Mohon tunggu...
Shintya Kurniawan
Shintya Kurniawan Mohon Tunggu... -

A truly blessed person who is lucky enough to enjoy her dreams come true

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendekatan Budaya dalam Membangun Indonesia Tangguh Bencana

7 Juli 2017   20:47 Diperbarui: 7 Juli 2017   21:24 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelud - (c) Shintya Kurniawan

Nostalgia dan Saur Sepuh merupakan dua hal yang terlintas ketika melihat poster sandiwara Asmara Dalam Bencana (ADB) 2. Pendekatan mitigasi bencana menggunakan sandiwara radio ini terbilang unik karena Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melirik media komunikasi yang dianggap konvensional namun tetap relevan di tengah era digitalisasi media. Strategi BNPB mengindikasikan pendekatan inklusif bagi rekan-rekan penggemar siaran radio di seluruh Indonesia.

 Karena penasaran dengan inisiatif tersebut, saya pun meluncur ke mesin pencarian Google untuk mencari informasi lebih lanjut tentang ADB. Meskipun belum berhasil menemukan rekaman ADB 2, saya cukup puas menemukan kanal YouTube HUMAS BNPB dan menyimak ADB 1 serta film-film dokumenter seputar tanggap bencana. Hibridisasi media digital (YouTube) dan konvensional (radio), ditambah partisipasi publik melalui kompetisi blog Kompasiana merupakan langkah positif BNPB dalam menyebarluaskan kesadaran akan risiko bencana di Indonesia. Lalu, mengapa radio diperlukan ketika sumber informasi semakin beragam melalui media online dan televisi?

Membahas peran radio di tengah bencana, ada beberapa pengalaman pribadi yang bisa dibagikan saat radio membantu pekerjaan dan ketahanan keluarga saya dalam situasi gawat darurat. Definisi bencana dalam artikel ini tidak terbatas pada bencana alam saja, saya juga memuat konteks konflik sebagai bentuk bencana buatan manusia. Man-made disaster dialami di tahun 1998, ketika kerusuhan melanda Jakarta. Saat jam malam diberlakukan di kompleks perumahan dan televisi harus dimatikan, saya menyalakan radio dengan volume minim sambil mencari-cari siaran malam terakhir agar tetap mendapat informasi terkini.

 Radio kembali menjadi sumber informasi saat rumah kami kebanjiran di tahun 2002, 2007, 2009, 2012, dan 2013. Di tahun 2002, saya mengungsi ke rumah tetangga yang juga kebanjiran namun sudah dibangun menjadi dua tingkat sehingga kami masih bisa mengakses toilet dan beristirahat di lantai dua. Aliran listrik dimatikan oleh PLN. 

Otomatis siaran televisi dan radio tidak bisa diakses. Untungnya, baterai ponsel jadul saya masih penuh dan saya bisa mendengar siaran radio melalui ponsel sesekali. Saat itu, baterai ponsel bisa bertahan 2-3 hari. Pengalaman ini mengingatkan saya bahwa ponsel model lama dengan baterai cadangan masih sangat diperlukan dalam kondisi darurat dan pasokan listrik terbatas.

Pengalaman lain dengan radio dan bencana berkaitan dengan erupsi gunung berapi. Pertama, erupsi Merapi 2011 memperkenalkan saya dengan tim radio komunitas Jalin Merapi. Saya dan rekan-rekan di Jakarta terus memantau linimasa Twitter Jalin Merapi dan tagar terkait bencana Merapi. Berbekal informasi tersebut, kami membantu mengumpulkan donasi dan barang-barang yang diperlukan saudara-saudara di Yogyakarta. Kekuatan Jalin Merapi terletak pada sebaran anggota komunitas yang aktif dan dipercaya. 

Trust merupakan kunci penting yang diperlukan saat memverifikasi informasi di daerah terdampak bencana. Jalin Merapi menjaring informasi dari cuitan di social media, lalu memverifikasi dengan pengguna social media lain dan aktivis di lapangan. Verifikasi dua lapis ini menseleksi informasi palsu alias hoax yang membuat resah dalam kondisi darurat. 

Kesuksesan Jalin Merapi menjadi bahan kajian akademisi dan praktisi pemerhati kebencanaan. Ikatan antara penyiar dan pendengar radio komunitas terbangun karena ada interaksi langsung dan tidak langsung antara keduanya. Hal ini sulit digantikan dengan ikatan yang lebih longgar antara pengguna media sosial yang tidak tergabung dalam satu komunitas dan belum tentu menggunakan identitas sebenarnya.

Kelud - (c) Shintya Kurniawan
Kelud - (c) Shintya Kurniawan
Erupsi kedua adalah Kelud di tahun 2014. Saat itu, saya bekerja di yayasan kemanusiaan dan ditugaskan meliput bersama beberapa kolega anggota tim kordinasi bencana. Dua orang telah berada di Kediri karena mereka berangkat dari Surabaya dan bisa tiba di lokasi lebih cepat menggunakan mobil. Saya masih di Jakarta dan tidak bisa menuju Kediri secepat itu. Jadwal penerbangan dibekukan karena khawatir abu vulkanik merusak mesin pesawat dan menyebabkan kecelakaan udara. Tiket kereta api sudah sold out.

 Akhirnya, pihak kantor menurunkan satu mobil dan dua truk berisi barang bantuan dari Jakarta dan tim kami berangkat secepat mungkin menuju Kediri. Sepanjang perjalanan, lagi-lagi radio menjadi sumber informasi. Dari berbagai radio lokal kami mencari tahu aktivitas terkini Gunung Kelud, jumlah pengungsi, jenis bantuan yang diperlukan, daerah terdampak, dan informasi penting lainnya. Hampir 30 jam, radio menemani perjalanan lintas Jawa dan mempersiapkan kami menghadapi situasi di lapangan.

Selain Indonesia, radio juga menjadi bagian dari early warning system di beberapa negara lain. Di Kenya, siaran radio dimanfaatkan pemerintah untuk menggerakkan warga membersihkan drainase saat musim hujan dan mengungsi ketika permukaan air bertambah tinggi.  Pemerintah Bangladesh pun bekerjasama dengan radio komunitas di delapan area yang rawan terdampak angin ribut.  

Diskusi rutin terkait prakiraan cuaca dan upaya mitigasi bencana  diharapkan membantu para nelayan dan warga pesisir membangun ketahanan bencana. Drama ADB dan inisiatif berbasis radio yang digerakkan oleh BNPB patut didukung. Satu masukan yang perlu dipertimbangkan adalah konten sandiwara yang masih terlalu Jawa-sentris. Berdasarkan pemetaan rawan bencana  yang dilakukan BNPB, memang tampak bahwa Pulau Jawa merupakan pulau dengan potensi bencana yang paling tinggi di Indonesia. 

Hal ini tidak lepas dari kepadatan populasi penduduk. Namun, saya yakin masih ada ruang bagi BNPB untuk mengulik strategi mitigasi bencana dengan pendekatan budaya yang lebih luas di luar Pulau jawa. Misalnya saja di Nias, Sumatera Utara. Kearifan lokal warga Nias membuahkan Omo Hada, alias rumah perahu yang bergoyang saat gempa datang. Museum Pustaka Nias sudah membukukan hasil penelitian tentang Omo Hada.

 Pun anak-anak di Pulau Nias memiliki lagu tentang tata cara menghadapi gempa. Kekayaaan budaya ini bisa diolah menjadi materi komunikasi lain untuk menyebarluaskan kesadaran bencana ke seantero Nusantara. Bisakah kita menggali pendekatan budaya Nusantara untuk diolah menjadi materi diskusi radio maupun film dokumenter, infografis, artikel, esai foto, dan materi komunikasi lainnya demi Indonesia yang semakin tanggap bencana?

*Artikel ini ditulis untuk disertakan dalam lomba blog Menyadari Bencana Melalui Radio. Kerjasama BNPB dan Kompasiana. Penulis adalah mahasiswi paska sarjana, jurusan International Humanitarian Action.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun