Mohon tunggu...
Tyo Prakoso
Tyo Prakoso Mohon Tunggu... Penulis -

Pembaca dan perajin tulisan. Gemar nyemil upil sendiri dan berkegiatan di kedai literasi @gerakanaksara [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/], dan penjual buku di Kedai Buku Mahatma [https://www.facebook.com/kedaibukumahatma/]. Surat-menyurat: tyo.cheprakoso0703@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Panduan Mencintai Buku Hingga Usia Tua dan Hidup Bahagia Karena Memiliki Toko Buku di Sudut Kota

2 September 2016   15:59 Diperbarui: 2 September 2016   18:09 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Infinity Books di Tokyo, Jepang yang dikelola Nick https://thedustysneakers.com/2016/08/31/gaijin-penjual-buku-terakhir/)

“Kau tahu, aku sudah tua dan tak butuh banyak uang. Dikelilingi buku-buku seperti ini sudah bikin aku bahagia.”

Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, sebelum melanjutkan membaca panduan ini, silakan sampean tuntaskan tulisan tersebut yang menjadi sumber kutipan di atas. Sebab jika sampean melewati begitu saja, saya tidak menjamin ke kewarasan sampean sebagai pembaca—sesuai pengalaman yang sudah-sudah, jika melanggar aturan main itu, maka setidaknya bola mata kiri sampean akan mendelik ke arah kanan-atas secara presisi lebih dari 2 jam terus tanpa henti, dan saat yang bersamaan bola mata kanan sampean merem-melek secara konstan, begitu seterusnya hingga sampean bersin dan keluar sebutir tahi kambing kering dari lubang hidung sebelah kiri sampean. 

Itu hanya satu contoh yang kerap terjadi dari sekian banyak contoh. Tentu contoh-contoh itu ngeri-ngeri sedap bila sampean tidak mengacuhkan karena merasa sampean sudah banyak baca buku dan memiliki pengetahuan yang lapang tentang urusan memotivasi seseorang yang ingin bunuh diri dengan cara dikelitik atau minum es cincau melalui lubang telinga. Dan silakan buktikan sendiri dampaknya bahwa saya tidak sedang membual.

Di awal mesti saya katakan: bahwa saya senang ke toko buku, bukan karena saya gemar membeli buku, tetapi saya senang menguntit (catat: bukan mencuri, untuk perbedaannya silakan buka KBBI!) buku di sebuah toko buku. Semakin megah dan mewah sebuah toko buku maka saya semakin tertantang untuk menguntit buku-bukunya, tapi jangan bayangkan alasan saya menguntit buku seperti para koruptor menguntit anggaran negara ke kantong pribadinya, melainkan saya menguntit buku untuk kemudian saya sumbangkan ke perpustakaan-perpustakaan yang bermunculan di sejumlah wilayah. 

Biasanya saya mengirimkan buku-buku hasil menguntit itu melalui paket pengiriman barang ke alamat perpustakaan tersebut dengan subjek seperti “Buku untuk Rakjat” atau “Pustaka Rakjat” atau “Rakjat Membaca Tak Bisa Dikalahkan” dll, dsb… sebab saya percaya apa yang saya lakukan adalah upaya saya ikut serta “mencerdaskan bangsa”. Perihal bagaimana saya menguntit, saya tidak akan ceritakan di sini, sebab saya bukanlah penguntit tolol yang membongkar siasatnya di sebuah cerita, meskipun cerita itu sangat mungkin sekali kibulan. 

Misalnya—dan karena itulah saya suka kata-kata di awal tulisan ini, atau lebih tepatnya suka pada kerja-kerja budaya yang dilakukan oleh orang-orang yang masih menganggap buku adalah bagian yang unik dalam kehidupan—karena itu juga saya menuliskan panduan ini—agar semakin banyak orang-orang yang mencintai buku seperti yang diterangkan di tulisan tersebut. Panduan ini berusaha ditulis dengan ringkas dan cergas, agar bisa lekas dipraktekkan, dan dunia literasi kita semakin semarak. Mengingat, menurut berita yang saya baca subuh tadi, minat baca kita payah.

Sampean tahu, untuk memilih jalan hidup sebagai pencinta buku hingga usia tua dan menyandarkan masa tuanya ‘hanya’ (ya, 'HANYA’—bapak-ibu tidak keliru; HANYA!) dengan toko buku kecil, sebagaimana Nick yang memiliki toko buku di sudut kota Tokyo dalam tulisan asik di atas, setidaknya sampean perlu tiga hal. Pertama, yakinkanlah diri sampean bahwa buku bukan benda langit, ia benda budaya. Jika jatuh tepat ke lubang jambanmu, pada dini hari saat sampean tengah buang air besar sambil mencari ide tulisan karena tenggat yang mempet, maka bunyinya akan sama: pluuung... itu berlaku universal, di mana dan kapan saja, kecuali bila sampean buang air besar di sela-sela patung Budha di puncak Arupadhatu Borobudur... itu artinya buku diciptakan oleh dan untuk manusia. Sesederhana itu, memang.

Kedua, percayalah, kata ‘pluuung’ jauh dari padanan apa yang kita rasa/alami saat persis mendengar kata tersebut. Sebab kata ‘pluung’ itu hanyalah simbolisasi sekian persen saja dari kenikmatan asali bunyi ‘pluung’ tersebut.

Ketiga, dan ini sangat penting, bila sampean ragu akan kedua hal di atas, maka saran saya pergilah ke toko buku Grahmed—yang mengklaim memiliki 30-an toko buku mewah dan megah di 4 pulau dan 30-an kota besar—terdekat. Kemudian silakan ambil buku di rak toko buku tersebut, lalu pergilah ke toilet sambil membawa buku yang telah sampean pilih dan dirasa buku tersebut adalah buku yang bisa mengubah dunia atau buku yang berada di rak dengan label bestseller atau buku yang harganya paling mahal, dan masuklah serta mulai jongkok (tentu setelah sampean melepaskan celana dan kancut sampean) di lubang jamban itu, dan bacalah buku tersebut dengan khidmat dan sambil bayangkan penulisnya sedang bersanggama dengan seekor jerapah buta. 

Bila sampean sudah mendengar bunyi ‘pluung’, tunggulah beberapa detik hingga benda padat yang mengakibatkan bunyi itu kembali mengambang di atas air jambanmu, lalu lekaslah lempar buku yang ada digenggamanmu ke arah sumber bunyi tersebut dengan sekeras-kerasnya, anggap saja sampean atlet lempar lembing. Dan tunggulah reaksinya—sebuah reaksi yang membuat tulang-tulangmu seperti rontok dari rangkanya dan bersedia dijadikan sup konro atau iga bakar, misalnya.

Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, apabila dalam tempo 7 menit lewat 38 detik reaksi tersebut belum tampak, lakukanlah secara berulang dan konstan dengan buku-buku yang sampean ambil lagi ke rak buku tadi. Lakukan terus, dan jangan berhenti bila reaksinya belum tampak. Jangan coba-coba berhenti, sebab dampaknya lebih fatal ketimbang sampean tidak melakukannya, atau tidak mengacuhkan tersebut di atas, dan jangan dibayangkan, tentu saja.

Jika belum tampak juga reaksinya, sabarlah. Sebab kira-kira sampean perlu terus mencoba sampai pada percobaan ke-1.587 kali—artinya perlu ada jumlah buku tersebut masuk ke dalam jamban berbarengan dengan bunyi ‘pluuung’. Bila sudah sampai diangka tersebut belum tampak juga reaksinya, maka bisa dipastika sampean orang yang tidak memiliki jodoh dengan buku, atau dunia yang berkaitan dengan perbukuan.

Atau ada saran terakhir bila belum juga tampak reaksinya, temuilah ke pemilik utama toko buku Grahmed (jika saya tidak keliru inisialnya: J.O)—sebelum beliau mampus. Katakan kepadanya: pensiunlah jadi penjual buku, sebab buku-buku yang dijual di toko buku Anda bukanlah buku, mungkin lebih mirip najis-besar atau tahi. Mosok buku-bukumu kalah sama tahi yang mampu menghasilkan bunyi ‘pluung’?

Lalu toyorlah kepalanya, dan doakanlah agar lekas mampus—sebab mungkin itu jalan satu-satu untuk sampean ikut serta “mencerdaskan bangsa”. Kemudian lekaslah tinggalkan JO, jangan pedulikan pendapatnya. Sebab sampean tahu, pendapat pemilik toko buku yang koleksi bukunya lebih parah ketimbang tahi itu tidak perlu didengar. Seperti sampean tidak perlu mendengar alasan mantan pacarmu yang memutuskanmu hanya karena ingin fokus skripsi, misalnya.

Sampean tahu, JO dan mantan pacarmu itu tahi!

Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, sekianlah panduan ini saya tulis. Bila dirasa panduan ini menganggu ketentraman sampean, segeralah komentar di kolom yang tersedia. Bila panduan ini dikiranya membantu sampean untuk mencintai buku dan ikut "mencerdaskan kehidupan bangsa"—dan dengan begitu sampean terilham menjadi penjual buku seperti Nick yang memiliki toko buku di sudut kota yang di belakang toko buku tersebut terdapat bar yang bisa menyajikan ciu, anggur merah atau spritus, itu artinya sampean tolol. Sudah itu saja!

Salam,

Agus Reges,

Agustus, 2076

*Tyo Prakoso,Pembaca dan (perajin) tulisan. Buku pertamanya Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra(2016).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun