Partai Politik di Indonesia telah banyak berkembang secara kuantitas, dimana setidaknya pada eEmilu tahun 2019 kemarin ada 16 Partai yang lolos Pemilu secara Nasional, dan 4 Partai Lokal di Aceh.
Meskipun dari 16 partai politik tersebut hanya ada 9 yang lolos ke Senayan, berkurang 1 partai politik, dimana pada Pemilu 2014 ada 10 partai politik yang lolos ke Senayan.
Fluktuasi perolehan suara pun terjadi, dimana beberapa partai naik secara signifikan, dan ada beberapa partai yang turun secara signifikan, bahkan ada satu partai yang tahun 2014 lolos ke parlemen, sedangkan pada Pemilu 2019 tidak lolos ke parlemen, dan disinyalir terjadi karena adanya konflik internal di dalam partai tersebut, selain tentu saja yang dianggap "biang kerok" gagalnya beberapa partai politik lolos ke Senayan adalah ambang batas parlemen yang 4%. Bahkan salah satu dari 3 "Partai Dinosaurus" yang merupakan warisan rezim orde baru hampir tidak lolos ke Senayan.Â
Banyak partai poltitik baru bermunculan sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998, dan dimana beberapa dari pendiri partai politik tersebut yang menjadi ketua umumnya.
Seiring berjalannya waktu, para pimpinan Partai Politik tersebut banyak yang telah memasuki usia "senja", sehingga meraa sudah terlalu "renta" untuk memimpin sebuah partai poltik.
Di jaman yang sudah serba modern, pimpinan yang sudah berumur dianggap sudah terlalu "obselet", dan banyak yang beranggapan, ketua Partai politik di jaman seperti sekarang ini adalah yang datang dari generasi muda, dengan rentang usia 40-60 tahun.
Banyak partai politik melakukan pemilihan ketua umum, yang dilakukan secara demokrasi, dimana beberapa partai mendapatkan  ketua umum yang datang dari generasi muda.
Namun, ada beberapa yang "sewot" ketika generasi muda yang mengambil tampuk kepemimpinan partai politik tersebut adalah anak dari ketua umum yang lama, mungkin karena mereka merasa ikut mendirikan partai politik tersebut, merasa ikut berjuang sejak "peletakan batu pertama" partai, dan menganggap hal tersebut adalah representasi dari "syahwat politik".
Bagi saya, apabila ada anak dari ketua umum partai politik menggantikan orangtuanya yang sudah purna tugas adalah hal yang wajar, selama memang melalui proses demokrasi, meskipun ada yang menganggap mereka "meloncati" para senior.
Para anggota partai politik saya kira juga menghormati sang orangtua, dan beranggapan sang anak mampu menggantikan peran sang orangtua karena faktor hereditas yang menempel secara otomatis.
Namun ada juga dimana anak dari salah satu mantan ketua umum partai yang tersingkir dari kursi kepemimpinan, yang disebabkan oleh perpecahan internal dari partai tersebut, hingga pernah terjadi semacam dualitas dalam partai politik tersebut, namun seiring berjalannya waktu rivalitas anak dengan pesaingnya tersebut seakan telaj hilang, atau mungkin bisa disebut telah terlupakan.
Fenomena adanya politik dinasti dianggap oleh sebagian orang sebagai sebuah bentuk stagnansi, dimana suatu dinasti menguasai sebuah partai politik, dimana yang maju dalam pencalonan ketua umum partai politik masih memiliki hubungan darah. Namun saya kira kurang fair apabila menilai sebelum melihat kinerja, toh saya yakin niat hakiki dari para politisi ini adalah untuk membangun bangsa, meskipun sering kali karena keadaan yang serba mendukung, lalu di tengah jalan "berbelok" niat.
Bagaimanapun apa yang sering disebut politik dinasti tersebut telah terjadi, dan menurut pengamatan saya juga telah melewati proses yang sah, karena juga melalui proses demokrasi, misalkan ada beberapa anggota partai politik yang kurang setuju, hal tersebut adalah bukti bahwa demokrasi itu indah, tetap ada perbedaan dan kritik, dimana perbedaan dan kritik tersebut adalah bentuk cinta seorang warga negara terhadap bangsa dan negaranya, bentuk bahwa mereka peduli terhadap bangsa dan negara ini.
Yang berbahaya bagi negara kita, Indonesia saat ini adalah mulai munculnya "Golput", yang bukan lagi akronim dari Golongan Putih, atau orang yang tidak memilih pada saat Pemilu, namun akronim dari Golongan Pencari Uang Tunai, yang menurut pengamatan saya "populasi"-nya menanjak tajam, dan menjadikan pesta demokrasi menjadi ajang pesta "Doku Crazy" atau gila uang, dan ini adalah istilah yang saya ciptakan sendiri, hehehehe.
Demikian atikel saya tentang (yang katanya) politik dinasti, yang mau dibilang bagaimanapun adalah hal yang wajar, apalagi apabila sang orangtua memiliki pengaruh yang besar di masyarakat. Namun setiap orang boleh berpandangan lain, seperti saya misalkan, apabila orangtua saya seorang politisi, saya memilih untuk berprofesi di bidang yang lain, sehingga apabila saya mendapatkan kesuksesan maka karena hasil kerja saya sendiri, meskipun disadari atau tidak faktor orangtua juga akan mempengaruhi koneksi seorang anak.
Namun bagi beberapa orang, melanjutkan profesi orangtua sebagai politisi juga merupakan salah satu langkah untuk melakukan perfektasi pencapaian orangtuanya, meskipun mungkin ada seorang anak yang melanjutkan profesi orangtua karena memang kurang kompeten di bidang lain, sehingga memilih profesi "turunan" tersebut karena ingin hidup dalam zona nyaman.
Setiap orang bebas berpendapat, setiap orang boleh untuk menyatakan aspirasinya, karena manusia adalah mahluk sosial, membutuhkan orang lain, butuh dikritik, bukan anti kritik.
Demikian artikel dari saya, apabila ada tulisan saya yang menyinggung perasaan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, saya hanya mencoba untuk menyampaikan pendapat saja, tidak berniat untuk menyakiti perasaan siapapun.
Jangan lupa untuk tetap bahagia, jaga kesehatan, dan ingat untuk ikuti prorokol kesehatan di masa kenormalan baru, dan tetap semangat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H