Di sisi lain, operator yang tetap konsisten membangun jaringan kelak akan diuntungkan. Dan hal ini sudah dibuktikan oleh Telkomsel. Hingga pertengahan tahun ini, Telkomsel sudah memiliki lebih dari 95.000 BTS. Bandingkan dengan XL yang baru punya setengahnya, yakni 55 ribu BTS. Mengekor di tempat ketiga Indosat dengan 40.756 BTS.
Jumlah BTS terbanyak, menujukkan sejak awal didirikan pada 1995, Telkomsel konsisten dengan doktrin pengembangan jaringan C3 (coverage, coverage dan coverage). Setelah coverage terpenuhi di suatu wilayah, maka strategi industrinya adalah C3QS (coverage, capacity, cost, quality and sevices). Strategi Telkomsel yang rajin membangun jaringan, kini mulai digeber oleh Indosat. Sejak tiga tahun terakhir, selain ngebut membangun BTS baru, Indosat juga terus memodernisasi jaringan agar bisa bersaing di era 4G LTE. Begitu juga dengan Smartfren yang bernafsu memiliki 10.000 BTS hingga akhir tahun ini.
Internet Merata
Kembali ke polemik internet mahal. Sejatinya dari aspek bisnis tak ada yang salah dengan tarif internet yang diberlakukan Telkomsel, meski di beberapa zona termasuk Maluku dan Papua terbilang mahal. Tudingan IdTUG yang menyebutkan sudah terjadi praktek monopoli dan oligopoli juga tidak berdasar, pasalnya tak ada larangan bagi operator lain untuk beroperasi di wilayah Indonesia, termasuk bagian timur.
Malah yang terjadi adalah, XL terpaksa mematikan 70 BTS di sejumlah daerah seperti Ambon, Maluku dan Banda Naira, karena terus memicu kerugian hingga puluhan juta rupiah per BTS per bulan. Seperti yang pernah saya tulis di DetikNet (Modern Lisencing Sekedar Macan Kertas, 4/11/2013).
Logikanya, jika seluruh operator mau membangun di daerah-daerah terpencil, sesuai ketentuan modern lisencing yang telah ditetapkan pemerintah, maka konsumen akan memperoleh keuntungan karena dapat menikmati beragam layanan dan tarif yang kompetitif, seperti halnya di kota-kota besar.
Sayangnya, ide pemerataan internet ke seluruh pelosok Indonesia lagi-lagi terhadang oleh persoalan bisnis. Meski ketentuan modern lisencing masih berlaku hingga detik ini, saya tetap memahami jika petinggi XL, Indosat dan operator lain berfikir seribu kali untuk membangun BTS di daerah-daerah dengan demografis yang sulit. Pasalnya, revenue yang dihasilkan sangat tidak memadai. Contoh, dengan penerapan tarif yang disebut-sebut mahal di wilayah Maluku, Telkomsel masih mengalami margin minus hingga 38 persen untuk layanan datanya.
Ironisnya, dengan tetap bela-belain membangun BTS di daerah terpencil termasuk wilayah perbatasan demi menegakkan kedaulatan NKRI (dan jelas-jelas tidak ada untungnya), Telkomsel tetap menuai kecaman, seperti yang disampaikan pada petisi yang digagas oleh Djali Gafur di situs Change.org itu.
Meski demikian, apa yang disampaikan Djali Gafur tidak sepenuhnya salah. Pasalnya, internet saat ini sudah menjadi kebutuhan sebagian masyarakat, tak terkecuali di wilayah Indonesia Timur. Namun tentu saja sangat naïf jika persoalan internet cepat dan terjangkau, seolah semata menjadi tanggung jawab Telkomsel, khususnya bagi mereka yang tinggal di wilayah Indonesia bagian timur dan wilayah-wilayah lain yang tidak cukup seksi secara bisnis.
Di sisi lain (tanpa melihat kepentingan yang tersirat), petisi tersebut selayak juga menjadi concern seluruh operator, terutama pemerintah dalam menghadirkan layanan internet berkualitas dengan tarif yang terjangkau, tanpa harus membeda-bedakan wilayah.
Apalagi dalam berbagai kesempatan, Menkominfo Rudiantara menegaskan bahwa program internet cepat dan merata ke seluruh wilayah Indonesia, adalah salah satu prioritas kerjanya sepanjang lima tahun ke depan. Bahkan,  dia menegaskan pembangunan internet broadband akan jadi salah satu warisan dari pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Rudiantara juga menargetkan, kecepatan internet di Indonesia kelak bisa menyamai Korea Selatan dan Singapura. Dua negara yang terkenal dengan kecepatan akses internetnya.