Menurut catatan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2018), prevalensi penderita depresi di tahun 2018 sebesar 6,1%. Sedangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi depresi menjadi penyakit nomor dua tertinggi di tahun 2020, sekitar 804.000 nyawa hilang di dunia akibat depresi yang melakukan percobaan bunuh diri.
   Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di dunia. Terdapat 6,2% remaja berusia 15-24 tahun dan umur yang paling sangat rentang terdapat di usia >75. Selain itu, menurut provinsi tempat tinggal yang rentan mengalami depresi terdapat tiga provinsi, yaitu Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur.
   Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Dr Eka Viora, mengatakan bahwa kesadaran masyarakat mengenai kesehatan mental masih sangat rendah. Beberapa dari masyarakat masih menganggap bahwa kesehatan mental merupakan hal yang tabu. Hal tersebut memunculkan sebuah stigma, bahwa terjadinya depresi disebabkan kurang dekatnya dengan Tuhan.
   Kondisi tersebut sangatlah memprihatinkan bagi masyarakat yang tidak seharusnya memberikan sebuah stigma pada orang lain. Begitupun depresi yang terjadi pada remaja, biasanya orang tua menganggap "Remaja belum mempunyai beban yang terlalu berat." Depresi tidaklah mengenal usia, ia bisa terjadi oleh berbagai usia. Akan tetapi, masalah ini kadang disepelekan dan tidak dianggap serius.
Mengapa depresi bisa terjadi pada remaja?
   Depresi merupakan masalah kesehatan mental yang menyebabkan perasaan menjadi sedih serta menghilangkan minat untuk beraktivitas. Risiko utama terjadi bila disepelekan dan tidak adanya dukungan dari orang-orang terdekatnya dapat mengalami kesedihan atau merasa terisolasi menjadi faktor utama untuk bunuh diri.
Terdapat berbagi alasan mengapa seorang remaja dapat mengalami depresi.
- Mendapatkan nilai ulangan yang jelek   Â
- Kesejangan status sosial di media sosial
- Kegagalan dalam hidup
- Kehidupan keluarga yang tidak nyaman                                                                                    Â
   Remaja yang mengalami depresi akan berubahnya pola pikir dan perilakunya. Biasanya senang untuk menyendiri, tidak bersemangat, kurang atau lebihnya jam tidur, merasa bersalah secara berlebihan, dan adanya keinginan untuk bunuh diri ataupun menyakiti diri sendiri.
   Adapun stigma lainnya yang membuat remaja memilih jalan untuk menyelesaikan masalahnya dengan bunuh diri ketika seseorang ingin mencari pertolongan tenaga professional seperti psikolog atau psikiater. Pada umumnya, penderita akan menerima bahwa pergi mencari bantuan akan menghabiskan banyak uang, membongkar aib sendiri, dianggap sebagai orang yang lemah, dan bisa dianggap orang gila.
   Padahal sama halnya dengan penyakit fisik, saat seseorang sakit flu ia perlu mencari obat dan beristirahat. Akan tetapi, saat seseorang mengalami depresi apakah mereka secara langsung kembali bahagia? Orang yang mengesampingkan kondisi mental dan menganggap hal itu tidak penting, secara tidak langsung memberikan stigma negatif pada dirinya sendiri. Akibatnya, penderita akan menunda untuk pergi ke tenaga professional atau menyembunyikan ke orang-orang terdekatnya karena dianggap memalukan.
   Selain itu, ada stigma dari masyarakat yang masih beranggapan "Lebih baik dibawa ke orang pintar atau paranormal daripada ke tenaga professional seperti psikolog atau psikiater." Hal tersebut justru dapat mengakibatkan penderita mendapatkan penanganan yang tidak sesuai. Seharusnya, datang ke tenaga professional untuk konsultasi dan mencegah terjadinya hal yang tidak di duga.
Bagaimana cara menghilangkan stigma dari masyarakat?
   Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa yang menjamin setiap orang dapat hidup dengan sejahtera lahir dan batin serta dapat memperoleh pelayanan kesehatan. Maka dari itu, pemerintah mempunyai program untuk dapat meningkatkan pemahaman masyarakat pentingnya kesehatan mental untuk menghilangkan stigma yang beredar di masyarakat.
   Untuk dapat menghilangkan stigma dari masyarakat terhadap permasalahan kesehatan mental diperlukan adanya edukasi, sosialisasi, dan peningkatan fasilitas kesehatan jiwa. Pemerintah berperan penting memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai kesehatan mental. Fasilitas kesehatan bukan hanya sebatas alat-alat terapi, tetapi juga ketersediaan tenaga professional. Selain itu, meratanya persebaran rumah sakit yang menangani kesehatan jiwa di Indonesia perlu ditingkatkan.
   Lalu, kemudahan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang tidak memberatkan masyarakat. Akses untuk mencapai rumah sakit atau puskesmas dimudahkan. Bila terdapat pasien yang tidak dapat ditangani di puskesmas, ia akan mendapat rujukan ke rumah sakit tanpa memandang status sosial.
   Selain pemerintah, usaha ini perlu dilakukan dari masyarakat yang bergerak untuk dapat menyuarakan kesehatan mental, seperti mengampanyekan pentingnya isu kesehatan mental. Melakukan kampanye kesehatan mental bertujuan untuk membangun kesadaran masyarakat untuk membuka mata terkait pentingnya pengetahuan kesehatan mental.
Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk mengampanyekan, seperti :
- Hindari menyebarluaskan informasi yang belum jelas sumbernya untuk mengantisipasi terjadinya berita hoax.
- Mempelajari isu kesehatan mental dari sumber tepercaya, baik dari buku atau berbagai sumber ilmiah lainnya.
- Berani speak up untuk bersuara mengenai kasus kesehatan mental dan jangan pernah takut untuk menyuarakan.
   Depresi merupakan salah satu gangguan kesehatan mental yang berdampak pada kehidupan sosial. Adanya stigma di masyarakat merupakan sebuah tantangan yang harus dilewati. Terjadinya depresi pada remaja membuat kehilangan minat atau aktivasnya. Masa remaja dianggap sebagai masa labil yang masih berusaha untuk mencari jati dirinya dan masih mudah menerima informasi yang tidak valid.
   Selain itu, terjadinya stigma dari masyarakat yang membuat remaja terpuruk dalam permasalahannya dan semakin bertambahnya pemikiran negatif yang mengakibatkan bertambahnya tingkat depresi yang dialami. Maka dari itu, untuk dapat menghilangkan stigma buruk dari masyarakat peran orang tua sangat berpengaruh untuk dapat menjadi support system. Dengan demikian, pola komunikasi antara orang tua dan anak harus terjaga dengan baik. Pola pengasuhan harus seimbang untuk dapat menghasilkan perilaku anak yang baik pula.
Referensi :Â
Anelis, S. (2019). Melawan Stigmatisasi Kesehatan Mental. From https://www.economica.id/2019/10/04/melawan-stigma-gangguan-kesehatan-mental/
Manafe, D, (2019). Stigma Membuat Gangguan Jiwa di Indonesia Sulit Diatasi. From https://www.beritasatu.com/amp/kesehatan/560768/stigma-membuat-gangguan-jiwa-di- indonesia-sulit-diatasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H