Mungkin, Midang Sore atau acara serupa itu bukanlah hal yang baru di ranah kesenian Indramayu. Namun karena kehadirannya pas di saat seniman Indramayu ada dalam taraf abulia, itulah mengapa menurut hemat saya, Midang Sore menjadi berarti sebagai spirit dalam menyublimkan kembali proses kreatif di antara pelaku seni. Dan selain itu merupakan sinkretisasi para pelaku seni sehingga dapat duduk bersama menyoal arah dan ruh kesenian semestinya. Namun sebagai catatan; hal di atas dapat berlangsung selama Midang Sore tidak dan tak akan ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan lain selain (mengulang) seni untuk moral dan seni untuk memanusiakan manusia. Seni yang sifatnya mengangkat harkat dan martabat manusia.
Barangkalai Midang Sore hanya sebatas nama. Namun apabila melihat siapa pun dan apa pun jenis kesenian yang dipentaskan dalam setiap bulannya---sebut saja yang pernah mangkir di Midang Sore, seperti; seni peran/ teater, baca sajak, pentas wayang, tari kontemporer, geguritan, macapatan, tari topeng dan yang lainnya, sudah merupakan bukti bahwa di balik nama Midang Sore, terkandung sebuah konsep yang menyertai proses pertunjukan yang idealism tersebut.
Ya, konsep bagaimana memfasilitasi sebuah gagasan dan mengenalkan beragam seni beserta nilai-nilainya sehingga dapat diterima dan dijadikan pembelajaran di kalangan kelas akar rumput. Dan tidak menurut kemungkinan, ke depan akan ada perubahan pola pikir dalam menyikapi realitas kehidupan, terutama untuk masyarakat Tambi karena kerap kali bersinggungan dengan dunia seni, dibanding masyarakat lainnya yang sama-sekali tak ada kemauan untuk mengenali beragam kesenian lebih jauh. Inilah sebuah konsep sederhana yang secara geremet cukup mengena. Dan semoga dalam perjalanannya, Midang Sore tetap berjalan di atas rel yang menjungjung tinggi nilai-nilai kesenian secara utuh tanpa adanya kepentingan lain, baik dari pihak luar maupun penggagasnya sendiri (Sanggar Mulya Bhakti).
Menilik Era Sugra
Syahdan, apa yang pernah dilakukan Sugra, pencetus seni tarling, dalam mengekspresikan kebisaannya (bermain musik) bermula dari kumpul-kumpul bersama teman-temannya dan bersantai di waktu luang saat menjelang malam (Midang Sore). Tidak hanya perbincangan tentang segala hal yang menghiasi pertemuan sore itu, tapi lebih didominasi oleh keinginan untuk menghibur diri dengan memainkan musik gitar dan suling beserta tetembangannya. Alhasil, apa yang dilakukan Sugra bersama teman-temannya secara geremet menarik perhatian masyarakat yang pada saat itu belum mengenal jenis musik apa yang dimainkan Sugra dan kawan-kawannya.
Yang semula sekedar untuk menghibur diri lambat-laun digemari pula oleh masyarakat setempat, sehingga tidak sedikit masyarakat yang kemudian menikmati  jenis kesenian itu selain sebagai hiburan juga sebagai tuntunan mengingat syair-syair dalam tembangannya mengandung unsur sosial yang memiliki makna bagi kehidupan masyarakat pada umumnya. Demikian Sugra mengenalkan tarling pada masyarakat sehingga tarling pada akhirnya dikenal masyarakat luas dan menjadi salah-satu ikon kesenian yang berkembang di Indramayu bahkan Cirebon.
Menilik pergerakan yang dilakukan Sugra, maka tidak menurut kemungkinan adanya tradisi Midang Sore yang kemudian dicetuskan kembali oleh Wangi Indriya diharapkan selain sebagai tuntunan bagi masyarakat juga dapat mengangkat kemampuan seniman Indramayu yang cenderung avatisme. **** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H