Namun Covid-19 membalikkan semuanya.
Kala itu, pemerintah mengeluarkan himbauan untuk menggunakan masker N-95 yang dicap ampuh menangkal debu, bakteri, dan virus hingga 95%. Kemudian muncul beberapa varian masker lain seperti KN95, KF94, FFP, duckbill, dan lainnya.
Sayang, kebanyakan masker ini berjenis disposable alias hanya untuk sekali pakai sehingga menyisakan permasalahan sampah.
Masker sekali pakai dan dampak lingkungannya
Empat tahun berlalu dari Covid 19, orang-orang masih tampak nyaman dengan masker sekali pakai. Harganya yang murah dan desainnya yang simple barangkali menjadi alasan.
Di marketplace, harga satu kotak masker bedah disposable isi 50 pcs dibandrol 10-50 ribu. Begitu pun dengan masker duckbill disposable yang dijual dengan harga 20 - 60 ribu.
Di Jakarta, masker sekali pakai masih jadi primadona. Para pekerja, warga Commuter Line, juga teman-teman saya di kantor, masih setia dengan masker sekali pakai. Saya pun salah satunya.
Namun masalah sampah dari masker sekali pakai tidak bisa saya pandang sebelah mata.
Plastik Polipropilen (PP) yang menjadi bahan dasar dari masker sekali pakai membuatnya sulit terurai. Akhirnya sampah masker terus menumpuk di TPST dan butuh waktu 450 tahun untuk terurai.
Penumpukan sampah menghasilkan gas metana yang membuat bumi semakin panas. Selain itu, hasil penguraian plastik juga menjadi mikroplastik yang tanpa kita sadari terhirup ke tubuh dan menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, pembengkakan usus, dan menggangu sistem pernafasan.