Jalan hampir satu bulan mengompos, saya akui membuat kompos bukanlah perkara mudah.
Mulai dari menyetor sampah makanan di pagi hari, mengumpulkan dedaunan kering, meracik bio aktivator, hingga mengaduk-ngaduk isi kompos setiap minggunya.
Terlebih bagi saya yang harus bersiap-siap kerja sejak jam 6 pagi, membuat kegiatan mengompos jadi terburu-buru dan tidak kekontrol.
Tidak jarang saya mendapat respon keheranan dari teman yang mengikuti cerita mengompos saya di Instagram: "rajin banget sih...", "mengompos kan nanti banyak cacing, ya?", "gue orangnya jijikan deh," dan beberapa komentar lain.
Hal ini membuat saya sadar bahwa kegiatan mengompos selain tidak mudah, juga masih sepi peminat.
1. Proses yang lama dan melelahkan
Sebagai generasi yang hidup di era serba instan, harus saya akui bahwa mengompos bukan kegiatan yang hasilnya bisa diketahui secara instan.
Waktu minimal yang dibutuhkan sejak pengumpulan sampah hingga proses penguraian selesai, mencapai 40 hari. Itu pun jika kita memakai materai coklat yang cepat mengurai, seperti tanah atau cocopeat.
Jika kita hanya memakai dedaunan kering, tidak ditambah bio aktivator dan jarang diaduk, membuat proses pengomposan berjalan lebih lama. Bisa-bisa mencapai enam bulan hingga satu tahun.
Proses yang panjang ini membuat sebagian orang akhirnya tidak tahan dan memilih menyudahi saja.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!