Mohon tunggu...
Mas Titus
Mas Titus Mohon Tunggu... karyawan swasta -

An eagle-scorpion, a provocative mystic, and a happy single-living magnet

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Khidir & Musa Berkelana di Bali dan NTT

12 Juni 2013   12:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:09 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kisah perjalanan Khidir dan Musa di QS Al-Kahfi menyimpan pelajaran mendalam tentang takdir manusia. Perjalanan yang lebih tepat dikatakan sebagai time traveling melalui majma'al bahrain (pertemuan dua lautan) ini hingga kini menyisakan beragam pertanyaan tentang waktu dan lokasi kejadian.

QS 18:71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.

QS 18:78-79 Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.

Siapakah raja yang merampas tiap-tiap bahtera? Dari sejarah di dunia, kita dapatkan bahwa aturan seperti ini merupakan keunikan dari HAK TAWAN KARANG BALI. Tawan karang (taban karang) merupakan salah satu hukum tradisi / adat yang berlaku di Bali pada masa lalu. Hukum ini memperbolehkan seorang raja menyita kapal yang terdampar di wilayah mereka beserta muatannya dan menjadikan penumpangnya sebagai budak atau kadang-kadang dibunuh.

Penyebutan tawan karang sudah ada sejak abad X Masehi pada masa Bali Kuno seperti tertulis dalam prasasti Sembiran (923 M) yang terbuat dari tembaga.

IIIb. 3. "me yanad taban karang ditu, perahu, lancing, jukung, talaka, anak banwa katatahwan di ya, kajadyan wrddhi kinwa[na] ma
IIIb. 4. katahu aku, pynnekangna baktina, di bhatara punta hyang?"

Terjemahan:
IIIb. 3. "dan bila ada peristiwa peristiwa tawan karang (taban karang) di perahu, lancang, jukung, talaka, serta diketahui oleh penduduk desa, supaya dijadikan wrddhi (semacam persembahan), setelah
IIIb. 4. diberitahukan kepadaku, supaya dihaturkan kepada Bhatara Punta Hyang"

Senada dengan hal tersebut, dalam sebuah prasasti yang lebih tua yaitu prasasti Bebetin A.I (818 Saka atau 896 M) menyebutkan penyitaan langsung terhadap perahu yang rusak:

IIb. 3. "anada tua banyaga turun ditu, paniken di hyangapi, parunggahna ana mati ya tua banyaga, parduan drbyana, ana cakcak lancangna kajadyan papagerangen kuta"

Terjemahan:
II.b 3. "jika ada pedagang berlabuh di sana, dihaturkan di Hyang Api persembahannya. Jika pedagang itu meninggal, miliknya dan lain-lain harus dibagi dua. Jika perahunya rusak/pecah agar dijadikan pagar benteng"

Sumber: http://arkeologi.web.id/articles/epigrafi-a-manuskrip/12-tawan-karang-suatu-aturan-transportasi-laut-di-bali-pada-masa-lalu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun