Mohon tunggu...
Tyo Prakoso
Tyo Prakoso Mohon Tunggu... Penulis -

Pembaca dan perajin tulisan. Gemar nyemil upil sendiri dan berkegiatan di kedai literasi @gerakanaksara [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/], dan penjual buku di Kedai Buku Mahatma [https://www.facebook.com/kedaibukumahatma/]. Surat-menyurat: tyo.cheprakoso0703@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

(Membaca) Pram dan Perempuan

24 Mei 2016   22:50 Diperbarui: 25 Mei 2016   13:08 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua dari buku Pramoedya Ananta Toer yang berkisah tentang perempuan. Sumber: ink361.com

—Untuk  Ia yang enggan kusebutkan namanya;

JIKA perempuan adalah misteri —seperti kata seorang kawan— dan hubungan antara perempuan dengan lelaki (pada mulanya) adalah kata(-kata)—seperti kata kekasihku, yang mengutip pemikir perempuan asal Perancis—maka sosok perempuan dalam karya-karya Pramoedya adalah sehimpun misteri yang tersingkap pada satu kata: (me)lawan.

Bagi saya, Pramoedya adalah salah satu kanal untuk ‘Menjadi Indonesia’. Sebuah upaya yang terus, dan terus untuk menjangkau bagian terjauh, dari segala yang tak mampu saya capai, dari kosa-kata yang bernama: Indonesia. Pram hadir dalam kehidupan saya, kira-kira pada tahun 2008. Saat itu saya masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Tentu bukan sosok Pram dalam wujud ‘nyata’, karena saya bukan siapa-siapanya Pram, tetapi Pram dalam wujud ‘teks’. Karya Pram yang pertama saya baca berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, itu catatan Pram saat ia diasingkan di Pulau Buru, tahun 1966-1979, yang terbit tahun 1988. 

Buku itu saya peroleh dari tumpukan buku perpustakaan sekolah saya yang sangat jarang sekali dikunjungi oleh warganya. Sebelumnya saya tak sedikit pun mengenal Pram, apalagi karya-karyanya. Dari sekian banyak buku-buku yang berderet, entah mengapa tangan saya menggapai buku yang bersampul seorang lelaki paruh baya yang mengenakan kaos singlet putih itu, yang kelak baru saya ketahui, itu adalah sosok penulisnya: Pram. Saya meyakini, perjalanan literasi seseorang, dari satu buku ke buku yang lain, seolah piknik tanpa jalan pulang, yang digerakkan oleh ‘invisible hand’.

Itu mulanya. Saya begitu asik mendalami narasi-narasi (karya) Pramoedya; dan itu merupakan awal sebuah perjalanan panjang —yang saya yakini adalah perjalanan tanpa jalan pulang— untuk terus mendalami sosok Pram. Walau secara perlahan-lahan, hingga judul-judul buku Pram yang lain, Tetralogi Buru (mulanya saya membaca secara tak berurutan keempat buku tersebut, baru 2 tahun yang lalu saya membaca ulang secara berurutan, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca), Larasati, Bukan Pasar Malam, Midah Si Gigi Emas, Gadis Pantai, dan karya Pram yang lainnya. Deretan buku Pram itu ada yang saya baca sebanyak dua kali atau lebih, dan tak sedikit yang saya baca hanya sekali saja. Karena saya terbiasa membaca sebuah buku berulang-ulang, di hari dan situasi yang lain.

Entah mengapa saya selalu menemukan dan mendapati suatu suasana dan atmosfer yang kerap berbeda. Bagi saya, setiap judul memang memiliki cerita-cerita yang berbeda, namun tak jarang ‘cerita-cerita’ itu pula ikut ‘berubah’ —tak jarang menjadi tambah menarik— ketika saya membaca ulang buku tersebut; dengan waktu, tempat dan situasi yang berbeda pula. Salah satu judul buku yang memiliki cerita, dan ‘cerita’ yang menarik itu adalah Gadis Pantai.

Pram dan Maemunah Thamrin | koleksi foto: Hernadi Tanzil
Pram dan Maemunah Thamrin | koleksi foto: Hernadi Tanzil
Seingat saya, pertama kali saya membaca Gadis Pantai saat saya duduk di kelas 3 SMA, ketika saya mendapatkan buku tersebut dengan harga-miring (bayangkan buku Pram terbitan Hasta Mitra dibandrol dengan harga di bawah 40 ribu rupiah? Sebuah keajaiban yang tak pernah lagi saya peroleh hingga hari ini!) di sebuah toko buku loak yang biasa saya sambangi, di daerah Jakarta Timur. Sesampainya di rumah, saya lekas membaca buku ‘baru’ itu. Butuh beberapa hari saya menyelesaikannya. Karena saat itu saya harus berkejaran dengan berbagai (contoh) soal yang harus saya kerjakan. Maklum, saat itu sedang masa Ujian Nasional.

Pengalaman pertama yang saya dapat seusai membacanya adalah tentang perempuan menderita, dan lelaki sangat mendominasi atas penderitaan perempuan. Pengalaman itu hadir begitu gamblang, dan tersaji begitu telanjang ke hadapan saya, hanya karena lingkungan di mana saya tumbuh dan menjadi dewasa, ‘memaklumkan’ hal tersebut. Karena proses pemakluman itu saya jadi berpikir; mengapa perempuan menderita, bukankah dari perempuanlah saya sebagai manusia hadir di dunia; sejak itulah saya mendapati bahwa penderitaan ibu dan nenek saya adalah juga penderitaan perempuan yang lainnya, setidaknya tokoh Gadis Pantai dalam karya Pram yang saya baca.

Hingga kesempatan saya membaca ulang buku itu pun datang lagi. Beberapa waktu yang lalu, saat tengah membantu kekasih saya menulis tentang perempuan yang dikaji dari sisi kebudayaan. Pendapatnya sederhana: bahwa perempuanlah yang menjadi penggerak kebudayaan. Saya ingat, awal mula saya membantunya, ketika itu, saya sampaikan kepada kekasih saya, bahwa Pram pernah berujar dalam salah satu tulisannya: kurang lebih, tanpa erang kesakitan seorang perempuan yang robek salah satu bagian tubuhnya, maka kebudayaan —pun begitu dengan kehidupan— takkan pernah pernah dapat dimuliakan. Nah, proses itu yang membawa saya untuk kembali membaca ulang Gadis Pantai untuk kedua kalinya.

Sebagaimana buku-buku yang lain, dalam pembacaan yang kedua, selalu ada ‘cerita’ yang lain dalam proses pemahaman yang saya tangkap dan resapi. Begitu pun buku Gadis Pantai itu, ‘cerita’ itu hadir begitu intim; keintiman yang membuat saya kembali bertanya-tanya akan dikotomi antara lelaki dan perempuan. Lebih jauh, membuat saya menjadi sangsi, perihal orang atasan dan orang rendahan, tuan dan sahaya, priyayi dan orang kebanyakan. Pram dapat menangkap suatu hal yang ‘terkesan’ memang begitu adanya, termasuk ketika saya membaca untuk pertama kalinya (sekitar 7 tahun yang lalu), dan disajikan dengan cara yang menggugat, seolah berteriak, menantang, meskipun tetap pula dikalahkan. 

Semua pikiran itu membawa saya pada sebuah kelana yang baru dalam proses melihat sosok Pram sebagai seorang tokoh, dan juga penulis sastra. Saya mulai berkenalan dengan gagasan tentang perempuan dan upaya perlawanan perempuan atas belenggu yang menjeratnya. Melalui pembacaan atas karya Pram lah saya menemukan apa yang telah lama saya saksikan di depan mata: ketertindasan perempuan bukanlah karena ia sebagai seorang perempuan, melainkan karena ia manusia yang mengalami ketertindasan. Artinya, Pram menunjukkan kepada saya bahwa ketertindasan perempuan adalah salah satu keterindasan manusia oleh sistem yang mengondisikannya demikian.

Di titik inilah, saya melihat Gadis Pantai sebagai sebuah realitas sosial yang mampu direkam oleh Pram —sebagai sastrawan, dengan daya cipta dan kreatifnya— dan kemudian menyoroti bagaimana berbagai konflik yang terjadi di dalam cerita itu, antara peradaban laut, yang mewakili asal usul Gadis Pantai, dengan peradaban —di salah satu wawancaranya Pram menyebutnya— Jawaisme, antara Gadis pantai dengan Bendoro, antara orang kebanyakan dengan priyayi. Berbagai konflik itu akan dilihat secara didaktis. Artinya, saya melihat, konflik tak selamanya harus bersitegang, berbenturan, tetapi dengan cara diam-diam pun itu adalah sebuah konflik, perlawanan diam-diam.

Melalui Gadis Pantai, kita mengerti bagaimana representasi perempuan dalam benak Pram. Pun kita tahu, sebagaimana diungkapkan Pram sendiri, bahwa tokoh Gadis Pantai ialah ingatan dan kenangan akan neneknya yang dikaguminya, neneknya yang dipaksa keluar dari lingkungan rumah tangganya oleh suaminya sendiri, kakek Pram. Melalui Gadis PantaiPram mengkritik tata-sosial masyarakat Jawa yang feodalistik, sebuah tata-sosial yang tak pernah peduli dan selalu menindas perempuan dari segala sisi. Saya rasa, selain mengkritik Jawaisme, Pram juga memberi sebuah pemahaman yang menarik kepada kita, yakni perihal ketertindasan perempuan sejak dalam keluarga, padahal di keluarga peluh dan tenaga perempuan terserap banyak, ketimbang lelaki.

Sekali lagi, melalui Gadis Pantai kita mengerti, bahwa perempuan di mata Pram adalah sosok yang memiliki peranan yang besar dalam laju-kebudayaan. Pram paham betul, kiranya, peranan perempuan dalam tata-sosial semakin termarjinalkan oleh karena pranata sosial, politik dan ekonomi tak menghendakinya. Sedekat yang saya tahu, Pram tak menyebut hal-ihwal itu sebagai partriakhi, Pram tak menggunakan terminologi feminisme untuk menjelaskan ketertindasan perempuan, dus Pram pun tidak menggunakan patologi ideologi feminisme untuk menunjukkan perempuan melawan ketertindasannya. 

Saya kira, itulah jawaban mengapa Pram juga tak banyak berbicara perihal kontradiksi gender. Tapi saya rasa, Pram menyadari ada 'proyek besar' sehingga tata-sosial yang menjerat perempuan sedemikian rupa. Dengan Gadis Pantai, Pram melihat mekanisme ‘proyek besar’ itu kerap melalui pranata sosial, misalnya keluarga. Oleh karena itu, di dalam Gadis Pantai, Pram begitu piawai mengolah gejolak dan kontradiksi di pranatasosial yang bernama keluarga itu. Misalnya, saat Gadis Pantai harus mematuhi kehendak bapaknya yang mengawinkannya kepada sebilah keris, yang menyimbolkan bendoronya.

“Kau mau diam, tidak?” hardik bapaknya, saat Gadis Pantai merengek-rengek minta pulang dan tidak mau dinikahkan. (lihat. hlm. 3-4).

Adegan itu menggambarkan kepada kita, bahwa pernikahan (sebuah pra-syarat untuk menuju lembaga sosial yang bernama keluarga) adalah sebuah petaka bagi perempuan seperti Gadis Pantai. Entah mengapa adegan itu mengingatkan saya pada sebuah cerita yang diulang-ulang ibu saya tentang perjuangan nenek saya memperjuangkan dan mempertahankan rumah tangganya, nenek saya adalah tiang kokoh penyanggah asal usul saya.

Pun begitu, menurut saya, Gadis Pantai adalah epos besar perihal keluarga yang kerap merenggut perempuan. Di sana —di Gadis Pantai— kita menyaksikan bagaimana keluarga selalu ‘meminta tumbal’, perempuan (entah anak perempuan ataupun istri). Gadis Pantai itu sendiri yang harus keluar dari keluarganya di kampung nelayan. Atau, perempuan-perempuan yang dijadikan 'istri-istri' bendoro lainnya. Di titik ini kita tahu, bahwa pandangan masyarakat tentang perempuan selalu berada di bawah telapak kaki lelaki (suami).

Sumber: goodreads
Sumber: goodreads
Lalu, mengapa pranata sosial seperti keluarga mampu merenggut perempuan?
Jawaban Pram saya rasa sangat lugas. Baginya, ketertindasan perempuan bermula dari Jawaisme itu sendiri. Tapi perlu saya tambahkan, kiranya. Yakni perihal kontruksi wacana yang mendikotomikan antara perempuan dan lelaki sebagai relasi kekuasaan. Maksudnya, dalam Gadis Pantai (dan saya rasa beberapa tokoh-tokoh perempuan dalam karya Pram lainnya) perbedaan antara perempuan dan lelaki tidak hanya dipandang berbeda secara psiko-biologis, melainkan secara ekonomi-politik. Kontruksi wacana inilah yang kerapkali merenggut perempuan. Dan Pram betul, melalui hal-kultural itulah kontruksi wacana itu kerapkali berdampak massif.

Tengoklah upaya Orde Baru Soeharto melakukan de-ideologisasi peranan perempuan di ranah publik. Melalui politik-kultural yang bias gender dan seksualitas Orde Baru mampu menjinakkan perempuan. Dan hal itu berdampak hingga hari ini. Saya rasa, hal itu juga tak luput dari Pram. Dengan demikianlah, kita bisa membaca tokoh-tokoh perempuan dalam karya-karya Pramoedya —tokoh Midah dalam Midah Si Gigi Emas,tokoh Larasati dalam Larasati, tokoh Sri dalam Dia yang Menyerah, tokoh Dedes dalam Arok Dedes, hingga Ontosoroh dalam Bumi Manusia— adalah upaya Pram untuk rubuh-bangunkan sosok perempuan yang dibentuk oleh kekuasaan (baca: Orde Baru Soeharto). Artinya, Pram menyadari betul, bahwa di setiap kekuasaan selalu ada potensi untuk menjinakkan perempuan dengan berbagai cara dan karakter yang berbeda.

Karena dalam pemahaman Pram, perempuan adalah bagian integral (dengan lelaki) dalam upaya memperjuangkan perubahan. Dalam konteks GERWANI di fase Revolusi Indonesia, misalnya, bagaimana GERWANI turut serta dengan kaum lelaki untuk mengupayakan tujuan ‘Revolusi yang belum selesai’. Dengan pemahaman seperti itu kita bisa megerti, mengapa anggota GERWANI tidak mesti gundul atau berbikini ria untuk disebut sebagai ‘aktivis perempuan’, bahkan saya rasa, apa yang dilakukan anggota GERWANI bukanlah mengejar label ‘aktivis-perempuan’ atau bukan. Sebab, dalam catatan sejarah Indonesia, gerakan perempuan adalah berhimpun dengan gerakan massa rakyat dalam upaya Revolusi Indonesia. Sampai di sini, kita bisa memahami bahwa terminologi dan patologi ‘feminisme’ muncul jauh ketika Orde Baru Soeharto sudah kembang-kempis di kebanalan-kekuasaannya, kira-kira di akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an.

Saya rasa, kekeliruan (bukan kesalahan) kaum perempuan yang melabeli dirinya sebagai ‘aktivis-perempuan’ atau ‘feminis’ adalah gagal-paham dalam melihat konteks historis yang melingkupi bagaimana akhirnya (yang kemudian disebut) gerakan perempuan di masa Revolusi Indonesia (baca GERWANI, dkk, dll, dsb) itu muncul. Karena jika kita telisik terminologi dan patologi ‘feminisme’ di tahun 1990-an adalah respon terhadap situasi perempuan yang tersubordinat dalam Orde Baru Soeharto. Artinya ada sebuah kondisi yang membuat teori-teori dan pendekatan feminisme digunakan dalam melihat ketertindasan perempuan tanpa melihat dan memperhatikan konteks historis yang memunculkan ketertindasan itu.

Di titik inilah, saya rasa, membaca karya-karya Pramoedya dan memperhatikan sosok-sosok perempuan di setiap karya-karyanya, adalah jalan terbaik untuk memahami dan mengerti konteks historis yang luput oleh teori-teori dan pendekatan feminisme itu. Gadis Pantai dan karya-karya lain Pram adalah upaya Pram untuk membentuk dan membayangkan sosok perempuan yang bertalian dengan Revolusi Indonesia.

Sampai di sini kita bisa mengerti perbedaan mendasar tokoh perempuan pada karya Pramoedya dengan tokoh-tokoh perempuan dalam novel sastra Indonesia muktahir (yang bukanlah sebuah kebetulan banyak ditulis oleh penulis perempuan), misalnya tokoh perempuan dalam novel Ayu Utami, Dee Lestari, Laksmi Pamuntjak, Leila S Chudori, atau Djenar Mahesa Ayu. Tokoh perempuan dalam karya Ayu—Dee—Djenar adalah perempuan yang sibuk dengan (pencarian) keperempuannya; maka term yang dipersoalkannya bukanlah bagaimana peran perempuan dalam perubahan sosial, melainkan perihal seksualitas atau anomali hubungan perempuan dan lelaki, misalnya. 

Jikapun ada tokoh perempuan yang (mencoba) turut bergelut dengan konteks perubahan, ia adalah perempuan yang berada di tengah peristiwa sejarah, dan keberadaannya seperti benda langit yang jatuh ke bumi. Tokoh Amba dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak adalah contoh terbaik dengan hal ini. Amba adalah perjalanan tokoh Amba yang berusaha mencari kekasihnya dalam pusaran sejarah.

Saya ingat, yang dilakukan Gadis Pantai ketika diusir oleh suaminya. Gadis Pantai menggendong kain yang berisi pakaiannya, mengintip-intip pintu besar rumah bendoro, mantan suaminya, sambil meremas-remas kain yang dikenakannya hanya untuk melihat anak perempuan —yang tidak dikehendaki oleh suaminya— yang terakhir kalinya.

Adegan itu jika difrasekan, maka kita akan menemukan hal yang serupa dengan kata-kata Ontosoroh di akhir Bumi Manusia; melawan, nyo, dengan sehormat-hormatnya, sehina-hinanya... Di titik itu, Pram paham betul bagaimana membela perempuan tanpa harus menjadi ‘yang-feminis’. Sebab untuk membela kaum perempuan yang tertindas adalah tugas manusia sejak dalam pikiran; karena penindasan tak peduli lelaki atau perempuan. Akhirnya, saya tahu —seperti kata orang— bahwa surga ada di telapak kaki ibu, dan ibu saya adalah seorang perempuan. Dan, percayalah, itu adalah satu dari sehimpun misteri tentang perempuan. [] @cheprakoso

Jatikramat, April 2016

*Tyo Prakoso, prosais dan mahasiswa sejarah UNJ, buku pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra (2016).

**Tulisan ini sebagai pengantar dalam diskusi publik Ketika Perempuan Bicarapada 29 April 2016 di kampus UNJ, Rawamangun. DISINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun