Mohon tunggu...
Tyo Prakoso
Tyo Prakoso Mohon Tunggu... Penulis -

Pembaca dan perajin tulisan. Gemar nyemil upil sendiri dan berkegiatan di kedai literasi @gerakanaksara [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/], dan penjual buku di Kedai Buku Mahatma [https://www.facebook.com/kedaibukumahatma/]. Surat-menyurat: tyo.cheprakoso0703@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

(Membaca) Pram dan Perempuan

24 Mei 2016   22:50 Diperbarui: 25 Mei 2016   13:08 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua dari buku Pramoedya Ananta Toer yang berkisah tentang perempuan. Sumber: ink361.com

Di titik inilah, saya rasa, membaca karya-karya Pramoedya dan memperhatikan sosok-sosok perempuan di setiap karya-karyanya, adalah jalan terbaik untuk memahami dan mengerti konteks historis yang luput oleh teori-teori dan pendekatan feminisme itu. Gadis Pantai dan karya-karya lain Pram adalah upaya Pram untuk membentuk dan membayangkan sosok perempuan yang bertalian dengan Revolusi Indonesia.

Sampai di sini kita bisa mengerti perbedaan mendasar tokoh perempuan pada karya Pramoedya dengan tokoh-tokoh perempuan dalam novel sastra Indonesia muktahir (yang bukanlah sebuah kebetulan banyak ditulis oleh penulis perempuan), misalnya tokoh perempuan dalam novel Ayu Utami, Dee Lestari, Laksmi Pamuntjak, Leila S Chudori, atau Djenar Mahesa Ayu. Tokoh perempuan dalam karya Ayu—Dee—Djenar adalah perempuan yang sibuk dengan (pencarian) keperempuannya; maka term yang dipersoalkannya bukanlah bagaimana peran perempuan dalam perubahan sosial, melainkan perihal seksualitas atau anomali hubungan perempuan dan lelaki, misalnya. 

Jikapun ada tokoh perempuan yang (mencoba) turut bergelut dengan konteks perubahan, ia adalah perempuan yang berada di tengah peristiwa sejarah, dan keberadaannya seperti benda langit yang jatuh ke bumi. Tokoh Amba dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak adalah contoh terbaik dengan hal ini. Amba adalah perjalanan tokoh Amba yang berusaha mencari kekasihnya dalam pusaran sejarah.

Saya ingat, yang dilakukan Gadis Pantai ketika diusir oleh suaminya. Gadis Pantai menggendong kain yang berisi pakaiannya, mengintip-intip pintu besar rumah bendoro, mantan suaminya, sambil meremas-remas kain yang dikenakannya hanya untuk melihat anak perempuan —yang tidak dikehendaki oleh suaminya— yang terakhir kalinya.

Adegan itu jika difrasekan, maka kita akan menemukan hal yang serupa dengan kata-kata Ontosoroh di akhir Bumi Manusia; melawan, nyo, dengan sehormat-hormatnya, sehina-hinanya... Di titik itu, Pram paham betul bagaimana membela perempuan tanpa harus menjadi ‘yang-feminis’. Sebab untuk membela kaum perempuan yang tertindas adalah tugas manusia sejak dalam pikiran; karena penindasan tak peduli lelaki atau perempuan. Akhirnya, saya tahu —seperti kata orang— bahwa surga ada di telapak kaki ibu, dan ibu saya adalah seorang perempuan. Dan, percayalah, itu adalah satu dari sehimpun misteri tentang perempuan. [] @cheprakoso

Jatikramat, April 2016

*Tyo Prakoso, prosais dan mahasiswa sejarah UNJ, buku pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra (2016).

**Tulisan ini sebagai pengantar dalam diskusi publik Ketika Perempuan Bicarapada 29 April 2016 di kampus UNJ, Rawamangun. DISINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun