Oleh: Tyo Prakoso
Buku ini lama teronggok di sudut rak buku saya. Saat membelinya—yang lumayan murah—di bazar toko buku ternama di pusat kota; saya membaca sekilas dan lekas meletakkannya lagi di tempat semula. Hingga akhirnya, beberapa hari yang lalu, setelah rampung membaca kliping koran perihal kontroversi “Quran Berwajah Puisi”-nya HB Jassin, saya menggapai buku yang disusun murid salah satu sejarawan idola saya itu, Dennys Lombard, yakni Henri Chambert-Loir, lagi.
Saya senang membacanya. Saya tahu, banyak hal yang luput ketika saya belajar perihal sejarah masa Islam di nusantara. Itu sudah saya sadari beberapa waktu yang lalu; betapa berantak dan payahnya saya belajar sejarah nusantara masa kuno, klasik, madya hingga modern (mengikuti pembabakan Pak Sartono Kartodirdjo).
Pendahuluan yang ditulis Henri sangat apik.Cukup panjang untuk ukuran pendahuluan, 142 halaman, memang. Henri coba mendudukkan perihal ritual haji pada masyarakat Indonesia jauh dari abad ke-13 (karena keterbatasan sumber, buku ini memulainya dari tahun 1482; meskipun Henri cukup yakin sejak abad ke-13 ritual haji sudah dijalankan oleh umat Islam nusantara) hingga tahun 1960-an (masa ketika polarisasi ideologis begitu mencuat).
Sebagaimana fungsi pendahuluan, Henri berhasil mengantarkan saya pada situasi dimana saya akan mudah dan nikmat membaca bab-bab selanjutnya. Pendahuluan itu berhasil mendudukkan haji sebagai ritual yang ada dalam tradisi/ajaran Islam yang telah lama dijalankan umat Islam nusantara dan mengalami dinamika—yang bertalian dengan ranah politik-budaya-sosial-ekonomi—dalam proses implementasinya, dan menempatkan cerita-cerita yang terhimpun di buku itu pada konteks (sejarah) yang melingkupinya; hingga membuat saya tidak tersesat ketika saya melompat dari satu bab ke bab lainnya.
Saya memang gemar membaca secara melompat satu bab ke bab yang lain jika berhadapan dengan buku yang berupa ontologi tulisan, tentu bila sudah rampung membaca pendahuluannya. Melalui pendahuluan itu juga, Henri mengingatkan (saya) bahwa kumpulan tulisan (sebanyak tiga jilid: jilid I 1482-1890, jilid II 1900-1950, dan jilid III 1954-1964, menurut Henri pada kurun waktu 1900-an semakin banyak orang yang menuliskan perjalanan-pengalaman haji pada buku, majalah atau harian, “entah mengapa...” keluh Henri.) ini bisa dibaca layaknya sebuah memoar, laporan perjalanan atau bahkan sebuah esei-feature.
Dan saya menikmatinya. Meskipun baru merampungkan sebagian dari buku ini, saya sudah bisa berkomentar (setidaknya melalui catatan ini) bahwa buku ini menarik untuk dipelajari. Dan bagi saya, seperti pemahaman (ritual) haji menurut pemikir Iran idola saya, Ali Syariati, haji adalah simbol keberpihakan Islam pada kaum tertindas.
Pun begitu, saya kagum pada Henri, seperti saya kagum saat membaca buku “Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia”, yang juga disunting Henri dengan jumlah halaman lebih dari 1000-an halaman itu.
Bagi saya, jika haji (dari kata ‘hajj’) artinya ‘ziarah dan berkunjung ke suatu tempat (sakral) yang diniatkan sebagai ibadah, maka membaca “Naik Haji di Masa Silam” adalah ziarah pada sebuah pengalaman manusia nusantara yang sempat merekam-catat berbagai kisah dan cerita tentang oleh/di/menuju Tanah Suci; juga adalah ibadah #ngabookburit menunggu azan tiba.
Seperti saya senang membaca kisah perjalanan yang saban minggu saya baca dikoran-koran akhir pekan. Sebab, bagi saya, keasikan sebuah tulisan perjalanan adalah penyampaian ide/informasi yang apik meskipun (mungkin) sudah banyak orangyang tahu, dengan demikian teknik-penulisan dan penceritaan adalah keharusan;karena pada dasarnya tulisan-perjalanan adalah tulisan yang paling dituntut kemahiran menulis yang prima, sebab tulisan-perjalanan adalah sebentuk promosi bahwa perjalanan itu menarik, setidak-menariknya pun tempat yang kau kunjungi, di titik itulah, saya menikmati membaca “Naik Haji di Masa Silam” di waktumenjelang azan magrib, setelah rampung menyiapkan panganan berbuka, ketimbangnonton tipi yang mengumbar kedunguan dan iklan sirup mar(x)jan yang menggiurkan itu. Ritual #ngabookburit yang kudu-mesti-harus terus dilakukan di bulan penuh berkah ini.
Jika kita membaca “Naik Haji di Masa Silam” sebagai kumpulan tulisan-perjalanan (haji), maka kita akan banyak mendapati kisah-cerita yang unik dan sangat personal si penulisnya. Tentu di sini subjektifitas sangat kental. Bagi kau yang beranggapan bahwa ‘cerita’ tidak bisa dijadikan dokumen sejarah, maka buku ini hanya kumpulan cerita yang tak bisa dijadikan sumber penelitian sejarah, dan ini bukanlah ‘historiografi'’, tentu saja. Seperti tuan-tuan yang memandang tulisan-perjalanan di koran akhir pekan adalah sekedar catatan turis yang kurang kerjaan dan dianggap angin lalu. Bagi saya, itu keliru.
Bagaimanapun, ada jejak-sejarah yang bisa kita pungut dari cerita-cerita itu. Meskipun kita (terutama tuan-tuan yang mendaku-diri ‘sejarawan’ dan ‘calon-sejarawan’) harus piawai dan cermat memungut jejak-sejarah itu dari serpihan-serpihan yang mesti dipisahkan dari bias-bias personae. Sebab, saya harus katakan, bahwa ada perbedaan mendasar—dalam hal kerja dan praktis—perihal yang-sejarah dan yang-sastra; yang-sejarah bertitik pijak pada sumber, data dan fakta sejarah; sementara yang-sastra bertulang-sumsum pada imajinasi dan ideologisasi yang tersumblim pada tekni penceritaan. Lebih jelasnya, saya sudah mengulasnya di tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Bocah Cilik Kejaran dengan Bayangan: Perihal Yang-Sastra dan Yang-Sejarah”.
Di titik ini, kau tahu, seperti Pram, saya percaya, setiap pengalaman pribadi yang dituliskan ia telah menjadi pengalaman nasion. Pun dengan catatan ini. Begitu. []
*Tyo Prakoso, penulis dan Mahasiswa Sejarah UNJ. Bukupertamanya berjudul Bussum danCerita-cerita yang Mencandra (2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H