Mohon tunggu...
Tyo Mokoagow
Tyo Mokoagow Mohon Tunggu... -

Haus ilmu. Saya bisa sakit bila tak memahami apa-apa dalam sehari

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sadisme

1 April 2017   13:09 Diperbarui: 1 April 2017   13:24 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pablo Picasso - Guernica || gettyimages.com

Dilahirkan dengan nama Donatien Alphonse FranÇouis de Sade di Paris, 1740. Atas tiap kenekatannya menabrak prasasti-prasasti moral membabi-buta, jeruji penjara senantiasa menghasrati raganya disekap. Penyimpangan seks Sade telah melahap hangus kesabaran raja, sehingga dikeluarkan perintah penangkapan dengan berjibun dakwaan yang tak dapat dibatalkan.

Sepanjang hayatnya, Sade ingin memahami kejahatan (Vice and Wickedness) dalam kehendak manusia. Dia pun memahami: semakin menyimpang dari norma-norma, semakin tinggi kenikmatan yang diraup. Kejahatan, tidak pelak, adalah kenikmatan terluhur baginya.

Reputasi kelam Sade telah menyejarah dan ditulis dengan tinta darah. Dunia psikologi mengabadikan namanya untuk merujuk fenomena penyimpangan seks: “Sadisme.” Atau algolagnia aktif, adalah keadaan dimana seseorang memperoleh kenikmatan dengan menimbulkan rasa sakit pada pasangan seksnya.

Vis-a-vis dengan Sadisme, Masokisme atau algolagnia pasif adalah pelengkap komplementer untuk pengidap sadisme. Dalam Masokisme, sang subjek menghendaki disiksa agar memperoleh kenikmatan sebesar-besarnya. Sama halnya dengan terminologi Sadisme, Masokisme diadopsi dari tokoh nyata, yakni novelis kelahiran Rusia, Leopold von Sacher-Masoch.

Tahun 1869, setengah abad wafatnya Sade, Sacer-Masoch memublikasikan “Venuz in Furs.” Novel itu bercerita tentang Serverin von Kusiemski yang rela diperbudak pasangannya. Bagi Kusiemski, menerima siksaan adalah syarat utama mereguk kepuasan hakiki.

Penghambaan diri dan kepasrahan total yang kita temukan pada Kusiemski tentu saja tidak asing bagi sejarah manusia. Diluar konteks seksual, masokisme sebagai jalan menuju kepuasan telah sejak lama dipratikkan. Manusia rela mengemban derita demi memperjuangkan suatu nilai yang mereka anggap agung: komunitas, negara, ideologi sampai agama.

Sepanjang perjalanan waktu, gairah menyibak tabir misteri semesta tidak pernah reda, hingga tidak ada obat paling mujarab menyembuhkan kekosongan eksistensial selain iman. Dan perkembangan agama-agama tidak lebih dari evolusi konsep keimanan yang kerap merekonstruksi dirinya terus-menerus, berkali-kali. Meskipun seluruh agama dunia punya ritus yang berbeda-beda, namun memiliki pola universal: sebuah praktik masokistik.

Arnold Toynbee dalam A Study of History dengan kagum mengakui bahwa tidak pernah dalam sejarah peradaban umat manusia, terjadi loncatan perubahan sosial secara eskalatif dan revolusioner selain dari semangat keagamaan; agama ialah batu penjuru dari gerakan besar sejarah.

Mungkin karena agama menawarkan kepastian atas apa yang masih samar-samar di benak masyarakat Oikumene lama. Sebab mereka tidak bisa menerka kehidupan setelah kematian sembari tetap tugur di hadapan alam semesta yang diselubungi teka-teki misterius. Agama hadir sebagai pelipur putus asa, dan mereka menyambutnya dengan riang. Meskipun, akan selalu ada harga bagi kebahagiaan kekal itu.

Seumpama Yesus yang menanggung dosa seluruh umat-Nya di tiang salib; masyarakat Islam yang menekuni jihadisme tak gentar berhadapan dengan ajal; sang Buddha menuturkan bahwa penderitaan (dhukka) adalah gerbang awal melakoni Empat Kebajikan Utama; Hindu menghendaki pemeluknya tunduk pada sang guru kebenaran (satguru) untuk mengerti hakikat penderitaan demi kebebasan paripurna.

Para adiluhung itu senantiasa mengkhotbahkan kesengsaraan sebagai prasyarat kemuliaan. Seseorang seyogianya mengorbankan kenikmatan yang lebih rendah demi meraup kebahagiaan lebih tinggi. Dengan begitu kita pun punya alasan untuk menjawab kegalauan seorang penyair, “kenapa Kau harus ciptakan surga (Tuhan), bila toh dosa ternyata demikian nikmat?”

Kita tidak bisa menyangkal betapa besar kontribusi agama bagi umat manusia. Tidak terhitung berapa banyak peradaban-peradaban baru lahir dari rahimnya. Meskipun acap mengalami percobaan pembunuhan, agama tetap adaptif, dia bahkan jadi lebih kuat dibandingkan arus penolakan.

Nampaknya kita jangan lagi malu-malu mengakui adagium lama itu: “religion is the opium for the people.” Agama sudah jadi narkose. Bukan manfaat penyembuhannya yang perlu kita persoalkan, tetapi bila kecanduan itu membius total kesadaran manusia hingga ke titik nol kemanusiaan -- tatkala agama jadi biang keladi dehumanisasi.

Bukankah Freud pernah mengingatkan, insting kejahatan (thanatos) selaras menyertai besarnya insting cinta (eros)? Cinta telah menunjukkan bagaimana dirinya sanggup membuat seseorang buta. Dan dalam agama, gejala itu bisa jadi nian berbahaya. Fanatisme, fatalisme, sekte apokaliptik, ekstremisme, radikalisme dan taqlid buta adalah kosa kata yang tidak asing di telinga kita.

Telah kita saksikan betapa Islam -- yang secara harfiah bermakna “damai” -- mampu menciptakan predator kemanusiaan bernama ISIS dan al-Qaeda. Juga pembantaian manusia oleh milisi Kristen Balaka di Afrika yang membuat PBB mesti mengevakuasi 19.000 warga dari Bangui. Kita melihat betapa Budha yang umumnya berwajah teduh bisa juga berlaku banal pada komunitas Rohingnya di Myanmar. Di India, Bajrang Dal dan Vishwa Hindu Parishad (VHF) mengorganisir penjagalan massal hingga 2500 nyawa lenyap dan 200.000 orang diusir dari rumahnya.

Sesaat berkelabat Marques de Sade, dari balik bilik penjara dia menyeru: “Aku membenci alam -- aku harus menumbangkan rencana-rencananya. Merintangi kemajuannya, menghentikan peredaran bintang-gemintangnya, menjungkirbalikkan ruang semesta yang mengambang itu, melawan apa saja yang mendukung alam dan memihak apa saja yang mengancam alam, pendek kata, menghina segala karya-Nya….”

Sade toh tidak mampu melakukan itu, tetapi tidak ada fakta yang lebih nyata selain kuasa agama, yang sanggup mewujudkan impian Sade. Bukankah manusia adalah bagian alam (mikro-kosmos)? Maka pemberangusan manusia adalah perjuangan bertahap memusnahkan alam raya. Dengan kata lain, agama juga bisa berlaku sadistik selain masokistik.

Maka kita tertegun dengan ironi pahit yang menyedihkan dan menyeramkan: agama yang awalnya hendak membebaskan manusia, malah jadi sumber kejahatan paling dahsyat.

Seorang yang menulis Future of God berkata dengan lirih bahwa hanya dalam agama orang baik dapat berbuat keji. Namun kita juga bisa jawab itu, bukankah berkat agama pula, banyak orang keji jadi baik? Maka masih ada harapan bagi manusia dan alam. Memang, kita tinggal di zaman yang lebih mudah bersikap pesimis tinimbang optimis, lebih sulit jadi waras dibanding sebaliknya, namun toh mereka tidak menyerah mencari konklusi. Seperti sebuah kisah lama, konon ada sufi berambisi membakar hangus surga dan memadamkan neraka. Mungkin dia kira, dari sana berakar seluruh kekisruhan dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun