Karena itu menteri yang biasa disapa Chief RA ini telah meminta Telkomsel untuk menurunkan tarif layanan internetnya. Meski tidak menyebut secara spesifik, desakan Rudiantara membuat manajemen Telkomsel langsung mempertimbangkan opsi penurunan tarif data. Hal ini ditegaskan langsung oleh Ririek Adriansyah, Direktur Utama Telkomsel, sehari setelah muncul pernyataan dari Rudiantara itu.
Ririek menyatakan tengah melakukan kajian untuk memperkecil disparitas tarif layanan data di seluruh kawasan di  Indonesia agar tetap terjangkau oleh masyarakat, namun di sisi lain juga tetap menjaga keberlangsungan usaha Telkomsel sebagai entitas bisnis.
Laba Vs Rugi
Polemik tarif internet menunjukkan, sebagai market leader, posisi Telkomsel tidak akan pernah aman. Berbagai isu yang dihembuskan niscaya akan terus bergulir langsung maupun tidak langsung, dan sangat mungkin berdampak pada kinerja bisnis mereka. Apalagi jika itu sudah berujung pada terbitnya regulasi yang berpotensi menggerus pendapatan. Tentu ini menjadi tantangan bagi divisi corporate communication hingga manajemen puncak Telkomsel.
Namun, jika mau jujur persoalan ini sebenarnya buah dari perang tarif yang membuat industri selular berdarah-darah. Pasca saturated pada 2012, industri ini sudah terbilang tak sehat. Indikasinya sederhana saja. Dari enam operator yang beroperasi saat ini (GSM dan CDMA), hanya Telkomsel yang kinerjanya memuaskan. Lainnya terus menelan kerugian, tak hanya operator gurem (Tri, Smartfren, Bakrie Telecom), namun juga dua operator besar, XL Axiata dan Indosat.
Tak berlebihan ini adalah kondisi zero sum game. Jika ada yang menikmati keuntungan, pihak lain justru menelan kerugian. Situasi bertambah rumit, karena operator mesti berjibaku di tengah pukulan kondisi makro ekonomi akibat depresiasi rupiah yang belum terlihat mereda hingga pertengahan tahun ini.
Meski demikian, tentu tak elok jika semua persoalan seolah ditimpakan ke Telkomsel. Walau berstatus anak perusahaan PT Telkom (65 persen), saham lainnya (35 persen) dikuasai oleh Singtel (Singapura). Artinya, sebagai PMA, tak ada treatment khusus regulator terhadap Telkomsel. Terlebih, di era open market yang diterapkan Indonesia sejak 1995, keuntungan atau kerugian yang menimpa operator merupakan persoalan bisnis semata. Lebih jelasnya, hal ini bisa dilihat dari laporan keuangan operator bersangkutan. Mari sedikit kita telisik laporan keuangan the big three.
Pada 2014, XL membukukan kerugian Rp 891 miliar. Begitu juga dengan Indosat. Anak usaha Ooredoo Group (Qatar) ini, mencatat kerugian hingga Rp 2,036 triliun. Sebaliknya Telkomsel berhasil meraup laba bersih Rp 19,4 triliun. Sekaligus mempertahankan pertumbuhan double digit dalam tiga tahun terakhir.
Dikulik lebih jauh, kerugian yang menimpa XL dan Indosat akibat banyak berutang dalam denominasi dolar ke rupiah. Indosat memang sudah mencoba mengonversi sebagian utangnya dalam dolar ke rupiah, sehingga mengurangi beban utang. Sementara anjloknya kinerja XL karena keputusan membeli Axis sehingga harus berutang dalam dolar.
Berkaca pada kinerja the big three itu, sesungguhnya pertumbuhan operator selular adalah cerminan dari fokus pembangunan infrastruktur dan aktifitas pemasaran, termasuk penentuan struktur tarif sesuai segmentasi pasar.
Selular sendiri adalah industri padat modal yang kerap membuat investor pemilik dana senewen. Mengutip pernyataan Dirut Smartfren Telecom Mirza Fachys, mau untung atau rugi, operator harus tetap investasi milyaran dollar AS. Jika tidak kembali berinvestasi, taruhannya sangat besar. Sebab rontoknya kinerja operator pada umumnya disebabkan salah arah membaca pasar dan keengganan memperluas jaringan. Hal ini sudah dialami oleh Indosat yang harus rela disalip XL, sebagai akibat dari kurangnya agresifitas membangun BTS baru sepanjang 2008 - 2012.