Bermukim hanya selemparan dari Tempat Pembuangan Sampah (TPS) terbesar di Indonesia membuat saya dihinggapi banyak keresahan.
Awalnya saya mengira slogan "Buanglah Sampah pada Tempatnya" sudah cukup untuk mengatasi permasalahan sampah di Indonesia. Namun faktanya, tempat pembuangan sampah kini pun sudah kewalahan.
Menurut data UPST DKI Jakarta, TPST Bantar Gebang menerima 7.700 ton sampah per harinya. Dengan luas 110 hektar, tinggi TPST Bantar Gebang ditaksir setara dengan gedung 16 lantai alias 40 meter.
Permasalahan lain kemudian muncul ketika tumpukan sampah menciptakan gas berbahaya, metana. Gas Metana (CH4) adalah salah satu gas rumah kaca yang meningkatkan pemanasan global. Gas ini 80 kali lipat lebih kuat dibanding Karbondioksida dan bersifat mudah terbakar, apalagi di cuaca panas.
Ya, metana menjadi dalang dari berbagai kasus kebakaran di TPS/TPST Indonesia. Insiden ledakan TPST Leuwigajah, Cimahi pada Februari 2005 menjadi yang terparah dengan 157 orang tewas, dan 2 desa terkena dampak longsoran sampah.
Keresahan demi keresahan ini akhirnya mempertemukan saya dengan metode pengelolaan sampah secara mandiri di rumah yaitu mengompos. Mei 2024 lalu menandakan bulan pertama saya mulai mengompos
Dari Kompos ke cerita Instagram dan tulisan Kompasiana
Sebagai anak zillenial yang dekat dengan media sosial, saya tidak ketinggalan untuk mengabadikan setiap momen mengompos di Instagram.
Satu dua teman pun mulai bertanya penasaran. Ada yang mengutarakan tentang pengalaman mengomposnya dulu, ada yang bertanya masalah selama proses mengompos, dan ada juga yang memberi saran agar kompos cepat jadi.