Bagaimanapun, ada jejak-sejarah yang bisa kita pungut dari cerita-cerita itu. Meskipun kita (terutama tuan-tuan yang mendaku-diri ‘sejarawan’ dan ‘calon-sejarawan’) harus piawai dan cermat memungut jejak-sejarah itu dari serpihan-serpihan yang mesti dipisahkan dari bias-bias personae. Sebab, saya harus katakan, bahwa ada perbedaan mendasar—dalam hal kerja dan praktis—perihal yang-sejarah dan yang-sastra; yang-sejarah bertitik pijak pada sumber, data dan fakta sejarah; sementara yang-sastra bertulang-sumsum pada imajinasi dan ideologisasi yang tersumblim pada tekni penceritaan. Lebih jelasnya, saya sudah mengulasnya di tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Bocah Cilik Kejaran dengan Bayangan: Perihal Yang-Sastra dan Yang-Sejarah”.
Di titik ini, kau tahu, seperti Pram, saya percaya, setiap pengalaman pribadi yang dituliskan ia telah menjadi pengalaman nasion. Pun dengan catatan ini. Begitu. []
*Tyo Prakoso, penulis dan Mahasiswa Sejarah UNJ. Bukupertamanya berjudul Bussum danCerita-cerita yang Mencandra (2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H