Mungkin sedikit terdengar aneh ketika seorang aktvis yang memiliki jiwa idealis dan kritis namun ternyata juga memiliki sifat apatis, karena pada dasarnya Antara aktivis dan apatis sebenarnya dua sifat  yang berlawanan.
Aktivis dalam kamus besar bahasa indonesia diartikan sebagai orang yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya. Sedangkan apatis menurut kamus besar bahasa indonesia adalah acuh tak acuh, tidak peduli, dan masa bodoh.
Menjadi seorang aktivis bagi mahasiswa bukanlah keharusan tapi menjadi pilihan. Memilih untuk tetap dalam orientasi awal sebagai penuntut ilmu, kuliah menjadi rutinitas sehari-hari, Â memperoleh niai yang tinggi, lulus tepat waktu dengan predikat comlaude mungkin ini adalah pilihan yang menarik bagi sebagian mahasiswa tapi tidak bagi mahasiswa yang paham betul fungsi dan perannya sebagai mahasiswa.
Saat saya pertama kali mendengar kata aktivis, yang terlintas dibenak saya adalah seorang yang idealis, kritis, jarang kuliah, sering demo, dan obrolannya tidak jauh dari hal-hal yang bersifat politis.
Bagi sebagian mahasiswa, menjadi aktivis adalah sebuah panggilan moral. Mahasiswa sebagai agent of change dan agent of social control sebenarnya adalah penyambung lidah rakyat. Konsekuensinya, tugas mahasiswa tidak hanya belajar dan sibuk dengan tugas-tugas, melainkan juga membumi ke masyarakat. Hal ini sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menyiratkan aspek pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dari konsep ini dapat terlihat jelas bahwa ruang lingkup mahasiswa adalah studi dan masyarakat
Banyak dari kalangan aktivis yang memiliki semangat yang menggebu-gebu demi sebuah perubahan, bahkan tak jarang kita temukan seorang aktivis yang lebih mementingkan demo ketimbang masuk kelas mengikuti perkuliahan kemudian menganggap ini adalah bentuk tanggung jawab sosial sebagai mahasiswa. Saya tidak mengatakan ini adalah hal yang salah, bahkan saya sangat mendukung sepenuhnya jika ada mahasiswa yang berjwa kritis, idealis seperti aktivis. Jika kita memandang dari aspek sosial ini merupakan hal yang sesuai dengan peran dan fungsi mahasiswa, Tapi yang perlu diingat ada tujuan utama yang harus dipertanggung jawabkan sebagai seorang mahasiswa yakni menuntut ilmu dan menyelesaikan perkuliahan.
Memang ada beberapa mahasiswa yang memiliki stigma positif terhadap aktivis, mulai dari yang pragmatis hingga substansial. Aktivis merupakan orang-orang yang populer dikalangan mahasiswa. sikap idealis, kritis, bahkan kadang nekat membuatnya terkenal dikalangan masyarakat kampus. Tidak hanya itu sebagian aktivis dianggap sebagai sosok figur mahasiswa ideal bagi sebagian dosen terutama dosen-dosen yang dulunya juga seorang aktivis. Maka tak jarang kita dengar ada dosen yang mengharuskan mahasiswanya agar ikut  organisasi kemahasiswaan, baik internal maupun eksternal.
Kehidupan seorang aktivis tidak jauh dari hal hal yang berkaitan dengann kondisi sosial masyarakat, Berkoar-koar akan sebuah perubahan seakan merasa paling benar, pandai mengkritisi setiap kebijakan, aktif berdiskusi membahas situasi-situasi nasioanal yang berkaitan dengan sosial dan politik. Tapi lupa bahwa dirinya sebagai seorang mahasiswa memiliki tanggung jawab yang harus diselesaikan dalam rentan waktu yang telah ditentukan, tidak sedikit aktivis yang kuliahnya terbengkalai hingga terancam DO, sampai tak menyadari berapa banyak waktu dan biaya  yang sudah dihabiskan selama perkuliahan. Â
Label kutu buku mungkin sangat pantas diberikan kepada aktivis,  membaca buku dan berita menjadi sebuah keharusan bagi seorang aktivis untuk menunjang pengetahuan dan menambah wawasan  terutama yang berkaitan dengan situasi-situasi yang sedang terjadi. Tak jarang kita melihat banyak forum-frum diskusi yang dibuat oleh aktivis untuk mengkaji berbagai keilmuan, bekerja keras untuk memperjuangkan sebuah ide, gagasan, dan keyakinan akan sebuah kebenaran yang ia peroleh dari kesadaran pengetahuan yang  didapatnya melalui buku, Kritis dalam berbagai situasi dan kondisi, serta aktif dalam kajian dan diskusi, Tapi sayang tak mampu menyusun sebuah skripsi.
Jiwa sosial seorang aktivis memang pantas mendapatkan apresiasi, memperjuangkan hak-hak masyarakat kecil, serta Sebagai generasi pengontrol sosial diharapkan mampu mengendalikan keadaan sosial yang ada dilingkungan sekitar mampu mengkritik, memberi saran dan memberi solusi jika keadaan suatu bangsa sudah tidak sesuai dengan cita-cita dan tujuan bangsa, memiliki kepekaan, kepedulian, dan kontribusi nyata terhadap masyarakat sekitar tentang kondisi teraktual. asumsi yang kita harapkan dengan perubahan kondisi sosial masyarakat tentu akan berimbas pada perubahan bangsa.
Namun perlu di ingat selain sebagai agent of change, mahasiswa juga sebagai iron stock atau generasi-generasi tangguh sebagai penerus bangsa. Mempersiapkan diri menjadi generasi handal dan berpengetahuan luas merupakan keharusan bagi mahasiswa tidak terkecuali aktivis. Namun pada kenyataannya banyak dari kalangan aktivis terlalu terbuai dengan impian perubahan atas apa yang ia yakini sebagai sebuah kebenaran sehingga apatis terhadap kebutuhan dan kewajiban dirinya sendiri sampai tak peduli berapa lama waktu dan berapa banyak biaya yang dihabiskan selama berstatus sebagai mahasiswa, hingga kebanyakan aktivis populer dengan sebutan Mahasiswa Abadi, lantas bagaimana mau menjadi penerus bangsa kalau gelar sarjana saja tak mampu diraih, apakah seperti ini yang dikatakan mahasiswa ideal?
Maka pilihan yang tepat yang diambil oleh mahasiswa selain menjadi seorang aktivis juga harus mengedepankan nilai-nilai akademis. Karena bangsa ini butuh orang-orang yang mampu memberikan solusi-solusi cerdas bukan orang-orang yang hanya bisa berteriak menuntut keadilan tanpa merasionalisasikan tuntutannya.
Oleh karenanya jadilah seorang aktivis yang paham betul akan kedudukan, status, dan fungsi sebagai mahasiswa, sadar bahwa sebagai insan akademis harusnya mengedepankan nalar intelektual yang tumbuh dan berkembang selama mengenyam bangku kuliah, paham bahwa perjuangan untuk membangun sebuah peradaban tidak semudah membalikkan telapak tangan tapi butuh proses serta perjuangan panjang dan melelahkan, maka dalam setiap tindakan harusnya disandarkan pada kerangka berpikir yang sistematis, yang pada akhirnya akan menimbulkan kesadaran bahwa pada hakikatnya manusia hidup harus memberi manfaat bagi orang-orang disekitarnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI