Mohon tunggu...
Tyo Mokoagow
Tyo Mokoagow Mohon Tunggu... -

Haus ilmu. Saya bisa sakit bila tak memahami apa-apa dalam sehari

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sadisme

1 April 2017   13:09 Diperbarui: 1 April 2017   13:24 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pablo Picasso - Guernica || gettyimages.com

Kita tidak bisa menyangkal betapa besar kontribusi agama bagi umat manusia. Tidak terhitung berapa banyak peradaban-peradaban baru lahir dari rahimnya. Meskipun acap mengalami percobaan pembunuhan, agama tetap adaptif, dia bahkan jadi lebih kuat dibandingkan arus penolakan.

Nampaknya kita jangan lagi malu-malu mengakui adagium lama itu: “religion is the opium for the people.” Agama sudah jadi narkose. Bukan manfaat penyembuhannya yang perlu kita persoalkan, tetapi bila kecanduan itu membius total kesadaran manusia hingga ke titik nol kemanusiaan -- tatkala agama jadi biang keladi dehumanisasi.

Bukankah Freud pernah mengingatkan, insting kejahatan (thanatos) selaras menyertai besarnya insting cinta (eros)? Cinta telah menunjukkan bagaimana dirinya sanggup membuat seseorang buta. Dan dalam agama, gejala itu bisa jadi nian berbahaya. Fanatisme, fatalisme, sekte apokaliptik, ekstremisme, radikalisme dan taqlid buta adalah kosa kata yang tidak asing di telinga kita.

Telah kita saksikan betapa Islam -- yang secara harfiah bermakna “damai” -- mampu menciptakan predator kemanusiaan bernama ISIS dan al-Qaeda. Juga pembantaian manusia oleh milisi Kristen Balaka di Afrika yang membuat PBB mesti mengevakuasi 19.000 warga dari Bangui. Kita melihat betapa Budha yang umumnya berwajah teduh bisa juga berlaku banal pada komunitas Rohingnya di Myanmar. Di India, Bajrang Dal dan Vishwa Hindu Parishad (VHF) mengorganisir penjagalan massal hingga 2500 nyawa lenyap dan 200.000 orang diusir dari rumahnya.

Sesaat berkelabat Marques de Sade, dari balik bilik penjara dia menyeru: “Aku membenci alam -- aku harus menumbangkan rencana-rencananya. Merintangi kemajuannya, menghentikan peredaran bintang-gemintangnya, menjungkirbalikkan ruang semesta yang mengambang itu, melawan apa saja yang mendukung alam dan memihak apa saja yang mengancam alam, pendek kata, menghina segala karya-Nya….”

Sade toh tidak mampu melakukan itu, tetapi tidak ada fakta yang lebih nyata selain kuasa agama, yang sanggup mewujudkan impian Sade. Bukankah manusia adalah bagian alam (mikro-kosmos)? Maka pemberangusan manusia adalah perjuangan bertahap memusnahkan alam raya. Dengan kata lain, agama juga bisa berlaku sadistik selain masokistik.

Maka kita tertegun dengan ironi pahit yang menyedihkan dan menyeramkan: agama yang awalnya hendak membebaskan manusia, malah jadi sumber kejahatan paling dahsyat.

Seorang yang menulis Future of God berkata dengan lirih bahwa hanya dalam agama orang baik dapat berbuat keji. Namun kita juga bisa jawab itu, bukankah berkat agama pula, banyak orang keji jadi baik? Maka masih ada harapan bagi manusia dan alam. Memang, kita tinggal di zaman yang lebih mudah bersikap pesimis tinimbang optimis, lebih sulit jadi waras dibanding sebaliknya, namun toh mereka tidak menyerah mencari konklusi. Seperti sebuah kisah lama, konon ada sufi berambisi membakar hangus surga dan memadamkan neraka. Mungkin dia kira, dari sana berakar seluruh kekisruhan dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun