"Justru kau harus berhati-hati dengan harapan karena harapanmu yang terlalu tinggi dapat membunuhmu dengan sangat perlahan tetapi begitu menyakitkan. Dan yang terpenting, harapan tidak selalu menyenangkan jika dipertemukan dengan realita."
Aku masih diam termenung, mencerna semua ucapannya yang sama sekali tidak bisa aku perdebatkan. Sorot matanya tajam, menatapku dengan penuh keyakinan bahwa aku bisa melewati masa-masa ini. Tak selang beberapa lama, ia kembali berucap memberiku sebuah perintah.
"Boleh aku mintamu untuk melakukan sesuatu?"
"Apa?" Jawabku bingung.
"Berterimakasihlah pada dirimu sendiri karena sudah bertahan selama ini."
Aku terperanjat, mataku mulai terbuka secara perlahan. Air mataku masih terasa mengalir meski aku sudah terjaga. Senyumannya yang selalu aku lihat ketika bercermin, secara perlahan mulai terlihat samar manakala  kesadaranku sudah mulai kembali. Lagi-lagi, dia datang ketika aku merasa tak berdaya dan tak berguna sama sekali. Kedatangannya kali ini semakin menyadarkan untuk selalu berterimakasih dan mencintai diri sendiri apapun yang terjadi.
NB: This story is rewritten from my twitter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H