Pertanyaan-pertanyaan tersebut menghantui saya dalam proses penulisan, sehingga saya harus berdamai dahulu dengan diri sendiri sebelum memilih bagian mana saja yang perlu ditulis. Saya beruntung dibantu tim penulis Q-Communication. Dengan sabar, mereka mengurai dan menyusun kembali fakta-fakta yang ada menjadi suatu bacaan yang mudah dipahami.
Buku ini bertujuan untuk pembelajaran bagi kita semua, bahwa semangat perang melawan korupsi dapat dibelokkan untuk menindas orang yang terkena perkara di wilayah publik, seperti BUMN. Ancaman hukuman korupsi menjadi komoditi yang menguntungkan banyak pihak, kecuali
pesakitan. Opini publik telah menjadi pengadilan jalanan.
Sekali seorang menjadi ‘tersangka’, maka dia akan beruntun menjadi ‘terdakwa’ dan ‘terhukum’. Nama baik akan hilang dan keluarga terbawa malu. Jika tidak bersalah pun, negara tidak akan melakukan rehabilitasi.
Di awal Orde Baru, cap “PKI” sangat ampuh menghilangkan hidup seseorang dan keluarganya. Tidak ada pembelaan, tidak ada banding. Kehidupan dirampas. Saat ini cap “koruptor” sangat manjur untuk menghilangkan kehormatan dan karir seseorang. Tidak ada lembaga yang akan menampung keluhannya. Komnas HAM pun tidak punya piagam untuk membela orang yang terkena salah tuduh korupsi. Jeratan kasus korupsi benar-benar sebuah musibah.
Buku ini menjelaskan fakta-fakta hukum yang ada, bahwa perkara ini sangat sederhana, yaitu sebuah pelanggaran atas perjanjian bisnis antara sebuah BUMN (Merpati Nusantara Airlines) dengan sebuah perusahaan Amerika Serikat (TALG) dalam sewa-menyewa pesawat. Kemudian Merpati memenangkan gugatan di pengadilan Washington DC. Pihak TALG harus mengembalikan uang deposit milik Merpati beserta bunganya. Pemilik TALG menghindari pengembalian uang deposit, dan berupaya mengulur waktu agar masa kedaluarsa perkara berakhir. Merpati pun masih berpeluang mengejar uang itu. Singkatnya, kejadian ini adalah sebuah resiko bisnis.
Namun, sebagai BUMN, pihak Kejaksaan menganggap setiap rupiah di Merpati adalah uang negara. Resiko bisnis dipandang sebagai resiko kerugian negara. Inilah sebuah paradoks antara makna “BU” dan “MN” dari singkatan BUMN. Bayangkan, sebuah “badan usaha” yang tidak boleh mengambil resiko karena “milik negara”.
Sebagai Direktur Utama Merpati di saat perjanjian sewa itu dibuat, saya dikenai sangkaan oleh Kejaksaan Agung sesuai pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Korupsi, dimana pasal 2 mengenai adanya perbuatan melawan hukum dan pasal 3 mengenai penyalahgunaan wewenang. Artinya, saya dan kedua rekan Merpati dituduh bertindak dengan sengaja melanggar turan/prosedur dan menyalahgunakan kewenangan yang ada sehingga berakibat kerugian negara. Sebuah tuduhan yang sumir.
Buku ini mengurai bukti dan penjelasan para saksi dan ahli bahwa tidak ada prosedur atau etentuan yang dilanggar, baik internal maupun eksternal perusahaan. Perjanjian antara Merpati dan TALG pun adalah hal yang lazim di industri airlines. Menurut Anggaran Dasar Perusahaan, direksi pun telah memutuskan penyewaan dan penempatan dana deposit sesuai kewenangannya. Kerugian negara belum terjadi, karena deposit itu terbukti ada di pemilik TALG, serta masih ada potensi pengejaran uang itu. Selain itu, tidak terbukti adanya unsur kesengajaan dan unsur memperkaya diri sendiri.
Selama proses penyidikan hampir satu tahun, semua bukti dan penjelasan itu tidak membuat Kejaksaan bergeming. Kejaksaan hanya berpegang kepada premis bahwa manajemenMerpati telah mengetahui kemungkinan deposit sewa itu akan disalahgunakan. Inilah celah utama masuknya sangkaan ini. Namun, semua bukti yang kami bawa dan yang ada di tangan pihak penyidik pun menyatakan sebaliknya.
Atas semua bukti itu, jawaban penyidik cukup singkat,
“silakan buktikan saja di pengadilan nanti”.