Mohon tunggu...
Rahayu Putri Cahyaningtyas
Rahayu Putri Cahyaningtyas Mohon Tunggu... Lainnya - Rahayu Putri Cahyaningtyas

Jalani hari hari dengan senyuman :)

Selanjutnya

Tutup

Money

Strategi PT. Dirgantara Indonesia di Tengah Pandemi Covid-19

19 Juni 2020   20:35 Diperbarui: 19 Juni 2020   20:23 1617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pravita Wahyu Sayekti

Rahayu Putri Cahyaningtyas

Mahasiswa FE Akuntansi UNISSULA Jurusan Akuntansi

Drs. Osmad Munthaher, M.Si.

Dosen FE UNISSULA

 (Pengampu Mata kuliah Sistem Pengendalian Manajemen)

Seperti yang kita tahu PT Dirgantara Indonesia (DI) adalah industri pesawat terbang yang pertama dan satu-satunya di Indonesia dan di wilayah Asia Tenggara. Perusahaan ini dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. Dirgantara Indonesia tidak hanya memproduksi berbagai pesawat tetapi juga helikopter, senjata, menyediakan pelatihan dan jasa pemeliharaan (maintenance service) untuk mesin-mesin pesawat. Dirgantara Indonesia juga menjadi sub-kontraktor untuk industri-industri pesawat terbang besar di dunia seperti Boeing, Airbus, General Dynamic, Fokker dan lain sebagainya.

Sejarah panjang PT Dirgantara Indonesia dimulai  ketika belum berganti nama menjadi PT DI yaitu IPTN (Industri Pesawat Terbang Nasional). Tahun 1997 IPTN adalah salah satu dari sekian banyak perusahaan yang terdampak krisis ekonomi, karena kegagalan manajemen dalam mengendalikan rencana penyusunan anggaran yang efektif serta efisien sehingga membuat IPTN harus meminjam uang kepada IMF dengan syarat IPTN harus menghentikan produksinya yang membuat IPTN harus merumahkan ribuan karyawannya. Karena keterbatasannya IPTN mengalami kesulitan keuangan bahkan sampai tidak mampu membayar gaji dan pesangon karyawan yang dirumahkan.

24 Agustus 2000 IPTN berganti nama menjadi PT Dirgantara Indonesia. Pada awal hingga pertengahan tahun 2000 PT DI mulai menunjukkan kebangkitannya dengan mulai mengirim pesawat ke berbagai negara, namun tanggal 12 Juli 2003 PT DI ditutup tanpa adanya pemberitahuan dari pihak manajemen perusahaan kepada karyawan. Mengetahui hal ini, para karyawan langsung mendatangi kantor industri pesawat terbang tersebut, tapi mereka tidak bisa masuk karena dijaga ketat oleh aparat keamanan dari unsur kepolisian dan TNI Angkatan Udara.

Budaya organisasi yang lemah dimungkinkan menyebabkan pihak perusahaan gagal dalam memenuhi hak karyawan. Dalam hal budaya informal dalam sistem pelaporan yang dikembangkan dalam komunikasi seharusnya jujur, terbuka dan informative, dengan melibatkan semua pengendali unit operasional, sehingga benar-benar dapat diketahui masalah-masalah operasional dan keuangan.  Sehingga masalah ribuan karyawan yang di-PHK yang tiba-tiba merasa dirugikan dapat diantisipasi, apalagi urusan keuangan yang merupakan hak mereka belum sepenuhnya diberikan oleh perusahaan. Pelaporan informal ini memberikan pengaruh yang besar dalam budaya perusahaan dan memberikan manfaat bagi perusahaan.

Permasalahan yang berlarut-larut ini kemudian dibawa ke meja hijau. 4 September 2007, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai oleh Andriani Nurdin menyatakan PT DI pailit dengan segala akibat hukumnya. Namun, putusan pailit tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada 22 Oktober 2007.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun