Mohon tunggu...
Hanantyo Wahyu Saputro
Hanantyo Wahyu Saputro Mohon Tunggu... Guru - Rakyat Biasa

Guru di SMK Bina Taruna Masaran Sragen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wewaler, antara Mitos, Pesan Sosial, dan Sains

14 Mei 2020   08:40 Diperbarui: 14 Mei 2020   08:57 1111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wewaler adalah pesan yang berisi pantangan atau larangan dalam budaya Jawa. Bagi beberapa orang Jawa, wewaler sering dikaitkan dengan hal-hal yag berbau mistis, dimana yang sering dikaitkan dengan mistis itu adalah perjodohan, termasuk hari lahir (wuku dan weton) tertentu tidak cocok dengan hari lahir tertentu. 

Satu putaran Wuku dan Weton dinamakan 1 lapan, dan terdiri dari 35 hari, dimana harinya adalah wuku yang terdiri dari 7, yaitu Minggu (Radithe), Senin (Soma), Selasa (Anggoro), Rabu (Budha), Kamis (Respati), Jum'at (Sukro), Sabtu (Tumpuk). 

Kemudian ada pasar yang terdiri dari 5, yaitu Kliwon (Kasih), Legi (Manis), Pahing (Jenar), Pon (Palguno), Wage (Cemengan). Sehingga apabila hari ini Senin Kliwon (Soma Kasih), maka besok adalah Selasa Legi (Anggoro Manis), dan berlanjut terus, sehingga setelah 1 lapan, akan kembali lagi Senin Kliwon. 

Dalam budaya Jawa, seseorang yang lahir pada Minggu Legi (Radithe Manis), dianjurkan tidak menikah dengan seseorang yang lahir pada Selasa Wage (Anggoro Cemengan), karena akan bercerai, bisa itu cerai hidup maupun salah satunya akan meninggal dunia. 

Kemudian ada wewaler yang mengatakan tidak boleh menikah antar anak nomer satu dengan anak nomer tiga, karena bisa menyebabkan salah satu anggota keluarga meninggal dunia. Pernikahan tersebut disebut dengan jilu (siji telu), yang memiliki siji adalah satu, dan telu adalah tiga. 

Dalam penjelasannya, kedua wewaler tersebut dikaitkan dengan hal-hal yang berbau mistis, sehingga bagi sebagian orang hal tersebut dianggap sebagai mitos saja. Meskipun ada yang mengatakan, secara nalar pernikahan tersebut akan mengalami halangan dalam hal kedewasaan, dimana anak pertama dianggap akan selalu mengalah, sehingga konflik akan selalu terjadi.

Bagi beberapa orang pernikahan jilu bisa diatasi dengan "mengganti orang tua", yaitu misalkan apabila salah satu pengantin, misalkan pengantin laki-laki yang merupakan anak pertama, pura-pura diangkat anak oleh orang lain yang mempunyai anak yang usianya lebih tua dari pengantin laki-laki, sehingga dia akan menjadi anak nomor dua dari "orang tua baru"-nya . 

Karena pengantin laki-laki merupakan anak nomor dua, maka boleh menikah dengan pengantin putri yang nomor tiga. Tidak bisa dijelaskan secara nalar, namun masih dianut, akan tetapi menurut saya jodoh, rejeki, dan ajal hanya Tuhan yang tahu

Ada juga wewaler "Ojo mangan nang tengah lawang, engko bojone angel" yang artinya jangan makan di tengah pintu, nanti jodohnya susah. Kalau dikorelasikan, maka tidak ada hubungan anatara makan di tengah pintu dengan susah dapat jodoh, namun apabila dilihat pesan sosial yang ada adalah bagaimana jangan makan di tengah pintu, karena tidak sopan, dan orang yang mau lewat pun akan terhalangi, bahkan tidak jadi lewat. Kemudian ada juga wewaler yang berbunyi "Ojo seneng lungguh nang bantal, mengko wudunen" yang artinya jangan duduk di bantal nanti bisa bikin bisulan.

Pesan sosial dari wewaler ini adalah bahwa bantal itu tempatnya di kepala, sehingga tidak baik menaruh (maaf) pantat di tempat yang seharusnya di kepala. 

Kemudian ada juga wewaler yang dapat dijelaskan secara saintifik, yaitu "Ojo mangan karo ngadeg, mengko mundak ususe dadi dowo", yang artinya adalah jangan makan sambil berdiri nanti usunya jadi panjang. Penjelasan saintifiknya adalah bahwa apabila makan sambil berdiri nanti akan menyebabkan tersedak. 

Penjelasan tersebut memberikan gambaran tentang keanekaragaman dalam budaya Jawa, dimana banyak larangan-larangan yang dianut oleh sebagian Suku Jawa, dan bagi orang Jawa, kebudayaan itu adalah warisan yang perlu diuri-uri (dijaga). 

Wewaler bagi orang Jawa merupakan bagian ari pendidikan, dimana orang tua akan selalu memberikan pesan-pesan kepada anaknya, agar menjauhi hal yang dianggap kurang baik, sehingga anak-anaknya akan terhindar dari marabahaya. Namun di jaman yang maju sekarang ini banyak orang Jawa modern tidak lagi mengikuti budaya wewaler, akan tetapi bagi saya tidak ada salahnya ikut menjaga budaya, karena untuk menghargai jasa leluhur.

Demikian artikel dari saya mengenai wewaler, walaupun sebenarnya masih banyak yang belum saya ulas, namun semoga dapat bermanfaat.  Apabila ada kesalahan saya dalam memberikan informasi dan dalam pengetikan, saya mohon untuk dikoreksi, dan apabila ada yang kurang berkenan dengan tulisan saya, maka saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Jaga selalu kesehatan, ikuti aturan Pemerintah selama pandemi Covid-19, dan tetap semangat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun