Usia dua puluh lima adalah tahapan keramat bagi kehidupan seseorang. Di usia ini insan manusia dianggap telah dewasa dan mampu untuk menjalani kehidupan yang sesungguhnya.
Mulai dari bekerja, memiliki keuangan yang mapan, kendaraan yang layak, menikah, memiliki anak, dan lain sebagainya.
Tuntutan-tuntutan tersebut tidak jarang membuat seseorang di usia 25 mengalami krisis. Quarter Life Crisis, begitu para ahli menyebutnya.
Lantas, apa benar usia 25 memang seharusnya mencapai ini dan itu?
1. Usia 25 harusnya sih sudah bekerja dan punya jenjang karir yang jelas
Banyak orang berpendapat bahwa bekerja adalah faktor penentu keberhasilan. Bahkan masa depan seseorang bisa diprediksi dari bagaimana dia bekerja dan di mana dia bekerja sekarang.
Maka dari itu tuntutan pekerjaan bagi seseorang di usia 25 adalah tak terhindarkan.
Jika dirunut dari masa lulus kuliah di umur 22, maka usia 25 adalah periode 3 tahun pertama bagi seseorang untuk bekerja.
Di masa ini rerata orang masih berada pada tahap penyesuaian. Maka tidak jarang mereka yang pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain dalam waktu singkat, atau yang lebih sering disebut kutu loncat.
Dalam 3 tahun pertama, saya juga sudah merasakan bekerja di tiga perusahaan yang berbeda. Apa saya bisa dikatakan sebagai kutu loncat? Bisa ya, bisa tidak. Kutu loncat hanyalah presepsi, sedangkan yang mengetahui keadaan sebenarnya adalah diri kita.
Saya sendiri bersyukur telah 'loncat' dan akhirnya menemukan perusahaan yang membuat saya nyaman, baik dari segi lingkungan maupun penghasilan.
Sayangnya, kutu loncat tidak dipandang baik oleh sebagian orang, terutama para orang tua yang biasa bekerja puluhan tahun di perusahaan yang sama.
Mereka mengatakan, si kutu loncat tidak memiliki tahapan alias jenjang karir yang jelas.
Padahal fakta berkata sebaliknya. Beberapa teman saya yang kutu loncat ternyata memiliki kemampuan beradaptasi yang mumpuni, sehingga berhasil melakukan percepatan karir dalam waktu singkat.
2. Usia 25 harusnya sih sudah punya aset, minimal motor. Syukur-syukur mobil, apalagi rumah!
Menginjak 3 tahun bekerja, seseorang di umur 25 dituntut memiliki sesuatu yang baru. Entah itu handphone baru, motor baru, mobil baru atau rumah baru.
"Untuk apa bekerja jika tidak ada hasilnya?" Begitu kata Mbok Mijem, salah seorang tetangga.
Sayangnya, tidak semua hal bisa kita lihat dengan kasat mata, termasuk hasil pekerjaan seseorang. Ada teman saya yang begitu lulus dan bekerja lalu diminta melunasi utang keluarga. Atau mereka yang baru bekerja namun sudah jadi tulang punggung keluarga.
Boro-boro membeli kendaraan, mungkin untuk kehidupan adik yang masih sekolah, atau orang tua yang renta saja masih kekurangan.
Saya sendiri memilih cukup dengan motor peninggalan Bapak: Karisma 125D tahun 2005. Tua sekali bukan? Motor itu sudah berusia 18 tahun, namun masih membuat saya aman dan nyaman.
Banyaknya berita pencurian dan begal untuk motor baru membuat saya urung untuk memperbaruinya. Biarlah saya memakai motor tua yang tidak bisa ngebut-ngebutan namun bisa mengantarkan saya selamat sampai rumah.
Sedangkan untuk mobil, saya masih enggan membeli karena merasa akan jarang sekali dipakai.
Sehari-hari bekerja, saya lebih suka menaiki bus karena bisa ditinggal tidur. Sedangkan untuk pergi ke tempat wisata saya lebih suka naik kereta atau MRT yang cepat dan harganya terjangkau.
Meski terkadang harus berdesakan ketika jam ramai, hal itu masih lebih baik dibanding harus mengendarai mobil dan menghadapi kemacetan Jakarta yang tidak ada habisnya.
Belum lagi penyusutan harga kendaraan dan biaya tetek-bengek yang harus dikeluarkan bulanan, seperti ganti oli, service, bensin, pajak kendaraan, dan biaya lain yang membuat saya belum juga terpikir untuk beli mobil.
Simpanan aset saya? Tentu saja tabungan! Entah itu tabungan ilmu, pengalaman, maupun koneksi pertemanan.
3. Usia dua puluh lima harusnya sih sudah menikah, punya anak minimal 1, dan tinggal terpisah dari orang tua
Menikah adalah target yang tidak bisa dipisahkan dari seseorang di usia 25. Setelah dianggap mapan karena bekerja, mereka di usia 25 juga dianggap mampu untuk membina rumah tangga.
Faktanya, pernikahan adalah perkara yang cukup rumit.
Menyatukan dua kepala dan dua keluargaa membutuhkan kesiapan lebih dari pekerjaan dan keuangan yang mapan, tetapi juga mental, ilmu, serta kerelaan menerima kekurangan dan kekurangan pasangan.
Tuntutan pernikahan terdengar kencang, terutama bagi wanita di usia 25. Konon kecantikan dan reproduksi wanita memiliki batasan tertentu yang membuatnya harus segera menikah dan memiliki anak.
Belum lagi stigma perempuan tua yang berkembang di masyarakat. Hal ini membuat para orang tua ikut khawatir dan mengupayakan pernikahan kepada anak perempuannya yang menginjak usia 25.
Padahal sama seperti laki-laki, perempuan di usia 25 juga baru menjejak tahun-tahun pertama bekerja, dan tengah menikmati indahnya memiliki uang banyak.
Barang yang mereka idam-idamkan sejak tahunan lalu, mungkin baru dapat dibeli sekarang. Negara yang mereka impi-impikan sejak kecil mungkin baru terjejak sekarang. Namun sekali lagi, tuntutan membuat mereka teralihkan.
Bagaimana denganmu Kompasianer? Apa kalian merasakan tuntutan-tuntutan ini juga di usia 25?
--
Tutut Setyorinie
6 Juni 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H