Pada pavilum itu, Sjahrir serupa guru yang telaten mengajarkan beragam pengetahuan, matematika, sejarah, sastra, ilmu bumi, dan cerita-cerita kocak, tentu saja.
Ia membelikan sebuah mesin jahit untuk membuatkan baju untuk keempat anak Baadila. Ia juga memerlukan untuk berlangganan majalah mode, agar dapat mencontoh pakaian untuk anak-anak itu. Ia seperti bapak. Seperti ibu. Ia memasak dan menjahit. Sjahrir senang berenang di teluk, berlari di gunung, Ia kerap mengajak anak-anak itu untuk berkelana mengunjungi tempat yang ia belum pernah kunjungi.
“Mereka, di sini, adalah teman terbaik yang saya miliki,” tulis Sjahrir Februari 1936.
*
“Itu kursi tempatku biasa muksa, Nak. Di kursi itu aku biasa bersua orang-orang jatmika yang masih percaya kalau hidup itu musti dilalui dengan riang dan gembira.”
“Berarti kalau aku duduk di sini, aku juga bisa muksa, riang dan gembira? Ngomong-ngomong, ‘muksa’ itu apa sih, Paman? Aku anak kecil enggakngerti istilah ndakik itu...”
“Muksa itu seperti kamu tidur di ayunan kain batik itu. Dan kamu bisa pergi kemanapun yang kamu mau saat tertidur. Dan bangun dengan tubuh yang lebih segar dan ceria. Paham, Nak?”
“Enggak,”
“Enggak papa. Kamu akan paham pada waktunya...”
“Paman janji harus jelaskan lagi kalau aku sudah gedeyak...”