Mohon tunggu...
Ucha Inspiratif
Ucha Inspiratif Mohon Tunggu... Seniman - Penulis & Penggiat Teater

Ucha M Sarna adalah penggiat teater dan penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Midang Sore", Sebuah Riak Kemasifan Berekspresi

16 Desember 2018   23:35 Diperbarui: 17 Desember 2018   00:09 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang digagas oleh Wangi Indriya, pimpinan Sanggar Mulya Bhakti tentang Midang Sore, dapat diartikan sebagai bentuk alternatif untuk menjembatani kalangan seniman berbagi wacana, ide sekaligus pendidikan mental di kelas akar rumput---setidaknya bagi masyarakat di sekitar sanggar (masyarakat Desa Tambi -- Indramayu) dalam menyikapi segala hal yang berhubungan dengan tata nilai kehidupan.

Midang Sore yang mengagendakan pementasan evokatif jenis seni apa pun dalam setiap bulannya merupakan riak dialektika bagi seniman dalam menyampaikan gagasannya secara riil dan masif, artinya tidak ada kepentingan lain dalam konteks ini, selain seni untuk moral atau seni untuk memanusiakan manusia.

Midang Sore adalah riak yang berpotensi menasbihkan moral symbolism. Midang Sore dapat dijadikan alternatif simpul pergerakan berkesenian seniman Indramayu di tengah-tengah kondisi, di mana proses kreatif belakangan mengalami degradasi nilai-nilai idealis akibat hegemoni kekuasaan dan pengaruh adanya perilaku serba instan.

Di Tengah-tengah Perbedaan Perspektif

Seperti yang penulis ketahui, adanya perbedaan perspektif antara pemerintah dan seniman-seniman di Indramayu tentang hakekat seni itu sendiri---di mana satu pihak menganggap seni tidak lebih dari sekadar hiburan, sehingga dengan arogansi kehendaknya, pemerintah memosisikan kesenian hanyalah sebagai obyek, atau kelengkapan dalam rangka memenuhi dan atau menyertakannya ke dalam agenda-agenda kesenian yang lebih bersifat keberpihakan terhadap orientasi pasar dan kepentingan politik semata. Oleh karenanya hilanglah ruh dari kesenian itu sendiri.

Sedang di pihak lain (sekalipun tidak semua seniman Indramayu) meyakini seni sebagai produk budaya adalah sebuah proses yang lahir dari hasil olah rasa, cipta dan karsa manusia. Dengan demikian seni merupakan alat pembelajaran mental yang seyogianya dapat mengangkat harkat dan martabat manusia itu sendiri , karena di dalamnya terkandung nilai-nilai filsafat estetika (keindahan), etika (norma/ moral) dan daya rangsang berpikir (logika) sekaligus cerminan kepribadian dan peradaban suatu masyarakat.

Menilik dikotomi semacam itu dapat disimpulkan bahwa telah timbul kesenjangan makna, manfaat serta misi dari seni itu sendiri. Ada stigma, yang hingga saat ini belum total teruraikan. Pemerintah, dalam hal ini institusi yang semestinya memberikan ruang kebebasan berkreatif serta motivator atas tumbuh-kembangnya seni yang memiliki kekuatan nilai, saya rasa kurang memiliki komitmen yang fasih untuk menjunjung tinggi nilai-nilai seni sebagai produk budaya serta penjaga nilai budaya.

Namun di lain pihak, sebagian seniman telah dikondisikan "menyerah" dengan cara berpikir yang pragmatis. Sehingga rela menggadaikan kepribadiannya dan atau idealismenya semata-mata demi menyesuaikan apa yang dikehendaki oleh penguasa (sebagai sub-ordinasi pemerintah) dan atau pasar dalam konteks hiburan. Dengan demikian menjadi hal yang sangat-sangat lumrah ketika seniman beserta karyanya telah kehilangan daya kritis.

Pertanyaannya sekarang; ketika seniman dengan karyanya tidak lagi menjadi bagian sebagai alat kontrol penguasa, sosial, politik serta sendi-sendi budaya lainnya yang anomali apakah ini bukan merupakan persoalan yang serius? Sudah ditengarai beragam jawaban dalam menyikapi hal tersebut, di mana ujung-ujungnya kembali pada ideologinya masing-masing yang bersifat individualisme. 

Mungkin tidak sepenuhnya memojokkan pemerintah selama ada kebijakan yang menempatkan seni secara utuh sebagai kode kultural. Atau kebijakan yang porsinya lebih besar berpihak pada seniman dibanding pelaku yang berperan sebagai "pemodal". Dan tidak juga menyalahkan sepenuhnya terhadap seniman yang mengambil jalan pintas sebagaimana terurai di atas. Namun apakah tidak lebih baik---karena menjadi seniman, konon, adalah sebuah pilihan hidup. Maka dengan demikian siap dengan segala risikonya dengan cara-cara yang terhormat.

Midang Sore Sebuah Konsep

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun