Mei 2015 sudah pasti menjadi bulan yang membanggakan bagi Telkomsel. Sebab pada bulan itu, Telkomsel genap berusia 20 tahun sekaligus mampu mempertahankan posisi sebagai market leader. Sebuah prestasi fenomenal mengingat posisi nomor wahid sudah disandangnya sejak 1999.
Namun memasuki bulan-bulan berikutnya, operator yang identik dengan warna merah itu sedikit tak nyaman. Anak perusahaan PT Telkom ini diterpa beberapa isu tak sedap yang bisa memunculkan persepi buruk di mata publik.
Salah satu isu yang cukup serius adalah petisi “Internet Untuk Rakyat: Save@Telkomsel @KemenBUMN @Kemkominfo”, yang dicetuskan seorang pelanggan Telkomsel dari Indonesia timur bernama Djali Gafur di situs Change.org. pada 27 Juli 2015. Ia mempertanyakan penetapan zona oleh Telkomsel yang berujung pada perbedaan tariff antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Tarif internet Telkomsel di Indonesia bagian timur dikatakannya bisa lebih mahal hingga 100 persen.
Seperti beberapa petisi lain yang berawal dari Change.org, isu internet mahal kemudian berkembang di masyarakat. Hingga hari ini, petisi tersebut telah didukung 11.902 pendukung. Beberapa pihak pun segera memanfaatkan isu seksi ini. Salah satunya adalah IdTUG (Indonesia Telecommunication User Group).
Menurut Muhammad Jumadi, Sekjen IdTUG, tarif berdasarkan zona ini dinilai berseberangan dengan semangat untuk mendorong pertumbuhan penetrasi internet yang masih rendah. Padahal penetrasi internet yang meningkat akan membantu dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi.
IdTUG berharap pemerintah turun tangan untuk menurunkan tarif operator yang dinilai cukup memberatkan pelanggan. “Tarif Telkomsel berdasarkan zona saat ini sangat mahal. Praktek ini sudah mengarah ke monopolistik dan oligopolistik. Pemerintah harus ikut mengatur, jangan diam saja,” kata Jumadi (Selular.Id, 27/7/2015).
Tak pelak, isu internet mahal menjadi bola panas yang terus menggelinding. Sebagai lembaga pengawas, BRTI pun angkat suara. Berbeda dengan IdTUG, penerapan tarif layanan internet beda zona yang diberlakukan oleh Telkomsel untuk pelanggannya dinilai BRTI merupakan hal yang wajar.
“Dari sisi pasar sah-sah saja karena investasi yang dilakukan oleh operator untuk membangun infrastruktur di Pulau Jawa berbeda dengan di wilayah lain di kawasan timur Indonesia,” ungkap I Ketut Prihadi Kresna, salah satu anggota BRTI (Selular.Id, 26/7/2015).
Selain faktor biaya investasi, jumlah pelanggan yang menggunakan layanan operator juga mempengaruhi besarnya tarif yang dikenakan oleh operator. Jika investasi besar tetapi jumlah pelanggannya banyak sehingga faktor pembaginya lebih besar maka harga satuannya bisa lebih murah.
Penjelasan dari BRTI itu tentu membuat Menkominfo Rudiantara harus membuat jalan tengah. Ia memaklumi langkah yang diambil Telkomsel sebagai sebuah strategi bisnis yang diterapkan oleh operator.
“Biaya operasional yang dibutuhkan untuk membangun dan memelihara infrastruktur yang dimiliki operator di tiap wilayah memang beda-beda, cuma saja disparitas tarifnya tiap zona jangan terlalu tinggi,” kata Rudiantara di acara Halal Bihalal Komunitas Telko dan Media di Kantor Pusat Indosat, Jakarta (29/7/2015).