaan lainnya yang muncul adalah, bukankah VR ini malah dapat membuat guru jadi kehilangan pekerjaan? Jawabannya tentu saja tidak, karena memang semakin berkembangnya zaman seorang guru justru dituntut untuk meningkatkan kemampuannya (kreatif dan adaptif) dalam metode pembelajaran. 

Penggunaan VR menuntut guru membuat template pembelajaran VR nya berdasarkan pelajaran yang diapunya. Kenapa bukan programmer saja? Tetap saja membutuhkan guru sebagai praktisi di dunia pendidikan yang jauh lebih paham bagaimana tingkat pemahaman dan kebutuhan peserta didik, penerapan kurikulum, RPP, penguasaan suatu mata pelajaran, dll nya dalam proses pembelajaran di kelas. 

Saya jadi teringat sebuah kutipan bahwasanya dalam dunia pendidikan, metode pembelajaran itu lebih penting daripada materi, namun jiwa seorang pendidik jauh lebih penting daripada metode, karena pendidikan itu berbicara soal jiwa seorang pendidik (yang belum dapat digantikan oleh mesin) yang siap mengabdi dan memberikan yang terbaik untuk peserta didiknya. 

Namun bukan berarti ketika memiliki jiwa seorang pendidik, lantas abai untuk meningkatkan kapasitas diri dalam penggunaan metode dan materi dalam pembelajaran.

"Satu mesin dapat melakukan pekerjaan lima puluh orang biasa. Namun tidak ada mesin yang dapat melakukan pekerjaan satu orang yang luar biasa." (Elbert Hubbard)

Rekomendasi bacaan selanjutnya: Habis Pandemi, Terbitlah "Knowledge Obesity"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun